Wednesday, June 4, 2014

Tata Cara Mandi Wajib khusus Wanita
Tata cara mandi bagi wanita, dibedakan antara mandi junub dan mandi setelah haid atau nifas. Untuk tata cara mandi junub bagi wanita, sama dengan tata cara mandi bagi laki-laki, sebagaimana yang telah dijelaskan di atas. Hanya saja, wanita yang mandi junub dibolehkan untuk menggelung rambutnya, sebagaimana disebutkan dalam hadis dari Ummu Salamah, beliau bertanya:

“Wahai Rasulullah, aku seorang wanita yang gelungan rambutnya besar. Apakah aku harus membuka gelungan rambutku ketika mandi junub?”
Beliau menjawab:
لا إنما يكفيك أن تحثي على رأسك ثلاث حثيات ثم تفيضين عليك الماء فتطهرين
Beliau bersabda, “Jangan (kamu buka). Cukuplah kamu menyela-nyelai kepalamu dengan air tiga kali, kemudian guyurlah kepala dan badanmu dengan air, sehingga kamu telah suci.” (HR. Muslim no. 330).
Sementara untuk mandi karena haidh dan nifas, tata caranya sama dengan mandi junub namun ditambahkan dengan beberapa hal berikut ini:
Pertama: Dianjurkan Menggunakan Sabun.
Hal ini berdasarkan hadis Aisyah radhiallahu ‘anha, yang bertanya kepada Nabishallallahu ‘alaihi wa sallam tentang mandi wanita haid. Beliau menjelaskan:
تَأْخُذُ إِحْدَاكُنَّ مَاءَهَا وَسِدْرَتَهَا فَتَطَهَّرُ فَتُحْسِنُ الطُّهُورَ ثُمَّ تَصُبُّ عَلَى رَأْسِهَا فَتَدْلُكُهُ دَلْكًا شَدِيدًا حَتَّى تَبْلُغَ شُئُونَ رَأْسِهَا ثُمَّ تَصُبُّ عَلَيْهَا الْمَاءَ. ثُمَّ تَأْخُذُ فِرْصَةً مُمَسَّكَةً فَتَطَهَّرُ بِهَا
Kalian hendaklah mengambil air dan daun bidara, lalu wudhu dengan sempurna. Kemudian  menyiramkan air pada kepalanya, lalu menggosok-gosoknya agak keras hingga mencapai akar rambut kepalanya. Kemudian menyiramkan air pada kepalanya. Kemudian engkau mengambil kapas bermisik, lalu bersuci dengannya.” (HR. Bukhari no. 314 & Muslim no. 332)
Kedua: Melepas gelungan, sehingga air bisa sampai ke pangkal rambut
Hadis di atas merupakan dalil dalam hal ini:
“…lalu menggosok-gosoknya agak keras hingga mencapai akar rambut kepalanya..”
Hadis ini menunjukkan tidak cukup dengan hanya mengalirkan air seperti halnya mandi junub, namun harus juga digosok, seperti orang keramas memakai sampo.
Allahu a’lam
Ditulis oleh Ustadz Ammi Nur Baits (Dewan Pembina KonsultasiSyariah.com)


SETIAP perempuan, yang sudah baligh, tentu saja akan mendapatkan siklus bulanan yang tetap, menstruasi. Selesai menstruasi, seorang Muslimah diwajibkan mandi junub atau masyrakat kita menyebutnya keramas. Untuk yang sudah menikah, mandi junub sepertinya hampir tidak mungkin dilakukan satu bulan sekali. Mungkin sepekan sekali. Mungkin sehari sekali. Nah, bagaimana seorang Muslimah harus melakukan mandi junub?
Tata cara mandi bagi wanita, dibedakan antara mandi junub dan mandi setelah haid atau nifas. Untuk tata cara mandi junub bagi wanita, sama dengan tata cara mandi bagi laki-laki, sebagaimana yang telah dijelaskan di atas. Hanya saja, wanita yang mandi junub dibolehkan untuk menggelung rambutnya, sebagaimana disebutkan dalam hadis dari Ummu Salamah, beliau bertanya:

Wahai Rasulullah, aku seorang wanita yang gelungan rambutnya besar. Apakah aku harus membuka gelungan rambutku ketika mandi junub?
Beliau menjawab: “Jangan (kamu buka). Cukuplah kamu menyela-nyelai kepalamu dengan air tiga kali, kemudian guyurlah kepala dan badanmu dengan air, sehingga kamu telah suci.” (HR. Muslim no. 330).
Dan ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata: “Kami ( istri-istri Nabi) apabila salah seorang diantara kami junub, maka dia mengambil (air) dengan kedua telapak tangannya tiga kali lalu menyiramkannya di atas kepalanya, kemudian dia mengambil air dengan satu tangannya lalu menyiramkannya ke bagian tubuh kanan dan dengan tangannya yang lain ke bagian tubuh yang kiri,” (HR.  Bukhari: 277 dan Abu Dawud: 253).
Berikut ini, ringkasan tata cara mandi junub seorang Muslimah yang disunnahkan adalah sebagai berikut:
1. Niat (Menurut para ulama niat itu tempatnya di hati).
2. Mencuci tangan terlebih dahulu sebanyak tiga kali sebelum tangan tersebut dimasukkan dalam bejana atau sebelum mandi.
3. Membersihkan kemaluan dan kotoran yang ada dengan tangan kiri.
4. Mencuci tangan setelah membersihkan kemaluan dengan menggosokkan ke tanah (atau lantai) atau dengan menggunakan sabun.
5. Berwudhu dengan wudhu yang sempurna seperti ketika hendak shalat.
6. Menyiramkan air ke atas kepalanya tiga kali.
7. Mengguyur air pada kepala sebanyak tiga kali hingga sampai ke pangkal rambut atau kulit kepala dengan menggosok-gosokkannya dan menyela-nyelanya (Tidak wajib bagi wanita untuk mengurai ikatan rambutnya).
8.  Mengguyur air ke seluruh badan dimulai dari sisi yang kanan setelah itu yang kiri.
Sementara untuk mandi karena haidh dan nifas, tata caranya sama dengan mandi junub namun ditambahkan dengan beberapa hal berikut ini:
Pertama: Dianjurkan Menggunakan Sabun.
Hal ini berdasarkan hadis Aisyah radhiallahu ‘anha, yang bertanya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang mandi wanita haid. Beliau menjelaskan:
Kalian hendaklah mengambil air dan daun bidara, lalu wudhu dengan sempurna. Kemudian  menyiramkan air pada kepalanya, lalu menggosok-gosoknya agak keras hingga mencapai akar rambut kepalanya. Kemudian menyiramkan air pada kepalanya. Kemudian engkau mengambil kapas bermisik, lalu bersuci dengannya.” (HR. Bukhari no. 314 & Muslim no. 332)
Kedua: Melepas gelungan, sehingga air bisa sampai ke pangkal rambut
Hadis di atas merupakan dalil dalam hal ini: “…lalu menggosok-gosoknya agak keras hingga mencapai akar rambut kepalanya..”
Hadis ini menunjukkan tidak cukup dengan hanya mengalirkan air seperti halnya mandi junub, namun harus juga digosok, seperti orang keramas memakai sampo. Allahu alam. [berbagai sumber]


Assalamu'alaikum
saya mau tanya,,
misalnya seorang wanita mengeluarkan cairan bening dari kelaminnya saat bercumbu atau membayangkan hal-hal yang membuatnya terangsang,,apakah harus mandi wajib?
bagaimana membedaka mani, madi dan waji pada wanita?
apakah keputihan termasuk waji?
tetapi jika keputihan itu adalah penyakit yang terus keluar mekipun sedang sholat apakah dapat membatalkan sholat tersebut?
mohon jawabannya dikirim ke email saya ini..
terimakasih..
wassalam.
Jawaban
Assalamu alaikum wr.wb.
Cairan yang keluar dari kemaluan akibat adanya rangsangan, tatapan, lintasan pikiran, atau keinginan untuk jima di mana keluarnya tidak disertai perasaan nikmat disebut dengan madzi.
Menurut para ulama madzi hukumnya najis. Kalau terkena badan, wajib dicuci. Namun kalau terkena pakaian cukup dengan diperciki air sebagaimana tuntunan Nabi saw. Ali ra berkata, "Aku sering mengeluarkan madzi. Maka kusuruh seseorang untuk bertanya kepada Nabi saw karena kedudukan puterinya. Maka orang itupun bertanya. Nabi saw menjawab, 'Berwuduklah dan basuhlah kemaluanmu!'" (HR al-Bukhari)
Sementara terkait dengan keputihan, maka sebagian ulama menyamakannya dengan darah istihadah (penyakit). Dan sesuai dengan kaidah fikih bahwa keluarnya sesuatu dari qubul atau dubur membatalkan wudhu maka demikian pula dengan keluarnya keputihan. Keputihan membatalkan wudhu. Kalau darah keputihan itu membasahi pakaian, maka harus dibersihkan.
Nah jika keputihan terus-menerus keluar bahkan ketika salat, maka ada keringanan yang diberikan oleh agama. Wanita yang mendapatkan keputihan terus-menerus semacam itu cukup berwudhu setiap kali melaksanakan shalat fardhu. Kalaupun darah keputihannya keluar lagi di saat salat, salatnya tidak batal.
Wallahu a'lam bish-shawab.
Wassalamu alaikum wr.wb.


sudah lama saya ingin menulis artikel tentang Islam nah kali ini saya sedikit menjelaskan kepada anda bagaimana tata cara mandi wajib setelah bersetubuh, sebenarnya sama saja hal nya untuk  tata cara mandi wajib bagi laki-laki, gak ada bedanya. tapi disini saya akan ulas lengkap dan mudah di pahami tentunya icon biggrin
ok kita mulai dari yang pertama dulu .

Apa sih itu Mandi Junud atau manjadi Wajib

Cara Menjadi Wajib
Cara Menjadi Wajib
Mandi wajib atau hadats besar adalah mengalirkan air keseluruh tubuh dan mengusap seluruh angota tubuh .
Hukum mandi besar atau mandi junub adalah WAJIB
OK yang pertama  kita bahas dulu Rukun Mandi Besar

Rukun Mandi Besar.

  1. niat mandi wajib , dilakukan berbarengan dengan permulaan mengucurkan air ke anggota badan . untuk lafaz niat mandi wajib anda bisa lihat gambar dibawah ini 
  2. niat mandi wajib
niat mandi wajib
  1. Mengucurkan Air ke seluruh bagian anggota tubuh
  2. Membersihkan najis

Sunnah sunnah Mandi Besar atau Mandi wajib

  1. Membaca Basmalah pada permulaan mandi
  2. Berwudhu sebelum mandi
  3. Menggosok badan
  4. Mendahulukan yang kanan dari pada yang kiri
  5. Membaca Do’a sesudah mandi. adapun bacaanya sama seperti do’a selesai berwudhu.

Kesimpulanya  untuk tata cara mandi wajib bagi pria yang benar

  1. Mandi wajib dimulai dengan mengucapkan bismillah, dan berniat untuk menghilangkan hadast besar
  2. Membersihkan kedua telapak tangannya tiga kali, kemudian bercebok.
  3. Membersihkan kemaluannya, dan kotoran yang ada di sekitarnya.
  4. Berwudhu seperti halnya orang yang berwudhu hendak shalat, kecuali kedua kakinya. Namun boleh membersikan kedua kakinya ketika berwudhu atau mengakhirkannya sampa selesai mandi.
  5. Mencelupkan kedua telapak tangannya ke dalam air, lalu menyela-nyela pangkal rambut kepalanya dengan kedua telapak tangannya itu kemudian membersihkan kepalanya dan kedua telinganya tiga kali dengan tiga cidukan.
Note: Menyela pangkal rambut hanya khusus bagi laki-laki. Bagi perempuan, cukup dengan mengguyurkan pada kepalanya tiga kali guyuran, dan menggosoknya, tapi jangan mengurai/membuka rambutnya yang dikepang, karena ada hadist yand diriwayatkan oleh At-Tirmidzi dari Ummu Salamah yang bertanya kepada Rasulullah, “Aku bertanya, wahai Rasulullah! Sesungguhnya aku ini perempuan yang sangat kuat jalinan rambut kepalanya, apakah aku boleh mengurainya ketika mandi junub (mandi besar)?” Maka Rasulullah menjawab, “Jangan, sebetulnya cukup bagimu mengguyurkan air pada kepalamu tiga kali guyuran,” (HR At-TIrmidzi).
  1.  Mengguyur tubuhnya yang sebelah kanan dengan air, membersihkannya dari atas sampai ke bawah, kemudian bagian yang kiri seperti itu juga berturut-turut sambil membersihkan bagian-bagian yang tersembunyi (pusar, bawah ketiak, lutut, dan lainnya).
Tata cara ini berdasarkan penuturan Aisyah Radhiyallahu Anha:
Apabila Rasulullah hendak mandi junub (mandi besar), beliau memulai dengan membasuh kedua tangannya sebelum memasukannya ke dalam bejana. Kemudian beliau membasuh kemaluannya dan berwudhu seperti halnya berwudhu untuk shalat. Setelah itu, beliau menuangkan air pada rambut kepalanya, kemudian mengguyurkan air pada kepalanya tiga kali guyuran, kemudian mengguyurkannya ke seluruh tubuhnya,” (HR At-Tirmidzi: 104, dan Abu Daud: 243). Wallahu’alam bish shawwab. (source :http://www.mukminun.com/)


Ibn Al-Qayyim Rahimahullah Berkata oleh dani Al-aslami

Ibn Al-Qayyim Rahimahullah Berkata:
 Jika anda bertanya tentang hari penambahan
...dan hari kunjungan kepada Allah Al-Aziz Al-Hamid
Kemudian melihat wajah-Nya yang bersih
Dari segala macam perumpamaan dan penyerupaan terhadap segala sesuatu
Sebagaimana yang disabdakan oleh orang yang paling benar ucapannya Rosululloh saw
Sehingga pasti akan terjadi, maka dengarlah ketika penyeru memanggil:
“Wahai sekalian ahli surga!
Sesungguhnya Raab kalian meminta kalian berkunjung kapada-Nya
Maka mari kita berkunjung kepada-Nya!
Penghuni surga menjawab:
“Kami dengar dan kami patuh”
Hingga, mereka berhenti dilembah yang harum yang dijadikan tempat berkumpul,
Mereka berkumpul dilembah yang luas tersebut.
Tidak ada satu pun malaikat yang meninggalkan mereka,
Raab Tabaraka wa Ta’ala meminta kursi-Nya diambil dan ditempatkan dilembah tersebut.
Kemudian, mimbar-mimbar dari cahaya disiapkan bagi mereka...
Mimbar Mutiara Lu’lu
Mimbar Mutiara Zabarjad
Mimbar Emas
Dan Mimbar Perak
Penghuni surga yang paling rendah kelasnya duduk diatas bukit pasir dari kasturi
Ada orang yang mempunyai kursi seindah kursi mereka.
Hingga ketika mereka telah duduk dikursi dan tempatnya masing-masing dengan nyaman, penyeru memanggil:
 “Wahai sekalian penghuni surga!
Sesungguhnya kalian mempunyai janji disisi Allah yang hendak Allah berikan kepada kalian
“Wahai sekalian penghuni surga!
Sesungguhnya kalian mempunyai janji disisi Allah yang hendak Allah berikan kepada kalian
Mereka berkata: Janji apa yang dimaksud?
Bukankah Allah telah membuat wajah kami putih,
Memperberat timbangan kami, memasukan kami kedalam surga...
Dan menjauhkan kami dari neraka?
Ketika mereka dalam keadaan seperti itu,
Tiba-tiba sinar memencar sehingga pancarannya menerangi sekeliling surga!
Mereka mengangkat kepala mereka, dan melihat:
Ternyata Allah Al-Jabbar Yang Maha Mulia dan suci asma-Nya
Melihat mereka dari atas mereka
Seraya berfirman:
“Wahai penghuni surga”
Ternyata Allah Al-Jabbar yang Maha Mulia dan suci asma-Nya
Melihat mereka daria atas mereka
Seraya berfirman:
“Wahai penghuni surga!
Salam sejahtera untuk kalian”
Salam tersebut, mereka jawab dengan suara mereka yang paling merdu:
“Ya Allah, Engkau adalah kesejahteraan dan dari Engkaulah kesejahteraan itu,
Engkau Maha Mulia, Wahai Dzat yang mempunyai Keagungan dan Kesabaran
Lalu Allah Tabaraka wa Ta’ala tertawa kepada mereka dan berfirman:
“Mana hamba-hamba-Ku yang taat kepada-Ku tanpa melihat-Ku?
Inilah hari penambahan itu!
Inilah hari penambahan itu!
Maka,mereka memberikan jawaban yang sama:
“Kami telah ridha maka ridhailah kami”
Allah SWT berfirman:
“Wahai sekalian penghuni surga!
Jika Aku tidak ridha kepada kalian,
Maka Aku tidak menempatkan kalian kedalam surga-Ku!
Inilah hari penambahan itu
Maka mintalah apa saja kepada-Ku!
Maka mereka bersepakat terhadap satu permintaan:
“Perlihatkan wajah-Mu agar kami bisa melihat-Nya”
“Perlihatkan wajah-Mu agar kami bisa melihat-Nya”
Kemudian Allah SWT membuka tirai-Nya...
Dan Allah terlihat oleh mereka dan
Cahaya Allah menutupi mereka.
Sekiranya Allah SWT memutuskan mereka untuk terbakar
Maka mereka pasti terbakar.
Semua yang ada dilembah tersebut berbicara dengan Allah Ta’ala
Hingga Allah berkata:
“Hai fulan, ingatkah engkau pada suatu hari melakukan ini dan itu?”
Allah Ta’ala juga menyebutkan beberapa pelanggaran
Yang telah dikerjakannya didunia
Kemudian orang tersebut berkata:
Wahai Tuhanku,
Apakah Engkau tidak memberikan ampunan kepadaku?
Firman Allah “Justru...
Justru karena ampunan-Ku, engkau tiba ditempat ini.”

Duhai betapa nikmatnya mendengar suara tersebut.
Betapa sejuknya mata tatkala melihat wajah Allah yang Maha Mulia diakhirat kelak.
(Tamasya ke Surga oleh Ibn Al-Qayyim hal:406-407)






SHALAT TARAWIH DAN WITIR
Makalah Ini Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliyah Ibadah Syar’i MTs/ MA



Dosen Pembimbing :
Drs. Abdul Wahab, MEI
Oleh:
Dany Al-Aslamy
NIM: 20111550026

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURABAYA
FAKULTAS AGAMA ISLAM
2013


BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Allâh Ta'ala menutupi kekurangan shalat fardhu dengan shalat-shalat sunnah dan memerintahkan untuk menjaga dan melaksanakannya secara berkesinambungan. Di antara shalat sunnah yang diperintahkan untuk dilakukan , yaitu shalat Terawih dan Witir. Dijelaskan oleh Rasûlullâh Shallallâhu 'Alaihi Wasallam dalam sabdanya:Sesungguhnya Allâh telah menambah untuk kalian satu shalat, maka jagalah shalat tersebut. Shalat itu ialah Witir. (HR Ahmad dan dishahîhkan Syaikh al-Albâni dalam Irwa‘ al-Ghalîl, 2/159).
Dan perlu diketahui bahwa penamaan sholat lail di malam Ramadhan dengan nama Tarawih adalah penamaan yang sudah lama dan di kenal dikalangan para Ulama tanpa ada yang mengingkari. Perhatikan bagaimana Imam Al-Bukhary (Wafat tahun 256 H) dalam Shohih-nya menulis kitab khusus dengan judul Kitab Sholat At-Tarawih dan demikian pula Muhammad bin Nashr Al-Marwazy (Wafat tahun 294 H) dalam Mukhtashor  Qiyamul Lail. Demikian pula disebut oleh para Ulama lainnya, abad demi abad tanpa ada yang mengingkarinya. Karena itu alangkah sedikit pemahaman agama sebahagian orang di zaman ini yang mengingkari penamaan sholat lail di malam Ramadhan dengan nama sholat Tarawih, dan lebih menakjubkan lagi, ada sebahagian orang tanpa rasa malu menganggap bahwa sholat Tarawih adalah bid’ah

B.     Rumusan Masalah
·         Bagaimana definisi shalat tarawih dan witir?
·         Bagaimana hukum shalat tarawih dan witir?
·         Bagaimana waktu pelaksanaan shalat tarawih dan witir?
·         Bagaimana jumlah rakaat shalat tarawih dan witir?
C.     Tujuan
·         Untuk mengetahui definisi shalat tarawih dan witir
·         Untuk mengetahui hukum shalat tarawih dan witir
·         Untuk mengetahui waktu pelaksanaan shalat tarawih dan witir
·         Untuk mengetahui jumlah rakaat shalat tarawih dan witir

BAB II
PEMBAHASAN
A.    Definisi Shalat Tarawih Dan Witir
1.      Shalat terawih dan definisinya
Secara umum sholat di malam hari setelah sholat ‘Isya sampai subuh disebut Qiyamul Lail. Didalam Al-Qur`an Al-Karim, Allah SWT berfirman :
$pkšr'¯»tƒ ã@ÏiB¨ßJø9$# ÇÊÈ ÉOè% Ÿ@ø©9$# žwÎ) WxÎ=s% ÇËÈ ÿ¼çmxÿóÁÏoR Írr& óÈà)R$# çm÷ZÏB ¸xÎ=s% ÇÌÈ ÷rr& ÷ŠÎ Ïmøn=tã È@Ïo?uur tb#uäöà)ø9$# ¸xÏ?ös? ÇÍÈ
 “Hai orang yang berselimut (Muhammad), bangunlah (untuk sholat) di malam hari, kecuali sedikit (daripadanya), (yaitu) seperduanya atau kurangilah dari seperdua itu sedikit, atau lebih dari seperdua itu. Dan bacalah Al Qur'an itu dengan perlahan-lahan.” (QS. Al-Muzzammil 73: 1-4)
Dan sholat di malam hari juga disebut sholat Tahajjud. Allah ‘Azza wa Jalla berfirman :
z`ÏBur È@ø©9$# ô¤fygtFsù ¾ÏmÎ/ \'s#Ïù$tR y7©9 #Ó|¤tã br& y7sWyèö7tƒ y7/u $YB$s)tB #YŠqßJøt¤C ÇÐÒÈ
“Dan pada sebahagian malam hari bertahajudlah kamu sebagai suatu ibadah tambahan bagimu: mudah-mudahan Tuhan-mu mengangkat kamu ke tempat yang terpuji.”. (QS. Al-Isra` 17: 79)
Tahajjud secara bahasa adalah bermakna membuang tidur. Berkata Imam Ath-Thobary : “Tahajjud adalah begadang setelah tidur” kemudian beliau membawakan beberapa nukilan dari ulama Salaf tentang hal tersebut.
Adapun sholat Tarawih, definisinya adalah Qiyamul Lail secara berjama’ah di malam Ramadhan. Menurut keterangan Al-Hafizh Ibnu Hajar dan Syaikh Ibnu ‘Utsaimin, dinamakan Tarawih yang dia merupakan kata jamak dari tarwihah yang bermakna ditebalkan- dikarenakan pada awal kali pelaksanaannya orang-orang memperpanjang berdiri, rukuk dan sujud, apabila telah selesai empat raka’at dengan dua kali salam maka mereka beristirahat kemudian sholat empat raka’at dengan dua kali salam lalu beristirahat kemudian sholat tiga raka’at sebagaimana dalam hadits ‘Aisyah radhiyallahu‘anha riwayat Al-Bukhary dan Muslim: “Rasulullah shollallahu ‘alaihi wasallam tidaklah menambah pada (bulan) Ramadhan dan tidak pula pada selain Ramadhan lebih dari sebelas raka'at. Beliau sholat empat (raka'at) jangan kamu tanya tentang baiknya dan panjangnya, kemudian beliau sholat empat (raka'at) jangan kamu tanya tentang baiknya dan panjangnya kemudian beliau sholat tiga (raka'at)”.
Dan perlu diketahui bahwa penamaan sholat lail di malam Ramadhan dengan nama Tarawih adalah penamaan yang sudah lama dan di kenal dikalangan para Ulama tanpa ada yang mengingkari. Perhatikan bagaimana Imam Al-Bukhary (Wafat tahun 256 H) dalam Shohih-nya menulis kitab khusus dengan judul Kitab Sholat At-Tarawih dan demikian pula Muhammad bin Nashr Al-Marwazy (Wafat tahun 294 H) dalam Mukhtashor Qiyamul Lail. Demikian pula disebut oleh para Ulama lainnya, abad demi abad tanpa ada yang mengingkarinya. Karena itu alangkah sedikit pemahaman agama sebahagian orang di zaman ini yang mengingkari penamaan sholat lail di malam Ramadhan dengan nama sholat Tarawih, dan lebih menakjubkan lagi, ada sebahagian orang tanpa rasa malu menganggap bahwa sholat Tarawih adalah bid’ah.[1]
2.      Shalat witir dan definisinya
Yang dimaksud dengan shalat Witir, ialah shalat yang dikerjakan antara setelah shalat Isyâ‘ hingga terbit fajar Subuh sebagai penutup shalat malam. (shahih fiqih sunnah 1/381)
Dari abdulah bin umar r.a menuturkan bahwa ada seseorang bertanya kepada nabi saw ketika beliau masih diatas mimbar. Orang tersebut bertanya, Bagaimana pendapatmu tentang shalat malam? Nabi menjawab; dilakukan dua rakaat dua rakaat. Jika salah seorang diantara kalian khawatir dengan datangnya waktu shubuh, maka hendaknya dia shalat satu rakaat sehingga bisa mengganjilkan shalat yang telah dikerjakannya.” Nabi juga bersabda, “jadikanlah akhir shalat kalian pada malam hari adalah witir.” (HR Bukhari dalam ash shalat, 372).
‘Aisyah ra. Menuturkan bahwa pada setiap malam Rasulullah saw mengerjakan shalat witir pada awal, pertengahan dan akhir malam. Shalat witirnya berakhir hingga waktu sahur.” (HR Muslim dalam shalat a musafirin, 996)[2]



B.     Hukum Sholat Tarawih Dan Witir
A.    Hukum sholat tarawih
Berkata Imam An-Nawawy dalam  Al-Majmu’3/526: “Dan sholat  Tarawih  adalah sunnah menurut kesepakatan para ‘ulama.” Lihat juga Syarah Muslim 6/38.
Dan berkata Ibnu Rusyd dalam Bidayatul Mujtahid1/209 : “Dan (para ulama) sepakat bahwa Qiyam bulan Ramadhan sangat dianjurkan lebih dari seluruh bulan.”
Berkata Ibnu Qudamah dalam Al-Mughny2/601 : “Ia adalah sunnah muakkadah dan awal kali yang menyunnahkannya adalah Rasulullah shollallahu ‘alaihi wasallam.”
Dan Al-Mardawy dalam  Al-Inshof 2/180 juga memberi pernyataan sama dalam madzhab Hanbaliyah namun beliau menyebutkan bahwa Ibnu ‘Aqil menghikayatkan dari Abu Bakr Al-Hanbaly akan wajibnya.
Tidaklah diragukan bahwa sholat Tarawih adalah sunnah muakkadah berdasarkan dalil-dalil yang telah disebut di atas.
Namun para ulama berselisih pendapat tentang mana yang afdhol dalam pelaksanaan sholat Tarawih, apakah dilakukan secara berjama’ah di masjid atau sendiriaan di rumah?. Ada dua pendapat di kalangan para ulama :
1.  Yang afdhol adalah secara berjama’ah. Ini adalah pendapat Asy-Syafi’iy dan kebanyakan  pengikutnya, Ahmad, Abu Hanifah, sebahagian orang Malikiyah dan selainnya. Dan Ibnu Abi Syaibah menukil pelaksanaan secara berjama’ah dari  ‘Ali, Ibnu Mas’ud, Ubay bin Ka’ab, Suwaid bin Ghafalah, Zadzan, Abul Bakhtary dan lain-lainnya. Alasannya karena ini adalah sunnah Rasulullah shollallahu ‘alaihi wasallam yang dihidupkan oleh Umar dan para sahabat  radhiyallahu‘anhum dan sudah menjadi symbol agama yang nampak seperti sholat ‘Ied. Bahkan Ath-Thohawy berlebihan sehingga mengatakan bahwa sholat  Tarawih secara berjama’ah adalah wajib kifayah.
2.  Sendirianlah yang afdhol. Ini adalah pendapat Imam Malik, Abu Yusuf, sebagian orang-orang Syafi’iyyah dan selainnya. Alasannya adalah hadits Rasulullah shollallahu ‘alaihi wasallam yang berbunyi : “Sesungguhnya sebaik-baik sholat seseorang adalah dirumahnya kecuali sholat wajib.” [3]
B.     Hukum sholat witir
Menurut jumhur ulama sholat witir hukumnya adalah sunnah  muakkadah. Ini pendapat Imam Malik, Asy-Syafi’iy, Ahmad, Ishaq dan lain-lainnya. Di sisi lain Abu Hanifah berpendapat bahwa sholat witir hukumnya wajib. Mereka berdalilkan dengan beberapa dalil, diantaranya hadits Buraidah  radhiyallahu‘anhu riwayat Abu Daud dan lain-lainnya, Rasulullah  shollallahu ‘alaihi wasallam bersabda : “Witir adalah haq, siapa yang tidak witir maka bukanlah dari kami, witir adalah haq, siapa yang tidak witir maka bukanlah dari kami, witir adalah haq, siapa yang tidak witir maka bukanlah dari kami.”(Dihasankan oleh Syaikh Muqbil dalam Al-Jami’ Ash-Shohih2/159)
Tarjih: Yang benar dalam masalah ini bahwa sholat witir tidak wajib. Hal ini berdasarkan hadits Tholhah bin ‘Ubaidullah  radhiyallahu‘anhu riwayat Al-Bukhary dan Muslim , ketika Rasulullah shollallahu ‘alaihi wasallam menyebutkan kewajiban sholat lima waktu maka beliau di tanya, “Apakah ada kewajiban lain atasku” beliau menjawab :  “Tidak, kecuali hanya sekedar sholat tathawwu’ (sholat sunnah).”  Dan juga akan diterangkan tentang sholat witirnya Nabi shollallahu ‘alaihi wa ‘alaalihi wa sallam di atas hewan tunggangannya padahal dimaklumi bahwa sholat wajib tidaklah dilakukan di atas hewan tunggangan. Dan masih ada dalil-dalil lain yang menunjukkan tidak wajibnya.[4]
C.    Waktu Sholat Tarawih Dan Witir
Waktu pelaksanaanya adalah :
1)      Awal Waktu
Berkata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam Al-Fatawa 23/119-220 : “Sunnah dalam sholat Tarawih dilaksanakan setelah sholat ‘Isya sebagaimana yang telah disepakati oleh Salaf dan para Imam … dan tidaklah para Imam melakukan sholat (Tarawih) kecuali setelah ‘Isya di masa Nabi shollallahu ‘alaihi wasallam dan dimasa para Khulafa` Ar-Rasyidin dan di atas hal ini para Imam kaum muslimin…”
Dan berkata Ibnul Mundzir : “Ahlul ‘Ilmi telah sepakat bahwa (waktu) antara sholat ‘Isya sampai terbitnya fajar adalah waktu untuk witir.” Maka ukuran awal waktu pelaksanaan Qiyam adalah setelah sholat ‘Isya, apakah sholat ‘Isyanya di awal waktu, pertengahan atau akhir waktunya. Dem ikian pula -menurut keterangan Syaikh Ibnu ‘Utsaimin dan selainnya- boleh dilaksanakan oleh seorang yang musafir bila ia telah menjamak taqdim waktu ‘Isya dengan waktu maghrib.
Hal ini berdasarkan hadits Abu Bashrah  radhiyallahu‘anhu riwayat Ahmad dan selainnya, Rasulullah shollallahu ‘alaihi wasallam  bersabda : “Sesungguhnya Allah telah menambahkan bagi kalian suatu sholat yaitu witir, maka laksanakanlah sholat itu antara sholat ‘Isya sampai Subuh.” (Dishohihkan oleh Syaikh Al-Albany dalam Ash Shohihah no. 108)
Dan dalam hadits Kharijah bin Hudzafah  radhiyallahu‘anhu riwayat Abu Daud, At-Tarmidzy, Ibnu Majah dan lain-lainnya, Rasulullah shollallahu ‘alaihi wasallam bersabda : “Sesungguhnya Allah ‘Azza waJalla telah menganugerahi kalian suatu sholat yang lebih baik bagi kalian dari onta merah, yaitu sholat witir. (Allah) telah menjadikannya untuk kalian antara ‘Isya sampai terbitnya fajar”.  (Dishohih kan oleh Syaikh Al-Albany dalam  Al-Irwa`no. 423 dengan seluruh jalan-jalannya. Baca juga  Fathul Bari karya Ibnu Rajab 6/235) Ada satu sisi pendapat lemah dikalangan pengikut madzhab Syafi’iyyah dan juga fatwa sebahagian dari orang-orang belakangan dari kalangan Hanbaliyah menyatakan bolehnya melakukan witir sebelum pelaksanaan ‘Isya. Tentunya itu adalah pendapat yang sangat lemah, bahkan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata : “Siapa yang melakukannya sebelum ‘Isya maka ia telah menempuh jalan para pengikut bid’ah yang menyelisihi sunnah”.
Namun para ulama berselisih pendapat tentang orang  yang sholat witir sebelum Isya dalam keadaan lupa atau ia menyangka telah melaksanakan sholat ‘Isya, apakah witirnya diulang kembali atau tidak?. Ada dua pendapat di kalangan para ulama tentang masalah ini :
1.  Pendapat pertama: Diulangi kembali. Ini adalah pendapat jumhur ulama seperti Al Auza’iy, Malik, Asy-Syafi’iy, Ahmad, Abu Yusuf, Muhammad dan lain-lainnya.
2.  Pendapat kedua : Tidak diulangi. Ini pendapat Sufyan Ats-Tsaury dan Abu Hanifah. Dan tidak diragukan lagi bahwa yang kuat adalah pendapat pertama berdasarkan dalil-dalil yang telah disebutkan.[5]
2)      Akhir Waktu (Waktu Terakhir)
Dari Sholat Lail (Tarawih) Para ulama sepakat bahwa seluruh malam sampai terbitnya fajar adalah waktu pelaksanaan witir. Namun ada perselisihan pada batasan akhir waktu witir, ada beberapa pendapat dikalangan para ulama :
Satu : Akhir waktunya sampai terbit fajar. Ini adalah pendapat Sa’id bin Jubair, Makhul, ‘Atho`, An-Nakha’iy, Ats-Tsaury, Abu Hanifah dan riwayat yang  paling  masyhur  dari Asy-Syafi’iy dan Ahmad. Dan diriwayatkan pula dari ‘Umar, Ibnu ‘Umar, Abu Musa dan Abu Darda`  radhiyallahuanhum.
Dua :  Akhir waktunya sepanjang belum sholat subuh. Ini adalah pendapat Al-Qosim bin Muhammad, Malik, Asy-Syafi’iy -dalam madzhabnya yang terdahulu dan salah satu riwayat dari Ahmad. Dan juga merupakan pendapat Ishaq bin Rahawaih, Abu Tsaur dan lain-lainnya. Dan diriwayatkan pula dari ‘Ali, Ibnu Mas’ud, ‘Uba dah bin Shomit, Hudzaifah dan lain-lainnya.
Tarjih: Yang kuat adalah pendapat pertama, karena dua hadits yang telah berlalu penyebutannya di atas sangatlah tegas menunjukkan bahwa akhir waktunya adalah sampai terbitnya fajar subuh. Dan juga dalam hadits Ibnu ‘Umar  radhiyallahu‘anhuma riwayat Muslim, Rasulullah  shollallahu ‘alaihi wasallam  ketika ditanya tentang kaifiyat sholat lail beliau bersabda : “(Sholat malam) dua dua, apabila engkau khawatir (masuk) waktu subuh maka sholatlah satu raka’at dan jadikan akhir sholatmu witir”[6]
D.    Jumlah Raka’at Sholat Tarawih Dan Witir
·         Jumlah raka’at sholat tarawih
Berkata Ibnu ‘Abdil Barr dalam Al-Istidzkar 2/99 : “Dan para Ulama telah sepakat bahwa tidak ada batasan dan tidak ada ukuran tertentu dalam sholat lail dan ia adalah sholat nafilah (sunnah). Siapa yang berkehendak maka ia dapat memperpanjang berdiri dan mengurangi raka’at, dan siapa yang berkehendak maka ia dapat memperbanyak ruku’ dan sujud.”
Terdapat perselisihan pendapat di kalangan para ulama tentang jumlah raka’at sholat Tarawih. Menurut Abu Hanifah, Ats-Tsaury, Asy-Syafi’iy, Ahmad dan lain-lainnya bahwa jumlah raka’at sholat Tarawih tanpa witir adalah 20 raka’at. Dan pendapat ini oleh Al-Qhody ‘Iyadh dan selainnya disandarkan kepada pendapat Jumhur Ulama. Disisi lain Imam Malik berpendapat bahwa jumlah raka’at sholat Tarawih adalah 36 raka’at. Dan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam Al-Fatawa 23/112-113 menyebutkan bahwa Imam Ahmad memberi nash bahwa 20, 36 (tanpa witir), 11 dan 13 (dengan witir) semuanya adalah bagus.
Tarjih: Dalam hadits ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha riwayat Al-Bukhary dan Muslim, beliau berkata : “Tidaklah Rasulullah shollallahu ‘alaihi wasallam menambah dalam Ramadhan dan tidak (pula) pada yang lannya melebihi 11 raka’at”
Dan juga dalam hadits 'Aisyah radhiyallahu‘anha riwayat Muslim, beliau berkata : “Rasulullah shollallahu 'alaihi wasallam sholat antara selesainya dari sholat isya` sampai sholat fajr (sholat subuh) sebelas raka'at, Beliau salam setiap dua raka'at dan witir dengan satu raka'at”.
Dan juga disebutkan jumlah 13 raka’at dalam hadits Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma riwayat Al-Bukhary dan Muslim, beliau berkata : “Adalah Rasulullah shollallahu ‘alaihi wasallam sholat di malam hari 13 raka’at”
Dan dalam hadits Zaid bin Kholid Al-Juhany radhiyallahu ‘anhu riwayat Muslim, beliau berkata : “Sungguh saya akan mengamati sholat Rasulullah shollallahu 'alaihi wasallam di malam hari maka beliau sholat dua raka'at ringan kemudian beliau sholat dua raka'at panjang, panjang, panjang sekali kemudian beliau sholat dua raka'at lebih pendek dari dua raka'at sebelumnya kemudian beliau sholat dua raka'at dan keduanya lebih pendek dari dua raka'at sebelumnya kemudian beliau sholat dua raka'at dan keduanya lebih pendek dari dua raka'at sebelumnya kemudian beliau sholat dua raka'at dan keduanya lebih pendek dari dua raka'at sebelumnya kemudian beliau berwitir maka itu (jumlahnya) tiga belas raka'at”.
Berkata Ibnu ‘Abdil Barr : “Kebanyakan atsar menunjukkan bahwa sholat beliau adalah 11 raka’at dan diriwayatkan juga 13 raka’at.”
Namun 11 dan 13 raka’at ini bukanlah pembatasan. Dan siapa yang ingin sholat lebih dari itu maka tidaklah mengapa berdasarkan hadits ‘Abdullah bin ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma riwayat Al-Bukhary dan Muslim, Rasulullah shollallahu ‘alaihi wasallam bersabda : “Sholat malam dua-dua, apabila engkau khawatir (masuknya) waktu shubuh maka (hendaknya) ia sholat witir satu raka'at maka menjadi witirlah sholat yang telah ia lakukan".
Demikian pendapat yang dikuatkan oleh Al-Lajnah Ad-Da`imah yang diketuai oleh Syaikh Ibnu Baz dan juga merupakan pendapat Syaikh Ibnu ‘Utsaimin, Syaikh Muqbil dan lain-lainnya. Adapun Syaikh Al-Albany beliau berpendapat akan wajibnya terbatas pada 11 atau 13 raka’at.
Dan Syaikh Al-Albany dalam Sholatut Tarawih hal. 19-21 (Cet. Kedua) menjelaskan dengan lengkap bahwa hadits yang mengatakan bahwa Nabi shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam melakukan sholat Tarawih 20 raka’at adalah hadits yang lemah sekali. Dan di hal. 48-56, Syaikh Al-Albany menegaskan lemahnya penisbatan pelaksanaan 20 raka’at pada ‘Umar bin Khoththob disertai dengan nukilan pelemahan dari beberapa Imam dan beliau sebutkan bahwa yang benar dari ‘Umar adalah pelaksanaan 11 raka’at. Dan di hal. 65-71, beliau menerangkan bahwa tidak ada nukilan yang syah dari seorang shahabatpun tentang pelaksanaan Tarawih 20 raka’at. Dan di hal. 72-74, beliau membantah sangkaan sebagian orang yang mengatakan bahwa syari’at sholat Tarawih 20 raka’at merupakan kesepakatan para ulama.[7]
·         Jumlah raka’at sholat witir
Ada beberapa hadits yang menjelaskan tentang jumlah raka’at sholat witir Rasulullah shollallahu ‘alaihi wasallam, diantaranya adalah :
Dari ‘Abdullah bin Abi Qais radhiyallahu‘anhu, beliau berkata : “Saya berkata kepada ‘Aisyah : “Berapa kebiasaan Rasulullah shollallahu ‘alaihi wasallam melakukan witir?,” beliau menjawab : “Adalah beliau melakukan witir dengan empat dan tiga, dengan enam dan tiga, dengan delapan dan tiga dan dengan sepuluh dan tiga, tidaklah pernah beliau melakukan witir kurang dari tujuh dan tidak (pula) lebih dari tiga belas”.” (Diriwayatkan oleh Ahmad, Abu Daud, Ath-Thohawy, Al-Baihaqy dan lain-lainnya. Sanadnya Jayyid menurut Syaikh Al-Albany dalam Sholatut Tarawih hal. 83-84 (Cet. Kedua) dan dihasankan oleh Syaikh Muqbil dalam Al-Jami’ Ash-Shohih 2/162-163)
Dan dari Abu Ayyub Al-Anshory radhiyallahu‘anhu riwayat Abu Daud, An-Nasa`i, Ibnu Majah dan lain-lainnya, Rasulullah shollallahu ‘alaihi wasallam bersabda : “Witir adalah haq atas setiap muslim, maka siapa yang suka untuk witir dengan 5 (raka’at) maka hendaknya ia kerjakan, siapa yang suka untuk witir dengan 3 (raka’at) maka hendaknya ia kerjakan dan siapa yang suka untuk witir dengan 1 (raka’at) maka hendaknya ia kerjakan.” (Dishohihkan oleh Syaikh Al-Albany dalam Sholatut Tarawih hal. 84 (Cet. Kedua) dan dihasankan oleh Syaikh Muqbil dalam Al-Jami’ Ash-Shohih 2/163. Dan Ibnu Rajab dalam Fathul Bari menyebutkan bahwa Abu Hatim, An-Nasa`i, Al-Atsram dan lain-lainnya menguatkan riwayat hadits ini secara mauquf.)
Dari dua hadits di atas dan beberapa hadits yang akan datang diketahui bahwa pelaksanaan witir Nabi shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam tidaklah kurang dari 7 raka’at dan tidak lebih dari 13 raka’at, dan beliau juga memberi tuntunan bolehnya witir dengan 5, 3, dan 1 raka’at. Dan pelaksanaan witir 1 raka’at adalah boleh menurut jumhur Ulama dari kalangan Shahabat, Tabi’in dan para Imam yang mengikuti mereka dengan baik.
Adapun bentuk pelaksanaannya adalah sebagai berikut :
ü  Bila witirnya 11 dan 13 raka’at maka dengan cara salam untuk setiap dua raka’at dan ditambah satu raka’at.
ü  Bila witirnya 9 raka’at maka dengan cara dua kali tasyahhud, yaitu tasyahhud pada raka’at kedelapan tanpa salam kemudian berdiri ke raka’at sembilan tasyahhud kemudian salam.
ü  Bila witirnya 7 raka’at maka boleh tidak tasyahhud kecuali di akhir kemudian salam, dan juga boleh tasyahhud pada raka’at keenam tanpa salam lalu melanjutkan raka’at ketujuh kemudian tasyahhud dan salam.
ü  Bila witirnya 5 raka’at maka tidak tasyahhud kecuali di akhirnya kemudian salam.
ü  Bila witirnya 3 raka’at maka boleh dua cara dengan ketentuan tidak menyerupai sholat maghrib menurut pendapat yang paling kuat, yaitu: Melakukan 3 raka’at sekaligus dengan sekali tasyahhud dan salam. Melakukan 2 raka’at lalu salam kemudian berdiri lagi 1 raka’at lalu salam.
ü  Bila witirnya dengan 1 raka’at maka tentunya dengan satu kali salam.
Masalah jumlah raka’at  witir ini telah diterangkan oleh Ibnu Rajab secara meluas dan mendetail lengkap dengan uraian perbedaan pendapat para Ulama. Dan kesimpulan ringkas di atas adalah kesimpulan dari keterangan Syaikh Ibnu ‘Utsaimin dalam masalah ini.[8]















BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
  • Definisi sholat Tarawih adalah Qiyamul Lail secara berjama’ah di malam Ramadhan. Yang dimaksud dengan shalat Witir, ialah shalat yang dikerjakan antara setelah shalat Isyâ‘ hingga terbit fajar Subuh sebagai penutup shalat malam. (shahih fiqih sunnah 1/381)
  • Berkata Imam An-Nawawy dalam  Al-Majmu’3/526: “Dan sholat  Tarawih  adalah sunnah menurut kesepakatan para ‘ulama.” Lihat juga Syarah Muslim 6/38. Menurut jumhur ulama sholat witir hukumnya adalah sunnah  muakkadah. Ini pendapat Imam Malik, Asy-Syafi’iy, Ahmad, Ishaq dan lain-lainnya.
  • Dalam pelaksanaannya ada dua waktu; diawal waktu dan diakhir waktu. Sholat Tarawih dilaksanakan setelah sholat ‘Isya sebagaimana yang telah disepakati oleh Salaf dan para Imam …dan Para ulama sepakat bahwa seluruh malam sampai terbitnya fajar adalah waktu pelaksanaan witir.
  • Berkata Ibnu ‘Abdil Barr : “Kebanyakan atsar menunjukkan bahwa sholat beliau adalah 11 raka’at dan diriwayatkan juga 13 raka’at (dengan witir).”

















Daftar pustaka

Al-qur’an dan terjemahnya, Departemen agama RI.
Sunusi A l-Atsary, Dzulqarnain Bin Muhammad, Tuntunan Qiyamul Lail Dan Sholat Tarawih (Majalah An Nashihah Vol. 7, 1425/2008)
Syaikh Al Maqdisi, Abdul Ghani, Umdatul Ahkam (Riyadh: Dar Ibnu Khuzaimah 1420 H)





[1] Dzulqarnain Bin Muhammad Sunusi A l-Atsary Tuntunan Qiyamul Lail Dan Sholat Tarawih (Majalah An Nashihah Vol. 7, 1425/2008), 1
[2] Syaikh Abdul Ghani Al Maqdisi Umdatul Ahkam(Riyadh: Dar Ibnu Khuzaimah 1420 H), 99
[3] Dzulqarnain Bin Muhammad Sunusi A l-A tsary Tuntunan Qiyamul Lail Dan Sholat Tarawih (Majalah An-Nashihah Vol. 7, 1425/2008), 5-6
[4] Ibid, 6
[5] Ibid,6-7
[6] Ibid, 7
[7] Ibid, 9-10
[8] Ibid, 10-11