Sunday, June 30, 2013

SYI’AH; AWAL MUNCULNYA HINGGA PEMBUNUHAN AL-HUSAIN BIN ALI BIN ABU THALIB RADHIYALLAHU ‘ANHUMA

SYI’AH; AWAL MUNCULNYA HINGGA PEMBUNUHAN AL-HUSAIN BIN ALI BIN ABU THALIB RADHIYALLAHU ‘ANHUMA

Oleh: Rosyid Ibnu Ahmad

 

Muqaddimah

Segala puji milik Allah Ta’ala, Shalawat serta Salam atas Rasulullah Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam, wa ba’du:
            Aqidah Shahihah ‘Alaa Nahji Salaful Ummah merupakan ilmu yang paling penting yang wajib dipelajari setiap muslim. Perbedaan dan perpecahan ummat Islam berawal karena munculnya aqidah atau keyakinan yang melenceng dari aqidah Rasulullah dan Shahabat.
Perbedaan pada masa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam langsung selesai katika sampai kepada beliau. Begitu juga perbedaan dan perpecahan pada masa sepeninggal beliau Shallallahu ‘alaihi wasallam juga langsung bisa diselesaikan, berkat kapasitas ilmu dan iman para Shahabat Radhiyallahu ‘anhum yang tinggi, sebagai contoh, perbedaan yang terjadi ketika Rasulullah meninggal, sehingga Umar bin Khatthab datang dan berteriak: “siapa yang bilang bahwa Muhammad telah mati, maka akan kutebas lehernya”, hal ini terjadi karena shock yang dialami para Shahabat saat mendengar kabar meninggalnya Rasulullah, yang hal ini langsung selesai ketika Abu Bakar As-Shiddiq berkata: “barang siapa yang menyembah Muhammad maka beliau telah meninggal, dan barang siapa yang menyembah Allah, maka Dia terus hidup dan tidak mati”.
            Begitu juga ketika muncul perbedaan dimanakah Rasulullah harus dimakamkan, dan perbedaan selesai dengan mengambil keputusan Abu Bakar As-Shiddiq untuk memakamkan Rasulullah di tempat tinggal beliau. Contoh yang lain ketika muncul perbedaan mada masa Abu Bakar As-Shiddiq, antara memerangi orang-orang yang tidak mau membayar zakat atau membiarkan, yang akhirnya ijtihad Abu Bakar yang dipakai sehingga ummat islam saat itu bersatu memerangi orang-orang yang tidak mau membayar zakat. Dan sebagainya masih banyak lagi.
            Perbedaan dan perpecahan ummat islam yang sangat signifikan dan berbahaya terjadi masa khalifah Utsman bin Affan, Abdullah bin Saba’ seorang yahudi sebagai sumber perpecahan ummat ini, yang dia mempengaruhi orang-orang untuk mengutamakan Ali bin abu Thalib dari pada Utsma bin Affan, bahkan dari pada Shahabat yang lain yang kemudian muncullah Syi’ah yang dipelopori oleh Ibnu Saba’.
            Munculnya Syi’ah merupakan kelompok yang paling berbahaya terhadap ummat Islam dan yang paling dusta terhadap pemimpin mereka. Dan itu dikarenakan mereka menggunakan istilah Taqiyah yang bersinonim dengan dusta, juga memperlihatkan bahwa mereka sangat membela Aalu al-Bait, tapi sebenarnya merekalah yang membunuh Ali bin Abu Thalib dan putranya Al-Husain bin Ali bin Abu Thalib, juga mereka membunuh Shahabat yang lain seperti Umar bin Khatthab, dan sebagainya. Dan juga mereka sangat membenci Ahlus Sunnah yang bisa kita lihat bagaimana perlakuan mereka terhadap Ahlus Sunnah.
            Di bawah ini penulis ingin memaparkan singkat sejarah munculnya Syi’ah, dan Syi’ah pada masa awal munculnya sampai pembunuhan Al-Husain bin Ali Radhiyallahu ‘anhuma. Semoga bermanfaat dan menyadarkan kita semua akan hakekat dan bahayanya syi’ah. Wallaahu a’laa wa a’lam bishshawab.

 

Cairo, 19 Juni 2013

Tujuan dan Pentingnya Mempelajari Firaq

Akhir sebuah ummat tidak akan baik jika awalnya sudah tidak baik, dengan ini penulis ingin menyebutkan beberapa tujuan mempelajari perpecahan ummat:
1.      Mengingatkan ummat Islam bagaimana kehidupan pendahulunya, harga diri, kemuliaan, dan kekuatan mereka ketika mereka dalam tangan dan hati yang satu.
2.      Memalingkan pandangan kepada keadaan kehidupan mereka, dan kerugian yang mereka peroleh yang disebabkan perpecahan mereka.
3.      Mengajak ummat Islam untuk bersatu, mengingatkan akan tercelanya perpecahan serta menjelaskan keburukan-keburukannya, menjelaskan kebaikan-kebaikan persatuan ummat Islam, dan menyatukan mereka pada jalan yang satu.
4.      Memperlihatkan ummat Islam sebab-sebab perbedaan yang mencabik-cabik mereka seperti yang telah lalu, supaya menjauhi perpecahan setelah mempelajarinya dengan sungguh-sungguh dan niat yang benar.
5.      Mengetahui pemikiran-pemikiran yang bertentangan dengan hakekat Islam yang menyerang dan merusak aqidah Islam yang shahih.
6.      Mengawasi pergerakan-pergerakan dan pemikiran-pemikiran orang-orang yang keluar dari garis jalan yang lurus; untuk menanggulangi peranan mereka yang berbahaya dalam mencerai-beraikan kesatuan ummat Islam, dengan memberi tahu ummat tentang mereka, menjelaskan hakekat mereka untuk memperingakan ummat, serta menjelaskan apa yang mereka lakukan untuk melayani pemikiran-pemikiran rusak tersebut. Tidaklah ada bencana besar masa lalu kecuali itu juga ada di masa kini dengan jelas, setiap kaum memiliki pewaris.
7.      Supaya kelompok yang selamat tetap ada dan membawa ummat menjauh dari bencana-bencana yang menyerang aqidah Islam yang shahih.
8.      Menjelaskan munculnya akar-akar perbedaan antara para pendahulu yang berakibat perpecahan mereka, memperingatkan ummat akan hal tersebut, dan membantah mereka yang berusaha memutuskan persaudaraan ummat Islam dengan menyampaikan kisah para pendahulu untuk membangun peradaban baru sesuai keinginan mereka.
9.      Selanjutnya juga bertujuan supaya para ulama Islam melakukan pembelajaran, pemeriksaan dengan teliti, serta mengeluarkan yang haq dari yang bathil, dan melawan orang-orang yang ingin mengeluarkan ummat Islam dari aqidah shahihah atau memecah belah ummat.
Sembilah tujuan diatas kiranya yang penulis anggap paling penting untuk disampaikan dan dipahami.
Adapun pentingnya mempelajari Firaq antara lain:
1.      Melihat perpecahan ummat ini sudah lama ada, ibaratnya bukan karena para pencetus perpecahan tersebut di zamannya, akan tetapi lebih karena pemikiran-pemikiran yang membawa kepada perpecahan ummat ini ada pada masa kita sekarang, dan jika kita melihat kepada perpecahan ummat masa lalu, kita akan mendapati ada lanjutan episodenya di masa kini.
2.      Seperti yang diketahui bersama bahwa pemikira-pemikiran zaman dulu selalu memiliki pengikut yang menyeru kepada perealisasian, kecenderungan keluar dari garis Syai’at, menghalalkan darah muslim hanya karena syubhat yang sepele, mengkafirkan orang hanya karena dosa kecil, yang semua itu sekarang ada di masyarakat Islam.
3.      Bahwa mempelajari firaq, dakwah kepada masyarakat, dan menyatukan kata ummat islam, untuk memperbanyak jumlah al-firqah an-najiyah dengan menggabungkan mereka yang keluar dari kebenaran, dan bergabung bersama ahlu al-firqah an-najiyah, Rasulullah Shallallhu ‘alaihi wasallam berkata:
((ظاهرين على الحق لا يضرهم من خالفهم أو خذلهم حتى يأتي أمر الله وهم على ذلك )) ]أخرجه الترمذي 4/485, 504[
Dan tidak mempelajari al-firaq ini maka akan kehilangan kesempatan kebaikan yang besar.
4.      Membiarkan ummat tanpa mendakwahi mereka untuk berpegang teguh pada ad-Din as-Shahih, dan tanpa menjelaskan bahayanya golongan-golongan yang bertentangan, merupakan sesuatu yang bathil karena Syari’at telah mewajibkan untuk amar ma’ruf nahi munkar. Tentu saja golonga-golongan yang bertentangan dengan Syari’at tegak di atas dasar-dasar yang munkar, kemudian mengatakan bahwa itu yang paling benar dan yang selainnya berarti salah dan sesat, maka mereka mencampur adukkan antara yang haq dan yang bathil, dan memperlihatkan kesesatan, keluarnya dan kebejatan mereka seolah-olah berdasar Al-Qur’an dan As-Sunnah dalam bingkai yang bagus dan cemerlang guna mempromosikan dan mengajak orang kepada kebid’ahan.
5.      Tidak mempelajari firaq dan tidak menyangkalnya serta tidak menjatuhkan pemikiran-pemikiran mereka yang bertentangan dengan kebenaran, ini memberikan kesempatan kelompok-kelompok ahlu bid’ah untuk melakukan semau mereka, dan mengajak orang kepada apa saja yang mereka inginkan seperti bid’ah dan khurafat, tanpa ada yang melawannya dengan mempelajari dan menyangkalnya, seperti yang sudah ada dalam realita.
Banyak dari kalangan thullabul ‘ilm, apalagi orang awam, menyepelekan pemikiran kelompok-kelompok yang mengombang-ambingkan dunia, yang mereka bekerja malam dan siang untuk menyebarkan kebathilah mereka. Dari kelalaian ummat Islam ini untuk melakukan riset dan mengungkapkan kesesatan kelompok-kelompok sesat tersebut, dikhawatirkan ini adalah rencana orang-orang sesat itu, yang saat ini berhasil menutupi pandangan ummat Islam dari hakekat mereka dan rencana-rencana jahat mereka.
Seperti yang banyak terjadi, banyak kita dapati pemikiran-pemikiran dan perkataan-perkataan yang diambil dan ditiru ummat Islam tanpa mengetahui dari mana sumbernya, mungkin dari Mu’tazilah[1], atau Sufi[2], atau Baha’iyah[3], atau Qadiyaniyah[4], atau Khawarij[5], atau Syi’ah[6] dan sebagainya. Hal ini terjadi karena ketidak tahuan ummat tentang pemikira-pemikiran golongan-golongan sesat tersebut[7].
Dalil Larangan Berpecah Belah
1.      Dari Al-Qur’an:
·        ))وَأَنَّ هَذَا صِرَاطِي مُسْتَقِيمًا فَاتَّبِعُوهُ وَلا تَتَّبِعُوا السُّبُلَ فَتَفَرَّقَ بِكُمْ عَنْ سَبِيلِهِ ذَلِكُمْ وَصَّاكُمْ بِهِ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ(( ]الأنعام: 153[
·        )) وَاعْتَصِمُوا بِحَبْلِ اللَّهِ جَمِيعًا وَلا تَفَرَّقُوا... ] ((آل عمران: 103[
·        ))إِنَّ الَّذِينَ فَرَّقُوا دِينَهُمْ وَكَانُوا شِيَعًا لَسْتَ مِنْهُمْ فِي شَيْءٍ إِنَّمَا أَمْرُهُمْ إِلَى اللَّهِ ثُمَّ يُنَبِّئُهُمْ بِمَا كَانُوا يَفْعَلُونَ] ((الأنعام: 153[
2.      Dari As-Sunnah:

1.     ما رواه عَبْدِ اللَّهِ بْنِ مَسْعُودٍ قَالَ: خَطَّ لَنَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَوْمًا خَطًّا، ثُمَّ قَالَ: «هَذَا سَبِيلُ اللَّهِ» ، ثُمَّ خَطَّ خُطُوطًا عَنْ يَمِينِهِ و خُطُوطًا عَنْ يَسَارِهِ ثم َقَالَ: «هَذِهِ سُبُلٌ، عَلَى كُلِّ سَبِيلٍ مِنْهَا شَيْطَانٌ يَدْعُو إِلَيْهِ» ، ثم قَرَأَ هذه الآية: {وأَنَّ هَذَا صِرَاطِي مُسْتَقِيمًا فَاتَّبِعُوهُ وَلَا تَتَّبِعُوا السُّبُلَ فَتَفَرَّقَ بِكُمْ عَنْ سَبِيلِه} [الأنعام: 153]، وَهَذَا الْكَلَامُ قَدْ رُوِيَ، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ مِنْ غَيْرِ وَجْهٍ نَحْوَهُ أَوْ قَرِيبًا مِنْهُ [8]"
2.     وفي حديثِ العرباضِ بنِ ساريةَ رضيَ اللهُ عنه قال: "وعَظَنا رسولُ الله صلى الله عليه وسلم موعظةً وجِلَتْ منها القلوبُ وذرَفتْ منها العيونُ، فقلنا يا رسولَ اللهِ كأنها موعظةُ مُودِّع فأوصِنا. قال: "أُوصيكُم بتقوى اللهِ عز وجلَّ والسمعِ والطاعةِ" ثم قال: "فإنه من يعِش منكم فسيرى اختلافاً كثيراً فعليكُم بسُنَّتي وسنةِ الخلفاءِ الراشدين المهديِّينَ من بعدِي تمسكوا بها وعَضُّوا عليها بالنَّواجِذِ وإياكم ومحدثات الأمور فإن كل محدثة بدعة وكل بدعة ضلالة [9]"
3.     حديث حذيفة رضي الله عنه في الصحيحين (قال: كان الناس يسألون رسول الله صلى الله عليه وسلم عن الخير، وكنت أسأله عن الشر مخافة أن يدركني، فقلت: يا رسول الله، إنا كنا في جاهلية وشر فجاءنا الله بهذا الخير، فهل بعد هذا الخير من شر؟ قال: "نعم"، قلت: فهل بعد ذلك الشر من خير؟ قال: "نعم، وفيه دخن"، قلت: وما دخنه يا رسول الله؟ قال: "قوم يهدون بغير هديي تعرف منهم وتنكر"، قلت: فهل بعد ذلك الخير من شر؟ قال: "نعم، دعاة على أبواب جهنم من أجابهم إليها قذفوه فيها"، قلت: يا رسول الله صفهم لنا، قال: "هم من جلدتنا ويتكلمون بألسنتنا"، قلت: فما تأمرني إن أدركني ذلك؟ قال: "تلزم جماعة المسلمين وإمامهم"، قلت: فإن لم يكن لهم جماعة ولا إمام؟ قال: "فاعتزل تلك الفرق كلها، ولو أن تعض على أصل شجرة حتى يدركك الموت وأنت على ذلك".[10]
4.     وعن معاوية بن أبي سفيان أنه قام فينا فقال :" ألا إن رسول الله صلى الله عليه وآله وسلم قام فينا فقال :" ألا إن من قبلكم من أهل الكتاب افترقوا على ثنتين وسبعين ملة، وإن هذه الملة ستفترق على ثلاث وسبعين: ثنتان وسبعون في النار، وواحدة في الجنة، وهي الجماعة "[11].
وفي رواية أَنَسُ بْنُ مَالِكٍ ، قَالَ : ذُكِرَ عِنْدَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَجُلٌ ، فَذَكَرُوا قُوَّتَهُ فِي الْعَمَلِ وَاجْتِهَادَهُ فِي الْعِبَادَةِ ، فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : " إِنَّ هَذَا أَوَّلُ قَرْنٍ خَرَجَ فِي أُمَّتِي لَوْ قَتَلْتُهُ مَا اخْتَلَفَ اثْنَانِ بَعْدَهُ مِنْ أُمَّتِي ، إِنَّ بَنِي إِسْرَائِيلَ افْتَرَقَتْ عَلَى إِحْدَى وَسَبْعِينَ فِرْقَةً ، وَإِنَّ أُمَّتِي سَتَفْتَرِقُ عَلَى اثْنَتَيْنِ وَسَبْعِينَ فِرْقَةً كُلُّهَا فِي النَّارِ إِلا فِرْقَةً وَاحِدَةً "، قَالَ يَزِيدُ الرَّقَاشِيُّ : وَهِيَ الْجَمَاعَةُ [12].
Sebab-sebab umum terjadinya perpecahan:
1.      Munculnya ulama yang beraqidah menyimpang, yang berperan memberi bagian dalam menetapkan golongan di antara ummat Islam.
2.      Kebodohan mendominasi di antara ummat Islam dalam zaman yang berbeda yang bersifat umum.
3.      Pemahaman nash Al-Qur’an dan As-Sunnah yang keliru, walaupun mungkin dengan niat yang baik.
4.      Mengedepankan hawa nafsu.
5.      Fanatik yang tercela.
6.      Kedengkian yang kuat di dalam jiwa.
7.      Kegemaran menghidupkan bid’ah dan khurafat, dan jiwa yang lebih condong kepadanya.
8.      Pengkudusan akal dan mengutamakannya dari naql (nash Al-Qur’an dan As-Sunah).
9.      Propaganda yang menyimpang dari aqidah shahihah yang berdasarkan Al-Qur’an dan As-Sunnah sebagaimana as-Salaf as-Shalih.
10.  Adanya pengaruh dari luar.

Bagaimanakan perpecahan dan golongan mulai muncul di khalayak?
Perpecahan dan golongan bisa muncul di antara ummat Islam bermula dari sebuah pemikiran kecil, baik secara pribadi atau dari beberapa orang, kemudian melebar dan meluas sedikit demi sedikit sehingga menjadi golongan yang memiliki manhaj yang sesuai baik secara politik maupun sosial.

Pengertian Syi'ah

Secara bahasa, Syi'ah berarti al-Atbaa' (pengikut), al-Anshar (penolong), al-A'waan (antek-antek) dan al-Khasshah(anggota khusus).
Al-Azhary berkata: "Syi'ah adalah penolong seseorang dan pengikutnya, dan setiap kaum yang berkumpul pada suatu perkara maka mereka adalah syi'ah"[13].
Az-Zabidy berkata: "setiap kaum yang berkumpul atas suatu perkara maka mereka adalah syi'ah, dan setiap yang menolong seseorang dan bergabung dengannya maka dia adalah syi'ah (pengikut) untuknya, yang asli katanya adalah Musyaya'ah yang berarti Muthawa'ah (menta'ati) dan Mutaba'ah (mengikuti)"[14].
Begitu juga ketika terjadi perbedaan pendapat antara Ali bin Abu Thalib dan Mu'awiyah Radhiyallahu 'ahuma, dan masing-masing mempunyai pendukung yang disebut dengan Syi'atu Ali bin Abu Thalib dan Syi'atu Mu'awiyah bin Abu Sufyan.
Penggunaan Kalimat Syi'ah dalam Al-Qur'an
Kata Syi'ah dan kata jadiannya di dalam Al-Qur'an secara bahasa memiliki beberapa arti:
1.      Berarti golongan, atau ummat, atau jama'ah manusia, Allah berfirman:
))ثُمَّ لَنَنْزِعَنَّ مِنْ كُلِّ شِيعَةٍ أَيُّهُمْ أَشَدُّ عَلَى الرَّحْمَنِ عِتِيًّا] ((مريم: 69[
Kemudian pasti akan Kami tarik dari tiap-tiap golongan siapa di antara mereka yang sangat durhaka kepada Tuhan Yang Maha Pemurah”. (Maryam: 69), Yaitu, dari setiap golongan, atau jama’ah, atau ummat.[15]
2.      Berarti golongan, Allah berfirman:
)) إِنَّ الَّذِينَ فَرَّقُوا دِينَهُمْ وَكَانُوا شِيَعًا لَسْتَ مِنْهُمْ فِي شَيْءٍ إِنَّمَا أَمْرُهُمْ إِلَى اللَّهِ ثُمَّ يُنَبِّئُهُمْ بِمَا كَانُوا يَفْعَلُونَ] ((الأنعام: 159[
”Sesungguhnya orang-orang yang memecah belah agamanya dan mereka (terpecah) menjadi beberapa golongan, tidak ada sedikit pun tanggung jawabmu terhadap mereka. Sesungguhnya urusan mereka hanyalah (terserah) kepada Allah, kemudian Allah akan memberitahukan kepada mereka apa yang telah mereka perbuat”. (Al-An’am: 159), yaitu, golongan-golongan.[16]
3.      Juga ada dalam bentuk kata Asy-yaa' yang berarti Amtsal (yang serupa) dan Nadhair (yang sama), Allah berfirman:
((وَلَقَدْ أَهْلَكْنَا أَشْيَاعَكُمْ فَهَلْ مِنْ مُدَّكِرٍ)) ]القمر: 51[
“Dan sesungguhnya telah Kami binasakan orang yang serupa dengan kamu. Maka adakah orang yang mau mengambil pelajaran?”(Al-Qamar: 51), yaitu, keserupaan kalian dalam kekufuran atau ummat-ummat terdahulu.[17]
4.      Berarti Mutabi' (yang mengikuti), Mawaaliy (budak), dan Munashir (pembela)[18], Allah berfirman:
((وَدَخَلَ الْمَدِينَةَ عَلَى حِينِ غَفْلَةٍ مِنْ أَهْلِهَا فَوَجَدَ فِيهَا رَجُلَيْنِ يَقْتَتِلانِ هَذَا مِنْ شِيعَتِهِ وَهَذَا مِنْ عَدُوِّهِ فَاسْتَغَاثَهُ الَّذِي مِنْ شِيعَتِهِ عَلَى الَّذِي مِنْ عَدُوِّهِ فَوَكَزَهُ مُوسَى فَقَضَى عَلَيْهِ قَالَ هَذَا مِنْ عَمَلِ الشَّيْطَانِ إِنَّهُ عَدُوٌّ مُضِلٌّ مُبِينٌ)) ]القصص: 15[
“Dan Musa masuk ke kota (Memphis) ketika penduduknya sedang lengah, maka didapatinya di dalam kota itu dua orang laki-laki yang berkelahi; yang seorang dari golongannya (Bani Israel) dan seorang (lagi) dari musuhnya (kaum Firaun). Maka orang yang dari golongannya meminta pertolongan kepadanya, untuk mengalahkan orang yang dari musuhnya lalu Musa meninjunya, dan matilah musuhnya itu. Musa berkata: "Ini adalah perbuatan syaitan sesungguhnya syaitan itu adalah musuh yang menyesatkan lagi nyata (permusuhannya)”. (Al-Qashash: 15).[19]

Adapun secara istilah para ulama berbeda pendapat mengenai pengertian hakekat Syi'ah yang akan penulis rangkumkan sebagai berikut:
1.      Yaitu sebuah kata yang dibakukan atau ditetapkan (علم) yang biasanya diartikan: bagi setiap orang yang membela Ali Radhiyallahu 'anhu dan ahlu bait-nya, sebagaimana perkataan Fayruz Abadi: "dan sesungguhnya nama ini biasanya digunakan bagi setiap orang yang membela Ali Radhiyallahu 'anhu dan ahlu bait-nya, sehingga menjadi sebuah nama khusus bagi mereka.[20]
2.      Yaitu mereka yang membela Ali Radhiyallahu 'anhu dan meyakini Nash ke-Imam-an beliau, dan bahwa Khalifah yang telah mendahuluinya dzalim terhadap beliau.
3.      Yaitu mereka yang mengutamakan Ali dari Utsman Radhiyallahu 'anhuma.
4.      Syi'ah adalah nama untuk setiap yang mengutamakan Ali dari al-Khulafa ar-Rasyidin yang sebelum beliau Radhiyallahu 'anhum Jami'a, dan berpendapat bahwa ahlul bait paling berhak mendapatkan kekhilafahan, dan bahwa kekhalifahan selain mereka adalah bathil.
Namun semua definisi tersebut di atas tidak sempurna kecuali yang terakhir.
Perbandingan definisi-definisi diatas:
Adapun definisi yang pertama tidaklah benar, karena Ahlu Sunnah juga berwala' kepada Ali dan ahli bait-nya, dan mereka menentang syi'ah.
Adapun definisi yang kedua digugurkan dengan pendapat sebagian Syi'ah yang membenarkan kekhilafahan Abu Bakar dan Umar, dan tidak membenarkan terhadap kekhilafahan Utsman, dan sebagian mereka juga membenarkan kekhilafahan beliau seperti sebagian Zaidiyah sebagaimana yang disebutkan oleh Ibnu Hazm.[21]
Kemudian juga seperti yang terlihat hanya mencukupkan kekhilafahan sampai Ali saja tanpa menyebutkan ahlu bait-nya.
Dan definisi yang ketiga juga tidak benar, karena bertentangan dengan pendapat sebagian Syi'ah yang berbara' terhadap Utsman, sebagaimana perkataan Katsir 'Azzah:
برأت إلى الإله من ابن أروى                  ومن دين الخوارج أجمعينا
ومن عمر برئت ومن عتيق            غداة دعي أمير المؤمنينا
Dan yang Rajih adalah definisi yang keempat, karena ketepatannya sebagai definisi syi'ah sebagaimana sebuah kelompok yang memiliki pemikiran, pendapat dan keyakinan.[22]

Kapan Munculnya Tasyayyu’?
Para Ulama berbeda pendapat dalam menetapkan kapan Tasyayyu' mulai muncul sesuai dengan Ijtihad mereka, yang penulis ringkaskan sebagai berikut:
1.      Bahwa syi'ah sudah muncul pada masa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam yang saat itu Rasulullah mendakwahkan Tauhid sedangkan pengikut Ali bin Abu Thalib mulai ada sedikit demi sedikit.
Dan yang memiliki pendapat ini adalah Muhammad Husain az-Zain dari ulama syi'ah dan yang lainnya[23], juga sebagaimana yang disebutkan oleh an-Nubakhtiy di dalam buku Firaq as-Syi'ah-nya[24], dan yang ditekankan oleh Khumaeni[25] pada masa kita sekarang, bahkan Hasan as-Syiraziy mengikuti perkataan: "sesungguhnya bukanlah Islam itu melainkan Tasyayyu' dan bukanlah Tasyayyu' itu melainkan Islam, Islam dan tasyayyu' adalah dua nama yang sama untuk suatu hakekat yang satu yang diturunkan Allah dan disebarkan oleh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam".[26]
2.      Ada juga yang mengatakan bahwa syi'ah muncul pada saat peperangan Jamal yang dihadapi Ali, Thalhah dan az-Zubair Radhiyallahu 'anhum, dan yang mengakui pendapat ini adalah Ibn an-Nadim yang mengatakan bahwa orang-orang yang berjalan bersama Ali dan mengikuti beliau Radhiyallahu 'anhu dinamakan Syi'ah sejak saat itu.[27]
3.      Pendapat yang lain mengatakan bahwa syi'ah muncul pada hari peperangan Shiffin, ini pendapat beberapa ulama syi'ah seperti al-Khounsariy, Abu Hamzah dan Abu Hatim, juga pendapat sebagian ulama diluar mereka, seperti Ibn Hazm dan Ahmad Amin.[28]
4.      Pendapat yang lain mengatakan munculnya setelah terbunuhnya al-Husain Radhiyallahu 'anhu, dan ini adalah pendapat Kamil Mustafa as-Syaibiy seorang syi'ah, yang mengaku bahwa tasyayyu' setelah pembunuhan al-Husain menjadi suatu tabi'at khusus baginya.[29]
5.      Pendapat yang lain mengatakan telah muncul pada masa Utsman dan menguat pada masa Ali Radhiyallahu 'anhuma.[30]
Pada realitanya bahwa pendapat yang pertama yang dikatakan oleh orang syi'ah adalah palsu dan jelas dusta belaka yang tidak masuk akal bahkan secara mantiq, karena Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam diutus untuk mengeluarkan manusia dari kegelapan jahiliyah menuju cahaya Islam, dari menyembah berhala kepada Tauhid, dan kepada menyatukan kalimat tanpa berpartai atau berkelompok-kelompok, Al-Qur'an dan As-Sunnah didalamnya penuh dengan dakwah kepada Allah dan larangan berpecah belah.
Muhammad Mahdi al-Husainiy as-Syiraziy berkata: "sungguh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam telah menamai mereka dengan nama ini pada saat beliau berkata seraya menunjuk kepada Ali Radhiyallahu 'anhu: "ini dan syi'ah-nya (pengikutnya) mereka adalah orang-orang yang beruntung"".[31] Tapi perkataan ini bathil.
Adapun yang Rajih dari beberapa pendapat diatas adalah pendapat yang ketiga yaitu setelah peperangan Shiffin ketika Khawarij terbelah dan berpartai-partai di Nahrawan, kemudian muncul sebagai gantinya pengikut dan pendukung Ali yang mana disitu bermula pemikiran tasyayyu' yang semakin menguat sedikit demi sedikit. Walaupun sepertinya tidak mengapa jika ada tasyayyu' yang berarti al-mayl (yang condong), munasharah (pendukung), dan mahabbah (kecintaan) kepada Imam Ali dan Ahlu Baitnya sebelum itu (itupun jika penamaan tasyayyu' saat itu dibolehkan) dan tidak sebagai tasyayyu' yang berarti politik dalam syi'ah, maka sesungguhnya mereka bukanlah pendukung dan penolong ahlul bait akan tetapi mereka adalah musuh ahlul bait dan yang melanggar perjanjian dalam banyak kesempatan.

Periode-periode Paham Tasyayyu'
Pemahaman tasyayyu' pada awal mulanya adalah fitnah yang terjadi pada masa khalifah Ali Radhiyallahu 'anhu yang berarti mendukung dan berdiri memihak kepada Ali Radhiyallahu 'anhu untuk mengambil haknya sebagai Khalifah setelah Khalifah Utsman, dan bahwa yang menentangnya maka dia salah dan harus dikembalikan kepada yang benar walaupun dengan kekuatan.
Dan pendapat seperti ini dulu banyak dari kalangan Shahabat dan Tabi'in, yang mana mereka berpendapat bahwa Ali bin Abu Thalib lebih berhak menjabat kekhilafahan dari pada Mu'awiyah karena bersatunya orang-orang yang membai'atnya, dan tidak dibenarkan kalau difahami bahwa mereka adalah tonggak awalnya Syi'ah, yang mana mereka adalah Syi'ahnya Ali yang berarti pembela dan pendukungnya.
Dan dari yang disebutkan disini tentang mereka bahwa mereka tidak sampai menyakiti terhadap orang-orang yang berbeda pendapat dengan mereka dan tidak sampai mengkafirkan juga tidak memperlakukan mereka seperti orang-orang kafir bahkan mereka masih mengakui mereka sebagai orang Islam, adapun perbedaan antara mereka tidaklah semata karena masalah politik tentang kekhilafahan, ada yang mengatakan tentang hal ini: ‘bahwa Ali bin Abu Thalib suatu saat setelah peperangan melawan pasukan Mu’awiyah bin Abu Sufyan, beliau menguburkan siapa saja yang gugur yang ditemuinya dari dua pasukan tanpa membedakan antara keduanya’.
Sikap Khalifah Ali bin Abu Thalib ini berbuah di hari kemudian, ketika al-Hasan mengalah dan memberikan jabatan kekhilafahan kepada Mu'awiyah Radhiyallahu 'anhu sebagai realisasi dari sikap baik yang diperlihatkan oleh ayahnya Radhiyallahu 'anhuma.
Tidak berhenti sampai disitu pemahaman dari kecondongan kepada Ali Radhiyallahu 'anhu dan pembelaan terhadap beliau, ketika sekali lagi orang-orang mengutamakan Ali Radhiyallahu ‘anhu dari seluruh Shahabat, dan ketika Ali mengetahui hal tersebut beliau marah dan mengancam bagi siapa saja yang mengutamakan beliau dari Syaikhain (Abu Bakar dan Umar Radhiyallahu ‘anhuma) dengan hukuman, dan menegakkan hukuman bagi para pedusta.[32]
Pada periode ini para pendukung Ali masih lurus-lurus saja, belum mengkafirkan orang yang menentang Ali Radhiyallahu ‘anhu tidak juga dari kalangan Shahabat, dan tidak pula mencela para Shahabat, hanya saja saat itu kecondongan mereka terhadap Ali sekedar loyalitas dan rasa sayang terhadap beliau.
Sikap seperti ini diakui oleh beberapa pendukung Ali seperti Abu al-Aswad ad-Du'aliy, Abu Sa'id Yahya bin Ya'mar, dan Salim bin Abu Hafshah, begitu juga Abdurrazzaq pemilik buku karangan dalam hadits dan Ibnu as-Sakit berpendapat sama.[33]
Kemudian periode selanjutnya Tasyayyu' mulai melenceng dan keluar dari yang haq, dan penentangan mulai tampak, pemikiran Ibnu Saba' juga memberikan hasilnya yang buruk sehingga mereka mulai memperlihatkan keburukan, seperti mulai mencela para Shahabat, mengkafirkan dan berlepas diri dari mereka kecuali beberapa seperti Salman al-Farisiy, Abu Dzar, al-Miqdad, Ammar bin Yasir dan Hudzaifah.
Begitu juga menghukumi bagi siapa saja yang hadir di Ghadir khum sebagai kafir murtad karena tidak memenuhi kesepakatan –seperti yang mereka sangkakan- untuk membai'at Ali sebagai pelaksanaan wasiyat Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam terhadap Ali di Ghadir Khum.
Abdullah bin Saba' adalah yang bertanggung jawab atas dakwah sesat dan menyesatkan ini, kemudaian Khalifah Ali bin Abu Thalib mengasingkannya di Madain (nama sebuah kampung di Hijaz/tepat pengasingan) dan berkata: "jangan kau tinggal bersamaku di negeri ini selamanya".
Dan pada akhirnya Tasyayyu' sampai pada puncak ghuluw (melampaui batas) sehingga keluar dari Islam, yang mana mereka meng-Ilah-kan Ali. Pada periode ini Ibnu Saba' sebagai pencetus sekaligus panglima dan mendapatkan banyak pengikut dari orang-orang bodoh dan yang sangat membenci Islam. Dan kemudian Khalifah Ali Radhiyallahu 'anhu membakar siapa saja yang mengatakan perkataan kufur ini[34], beliau juga bersikap tegas terhadap Ibnu Saba'.[35]
Sikap Khalifah Ali bin Abu Thalib Radhiyallahu 'anhu terhadap Abdullah bin Saba' al-Mal'un:
Ada perbedaan riwayat tentang sikap Khalifah Ali bin Abu Thalib terhadap Abdullah bin Saba' ketika meng-Ilah-kan Ali bin Abu Thalib:
1.      Sebagian riwayat menyebutkan bahwa Ali bin Abu Thalib meminta Abdullah bin Saba' untuk bertaubat selama tiga hari, tapi dia tidak bertaubat juga maka Ali bin Abu Thalib membakarnya dan bersamanya tujuh puluh orang.[36]
2.      Sebagian riwayat  yang lain menyebutkan bahwa Abdullah bin Saba' tidak secara terang-terangan menyatakan ke-Ilah-an Ali bin Abu Thalib kecuali setelah wafatnya beliau Radhiyallahu 'anhu, dan ini mendukung riwayat yang menyebutkan mengasingan Abdullah bin Saba' keluar ketika Ali bin Abu Thalib mengetahui sebagian pendapat dan ke-keterlaluannya, karena jika Ali bin Abu Thalib tahu perkataan Abdullah bin Saba' tentang peng-Ilah-an beliau semasa hidupnya maka beliau akan membunuhnya.[37]
3.      Sebagian riwayat lain menyebutkan bahwa Ali bin Abu Thalib mengetahui dakwaan Abdullah bin Saba' tentang peng-Ilah-an beliau, akan tetapi beliau cukup hanya mengasingkan karena takut akan fitnah dan pertentangan para Shahabat terhadap beliau, dan juga khawatir dari celaan penduduk Syam.
Ini adalah pendapat Abdullah bin Abbas Radhiyallahu 'anhuma, atau Rafidhah sebagaimana yang dikatakan di dalam riwayat ini.[38]
Dan kenyataannya bahwa riwayat yang menyebutkan bahwa Ali bin Abu Thalib hanya mengasingkan Abdullah bin Saba', tidak membakarnya sementara dakwaannya yang buruk dan berbahaya ini perlu dilihat lebih jelas, bahkan tidak ada riwayat yang benar, yang mana bertentangan seperti yang terlihat, bagaimana mungkin Ali bin Abu Thalib sekedar mengasingkannya, membiarkannya melakukan kerusakan di bumi, mendakwahkan ke-Ilah-an beliau, atau kenabiannya, atau penunjukannya secara Nash oleh Allah sebagai Nabi, atau berlepas-dirinya dari para Shahabat Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam, kemudian cukup sekedar mengasingkannya ke daerah terpencil? Sementara Beliau Radhiyallahu 'anhu mengetahui bahwa makhluk terlaknat ini tetap pada sikap berlebihannya, dan akan membuat kerusakan di setiap tempat yang dia datangi?.
Mungkin bisa dikatakan (dengan kemungkinan paling kecil): bahwa khalifah Ali bin Abu Thalib membiarkannya karena menurut beliau kabar tersebut tidak pasti, karena Abdullah bin Saba' menyerang dari balik tabir (sembunyi-sembunyi).
Atau karena tuduhan peng-Ilah-an belum terdengar kecuali setelah wafatnya khalifah Ali bin Abu Thalib Radhiyallahu 'anhu sebagaimana pendapat sebagian riwayat, dan bahwa ketika pengasingannya di tempat terpencil tuduhan Abdullah bin Saba' belum sampai meng-Ilah-kan Ali bin Abu Thalib Radhiyallahu 'anhu. Kemudian dakwa peng-Ilah-an ini semakin berani dan meluas kepada Aalul Bait dahkan orang lain di luar Aalul Bait.
Dan yang harus diperhatikan di sini adalah kesalahan yang terjadi tentang profil Abdullah bin Saba', yang diriwayatkan oleh sebagian Ulama sebagai berikut:
1.      Sebagaian ulama syi'ah, juga sebagain orientalis berusaha mengingkarai adanya sosok Abdullah bin Saba', dan mereka mengatakan bahwa dia hanya sebuah dongeng yang tidak nyata. Ini sangat berbahaya karena menimbulkan keraguan orang Islam terhadap kebenaran sejarah yang ditulis para ulama, jika ada keraguan pada sosok ini terjadi maka kemungkinan keraguan juga ada pada sosok-sosok lain dalam sejarah.[39]
2.      Terjadi kerancuan pada sebagian ulama antara Abdullah bin Saba' dan Abdullah bin Wahb ar-Rasibiy[40], sebagai dua nama untuk orang yang satu, dan ini merupakan kesalahan. Karena ar-Rasibiy adalah pemuka awal pemerintahan, sedangkan Ibnu Saba' adalah pemuka gerakan Sabaiyah.
3.      Terdapat perkataan sebagian ulama yang membedakan antara Ibnu as-Sauda' dan Ibnu Saba'.[41] Dan yang benar adalah bahwa milik orang yang sama sebagaimana sebagian mereka menamakannya.
Adapun bantahan atas dakwa peng-Ilah-an Ali bin Abu Thalib, jelas itu bathil, karena meng-Ilah-kan siapa saja itu merupakan sesuatu yang berbahaya yang menunjukkan niat jahat dan keyakinan buruk atau kegilaan.
Hal ini seperti perkataan bahwa Ali bin Abu Thalib tidak terbunuh dan beliau tidak boleh mati. Al-Baghdadiy menyangkal hal ini di dalam bukunya Al-Farqu baina Al-Firaq,[42] begitu juga Ibnu Hazm[43] dan yang lainnya atas perkataan Abdullah bin Saba' bahwa Ali bin Abu Thalib tidak mati, dengan beberapa dalil secara akal diantaranya:
1.      Jika yang dibunuh Abdurrahman bin Muljim adalah setan dan bukan Ali bin Abu Thalib (kalau beliau tidak bisa mati karena sebagai Ilah), kenapa kalian melaknat Ibnu Muljim yang telah membunuh setan?
2.      Kalian bilang: bahwa petir adalah suara Ali bin Abu Thalib, dan kilat adalah senyumnya, maka itu bathil karena petir dan kilat sudah ada sejak dahulu kala, dan para filosof sebelum islam berbeda pendapat dalam sebab bagaimana keduanya ada.
3.      Nabi Musa dan Nabi Harun juga Yusya' kedudukan mereka lebih tinggi dari pada Ali bin Abu Thalib pada keyakinan Yahudi dan Ibnu Saba', tapi kenapa kalian mempercayai kematian mereka dan tidak mempercayai kematian Ali?
4.      Kalian mengakui bahwa para Imam kalian bisa mengeluarkan madu dan mentega dari dalam bumi,[44] tapi kenapa al-Husain dan para sahabatnya terbunuh kehasusan di Karbala, dan tidak bisa mengeluarkan untuk mereka air, apalagi madu dan mentega?[45]
5.      Kalian mengatakan bahwa Ali bin Abu Thalib berada di awan seperti yang dikatakan oleh Ishaq bin Suwaid:[46]
برئت من الخوارج لست منهم            من الغزال منهم وابن باب
ومن قوم إذا ذكروا عليا                            يردون السلام على السحاب
Tentu saja perkataan ini bathil karena awan terberai di atas bumi, muncul dan hilang dalam gerakan panjang atau terputus-putus, maka di awan yang mana keberadaan Ali bin Abu Thalib? Dan di bumi sebelah mana beliau menetap?
Walaupun hinanya dakwaan mereka terhadap Ali bin Abu Thalib Radhiyallahu 'anhu, tetapi tetap didapati pembela dan penyokong, sungguh benar kata Allah Ta'ala ketika mensifati manusia ketika tersesat dari jalan yang lurus:
((أولئك كالأنعام بل هم أضل أولئك هم الغافلون))
Beberapa Nama Syi'ah
Syi'ah memiliki beberapa nama lain, yaitu:
1.      Syi'ah: nama ini yang paling masyhur, mencakup semua dari golongan-golongan yang terpecah darinya, dan tidak ada perbedaan para ulama' dalam menamakannya sebagai isim 'alam (dalam ilmu nahwu yaitu sebuah nama yang telah dibakukan dan tidak memerlukan ciri-ciri untuk mengetahuinya).
2.      Rafidhah: sebagian ulama juga menetapkan nama ini dan menjadikannya sebuah nama menyeluruh untuk semua kalangan syi'ah.
3.      Zaidiyah: ini juga nama yang ditetapkan sebagian ulama seperti halnya Rafidhah.[47]
Tiga nama tersebut yang terdapat pada tulisan para ulama tentang golongan-golongan syi'ah, dan pemilihan nama bukanlah sebuah ittifaq (kesepakatan) atau karena nama-nama tersebut muncul secara berurutan.
Realitanya bahwa penetapan nama Rafidhah untuk syi’ah pada umumnya, termasuk golongan-golongan di dalamnya seperti Zaidiyah, yang berkembang pada akhir abad pertama Hijriyah tidaklah benar, karena penamaan Rafidhah diambil dari perkataan Zaid bin Ali Radhiyallahu 'anhuma kepada sebagian syi'ah: ((رفضتموني))[48] yang artinya "kalian menentangku", maka kemudian mereka dinamakan Rafidhah.
Ini bukan berarti mereka saat itu belum ber-aqidah Rafidhah, akan tetapi sebelumnya pun mereka sudah berkeyakinan begitu karena mereka mencela dan melaknat Abu Bakar dan Umar Radhiyallahu 'anhuma, karena itu mereka meminta Zaid bin Ali untuk melaknat Shahabat Abu Bakar dan Umar akan tetapi beliau menolaknya. Hanya saja nama ini belum dikenal sebelumnya, yang ini berarti syi'ah sudah ada wujudnya dibawah nama lain seperti Sabaiyah yang dinisbatkan kepada Abdullah bin Saba' si Yahudi terlaknat, dan Kisaniyah yang dinisbatkan kepada Muhammad bin Abu Thalib yang dikenal dengan Muhammad bin al-Hanafiyyah.
Begitu juga pemutlakan nama Zaidiyah untuk syi’ah secara umum[49] ada pertentangan, karena syi'ah sudah ada sebelum Zaid yang kemudian dinisbatkan kepada beliau sebagai Zaidiyah, seperti kelompok Sabaiyyah dan Kisaniyyah. Zaidiyah-pun tidak mengambil semua perkataan Syi'ah yang melampaui batas, tapi di antara keduanya ada banyak perbedaan pendapat, juga diantara keduanya saling mencela seperti yang dikatakan oleh al-Baghdadiy.
Dan masih banyak nama lain yang masuk ke dalam kategori syi'ah seperti Mukhtariyah, Imamiyah, Itsna 'Asyariyah, Ja'fariyah, dan masih banyak yang lainnya.
Ini menjelaskan bahwa penamaan Syi'ah untuk semua kalangan Tasyayyu' tidak ada pertentangan jika yang dimaksudkan adalah isim 'alam, mengabaikan kebenaran nama tersebut atau tidaknya, karena terkadang seseorang memiliki nama Islam tetapi ternyata dia kafir begitu juga sebaliknya, maka dalam hal ini nama tidak berpengaruh pada hakekat dan kenyataan.

Beberapa Penyebab Perselisihan antara Sahabat Setelah Meninggalnya Khalifah Utsman bin Affan Radhiyallahu ‘anhum Ajma’in
Yang masyhur : bahwa Thalhah dan az-Zubair dan Aisyah mereka keluar untuk membalaskan dendam atas terbunuhnya Khalifah Utsman Radhiyallahu ‘anhu wa ‘anhum ajma’in.
Adapun Mu’awiyah: ketika Sahabat Ali bin Abu Thalib mengambil posisi kekhilafahan setelah terbunuhnya Khalifah Utsman bin Affan, beliau menarik sebagian gubernur-gubernur yang diangkat oleh Khalifah Utsman, dan diantara mereka adalah Khalid bin Sa’id bin al-‘Ash, dan Mu’awiyah bin Abu Sufyan, dan ketika kabar penarikan jabatan tersebut sampai kepada Mu’awiyah, beliau menolak dan dia berkata: “siapakah mencabut jabatanku?”, orang-orang mengatakan: “Ali bin Abu Thalib”. Mu’awiyah berkata: “dan dimanakah pembunuh putra pamanku, dimanakah pembunuh Utsman berada?”, mereka mengatakan: “Bai’atlah Ali, baru kemudaian carilah siapa yang membunuh Utsman”, Mu’awiyah berkata: “tidak, tapi Ali harus menyerahkan kepadaku pembunuh Utsman, dan baru kemudian aku membai’atnya”.
Dan itulah pada saat itu Mu’awiyah melihat bahwasan dia sedang berada dalam puncak kekuatannya di Syam, dan tidak akan menyia-nyiakannya untuk membalas dedam kepada pembunuh Khalifah Utsman bin Affan. Beliau berkata: “Aku tidak akan membai’at sehingga yang membunuh Khalifah Utsman dibunuh”, dan Khalifah Ali berkata: “Bai’atlah baru kemudian membahas tentang pembunuhan Khalifah Utsman”.
Maka dalam hal ini perselisihan antara sahabat Ali dan Mu’awiyah Radhiyallahu ‘anhuma adalah mana yang harus didahulukan antara bai’at atau mencari dan mengqishash pembunuh Khalifah Utsman Radhiyallahu ‘anhu.
Sahabat Ali berpendapat bahwa yang harus diutamakan adalah bai’at, baru setelah itu melihat permasalahan tentang pembunuhan Khalifah Utsman ketika semua perkara mulai tenang dan keamanan negara pulih.
Sedangkan sahabat Mu’awiyah berpendapat sebaliknya yaitu bahwa yang seharusnya mereka lakukan adalah membunuh pembunuh khalifah Utsman dan baru setelah itu baru melihat ke perkara tentang kekhilafahan selanjutnya.
Dan pada saat itu sahabat Thalhah dan az-Zubair berpendapat sebagaimana pendapat Mu’awiyah, yaitu menyegerakan pencarian dan qishash terhadap pembunuh khalifah Utsman, hanya saja Thalhah dan az-Zubair berbeda dengan Mu’awiyah dari sisi lain, yaitu mereka berdua telah membai’at Ali sedangkan Mu’awiyah belum membai’at.
Sikap para Sahabat Radhiyallahu ‘anhum mengenai perkara ini
Dalam hal ini ada tiga kelompok:
Yang pertama: Thalhah, az-Zubair, ‘Aisyah dan Mu’awiyah mereka berpendapat harus menyegerakan pencarian dan qishash terhadap pembunuh khalifah Utsman.
Yang kedua: Ali bin Abu Thalib dan yang bersamanya, berpendapat bahwa yang harus didahulukan dan disegerakan adalah pengangkatan khalifah baru, dan menunda perkara tentang pembunuhan Khalifah Utsman bin Affan.
Yang ketiga: Sa’ad, Ibnu Umar, Abu Hurairah, Muhammad bin Maslamah, al-Ahnaf, Usamah dan Abu Bakar ats-Tsaqafy, dan jajaran Shahabat yang lain, mereka berpendapat tak memihak keduanya.
Dan sebab perselisihan ini adalah bahwa perkara-perkaranya saat itu meragukan, dan saat itu adalah masa fitnah, maka dari itu tak seorangpun pada saat itu bisa mengurus masalah ini dan mencari hakekatnya dengan jelas.
Al-Hafidz Ibnu Hajar berkata: “bahwasannya at-Thabary mengeluarkan kabar dengan sanad yang shahih dari al-Ahnaf bin Qais Radhiyallahu ‘anhu dia berkata: “aku telah bertemu Thalhah dan az-Zubair setelah terbunuhnya khalifah Utsman dan aku berkata: “apa yang kalian berdua perintahkan padaku dan aku telah melihat Utsman terbunuh?” mereka menjawab: “bai’atlah Ali”. Kemudian aku bertemu ‘Aisyah setelah terbunuhnya Utsman di Makkah dan aku berkata: “apa yang engkau perintahkan untukku?” ‘Aisyah menjawab: “Bai’at Ali”.[50]
Dan ketika para Shahabat tersebut keluar dalam peperangan Jamal al-Ahnaf menemui mereka dan berkata kepada mereka: “demi Allah, aku tidak akan memerangi kalian sedangkan Ummul Mukminin bersama kalian, dan aku tidak memerangi seseorang yang kalian telah menyuruhku untuk membai’atnya”.[51]
Dan sungguh telah lama berselang waktu Rosululla Shallallahu ‘alaihi wasallam berkata kepada Ali: “wahai Ali sesungguhnya akan terjadi di antara kamu dan ‘Aisyah permasalahan maka lemah lembutlah kepadanya”, Ali berkata: “apakah aku akan menyakiti mereka wahai Rasulullah?” Rasulullah berkata: “jangan, tapi jika itu terjadi maka kembalikanlah dia (Aisyah) ke tempatnya yang aman (Al Madinah)”.[52]
Sikap Ahlu Sunnah terhadap Abdurrahman bin Muljim, dan pembunuhan Utsman, pembunuh az-Zubair, pembunuhan al-Husain dan yang lainnya:
Imam Dzahabi berkata: “Ibnu Muljim adalah orang yang kita mengharapkannya masuk Neraka, tapi barangkali Allah mengampuni dia, dan vonis dia sebagaimana vonis pembunuh Utsman, dan pembunuh az-Zubair, dan pembunuh Thalhah, dan pembunuh Sa’id bin Jubair, dan pembunuh Ammar, dan pembunuh Kharijah, dan pembunuh al-Husain,[53] maka mereka semua tidak ada hubungan apa-apa dengan kita, dan kita membenci mereka karena Allah dan kita serahkan semua perkara mereka kepada Allah Tabaraka wa Ta’ala”.[54]
Manakah yang lebih mendekati kebenaran antara Ali bin Abu Thalib dan Mu’awiyah bin Abu Sufyan?
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam telah berkata tentang Ammar: “sebuah jama’ah dzolim akan membunuhnya”.[55]
Dan Beliau berkata tentang Khawarij: “mereka keluar disaat kaum muslimin sedang berselisih, dan yang akan membunuh mereka adalah salah satu dari dua kubu kaum muslimin yang lebih dekat pada kebenaran”.[56]
Dua Hadits diatas menjelaskan bahwa yang benar atau yang mendekati kebenaran adalah pihak Ali Radhiyallahu ‘anhu, dan menjelaskan bahwa Ali bin Abu Thalib saat itu yang lebih dekat kepada kebenaran dari pada orang-orang yang menyelisihinya dalam perang jamal, begitu juga dalam perang shiffin, akan tetapi beliau tidak sepenuhnya benar, karena Rasulullah telah berkata: “yang paling dekat dengan kebenaran, lebih utama untuk dibenarkan, dan bukanlah sepenuhnya benar”. Dan hal ini bukan sebagai celaan terhadap Ali, tetapi untuk menjelaskan bahwa orang-orang yang tidak ikut berperan dalam fitnah saat itu mereka adalah yang berada dalam posisi kebenaran sepenuhnya, maka benarnya Ali saat itu adalah dalam menahan dari peperangan, maka dari itu beliau menyesal ketika melihat Thalhah terbunuh, dan berkata: “andaikan aku telah mati dua puluh tahun yang lalu”.[57]
Dan ketika al-Hasan bin Ali Radhiyallahu ‘anhuma datang setelah pertempuran Shiffin, dan berkata kepada Ali dari apa yang telah terjadi: “demi Allah aku tidak mengira perkara ini akan samapi seperti itu”.[58] Dan semua yang berperan dalam pertempuran tersebut menyesal.
Rasulullah telah memuji al-Hasan, dan Beliau berkata: “sesungguhnya cucuku ini adalah Sayyid dan semoga Allah mendamaikan dengan perantara dia dua kubu kaum muslimin yang berselisih”.[59] Dan Rasulullah memujinya karena perdamaian, dan Beliau tidak memuji Ali, karena beliau ikut memerangi mereka.
Adapun pujian Rasulullah kepada Ali adalah perannya dalam perang an-Nahrawan, dalam hal ini Ali benar sepenuhnya dengan memerangi Khawarij, maka dari itu tak satupun yang bersedih dan menyesal dalam memerangi mereka, bahkan kaum muslimin senang dengan memerangi penduduk an-Nahrawan.
Dan kemudian Ali bin Abu Thalib bersujud syukur kepada Allah setelah memerangi penduduk an-Nahrawan, akan tetapi dia menangis ketika memerangi Ahlu Jamal, dan sedih ketika memerangi Ahlu Shiffin.
Kisah Singkat dan Kejadian penting Pada Masa Al-Hasan bin Ali, Mu’awiyah bin Abu Sufyan, Yazid bin Mu’awiyah, dan Al-Husain bin Ali Radhiyallahu ‘anhum Ajma’iin:
Al-Hasan bin Ali bin Abu Thalib Radhiyallahu ‘anhuma
Lahir pada pertengahan Ramadhan pada tahun 3 H.
Istri-istri beliau: Khaulah bintu Mandzur, Ummu Bisyr bintu Abi Mas’ud, Ummu Ishaq bintu Thalhah bin Ubaidillah, dan yang terkenal tentang beliau adalah bahwasannya  beliau sering menikah dan juga sering mentalaq Radhiyallahu ‘anhu.
Anak-anak:
Laki-laki: al-Hasan, Zaid, Thalhah, Husain, Andullah, Abu Bakar, Abdurrahman, al-Qasim, Amr, Muhammad.
Perempuan: Ummu al-Hasan dan Ummu Abdillah.
Keutamaan-keutamaan beliau:
Dari Abu Bakrah berkata: “aku telah mendengan Rasulullah berkata diatas mimbar dan al-Hasan di sebelah Beliau sekalli-kali melihat kepada orang-orang dan sekali-kali kepada Rasulullah, dan suatu saat Rasulullah berkata tentangnya: “Cucuku ini adalah Sayyid dan semoga dengannya Allah mendamaikan dua kubu dari kaum muslimin yang berselisih”.[60]
Dari Usamah bin Zaid bahwasannya Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam pernah membawanya dan al-Hasan, dan beliau berkata: “Ya Allah sesungguhnya aku mencintai mereka berdua, maka cintailah mereka”.[61]
Dari Uqbah bin al-Harits berkata: “aku telah melihat Abu Bakar Radhiyallahu ‘anhu dan dia membawa al-Hasan dan dia berkata: “aduhai… anak ini mirip dengan Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam bukan mirip dengan Ali”. Dan Ali tertawa.[62]
Wafatnya: beliau wafat sekitar masa kepemimpinan Mu’awiyah pada tahun 49 Hijriah. Dan beliau meninggal karena diracuni dalam minumannya.
Umair bin Ishaq berkata: “aku dan sahabatku datang menjenguh al-Hasan, kemudian beliau berkata kepada sahabat saya: “wahai kisanak, mintalah sesuatu padaku!” dia menjawab: “aku tidak mau meminta sesuatu kepadamu”. Kemudian Beliau bangun dari kami dan masuk ke kamar kecil kemudian keluar dan berkata: “wahai kisanak mintalah sesuatu padaku sebelum kamu tidak akan bisa melakukannya, sesungguhnya aku telah memuntahkan bagian dari hatiku (kabid) waktu di kamar kecil dan kemudian aku aduk-aduk (ingin mengetahui apakah yang keluar ini) dengan sebatang kayu kecil, dan bahwa aku telah diberi minum yang beracum berkali-kali, belum pernah aku diracuni seperti ini, maka mintalah sesuatu!”, dia menjawab: “aku tidak mau meminta sesuatu padamu, semoga Allah menyembuhkanmu Insya Allah”. Kemudian kami keluar, dan ketika hari kemudian aku mendatanginya dan beliau sedang berbaring, dan kemudian al-Husain datang dan duduk dekat kepalanya kemudian berkata: “wahai Saudaraku, katakan padaku siapa yang meracunimu”, beliau menjawab: “kenapa? Apa kamu akan membunuhnya?”, al-Husain menjawab: “ya”, Beliau berkata: “aku tidak akan mengatakan padamu kalau begitu, jika yang melakukannya adalah orang yang kukira sahabatku maka Allah adalah pemilik balasan yang paling dahsyat, dan jika bukan, maka demi Allah seseorang yang tidak bersalah tidak akan dibunuh demi aku”.[63] Ada pendapat bahwa yang meracuni beiau adalah istrinya Ja’dah bintu al-Asy’ats, akan tetapi hal ini tidak terbukti. Imam Dzahabi dan Imam Ibnu Katsir berpendapat ini tidak benar.[64]
Bai’at kekhilafahan kepada al-Hasan
Setelah terbunuhnya Khalifah Ali Radhiyallahu ‘anhu wa Ardhahu penduduk Kufah membai’at al-Hasan bin Ali dan keluar setelah disahkan bai’atnya oleh penduduk Kufah sampai perbatasan Syam, karena penduduk Syam hingga kini mereka tidak mau untuk mentaati Amirul Mukminin Ali bin Abu Thalib.
Al-Hasan bin Ali mendamaikan Mu’awiyah dan menyatukan perkara kaum muslimin
Al-Hasan bin Ali pergi dengan maksud untuk perdamaian, dan beliau adalah orang yang tidak suka peperangan bahkan beliau menolak keluarnya Ali bin Abu Thalib untuk memerangi penduduk Syam.[65]
Dan tanda dari keinginannya untuk berdamai adalah bahwasannya beliau memberhentikan jabatan Qais bin Sa’ad bin Ubadah dari kepemimpinan, dan menggantikannya dengan Abdullah bin Abbas.
Diriwayatkan dari Hasan al-Basry berkata: ketika al-Hasan pergi kepada Mu’awiyah dengan membawa pasukan, Amr bin Ash berkata kepada Mu’awiyah: “aku melihat pasukan, jangan kau hentikan perang hingga selesai”.
Hasan al-Basry berkata: “sesungguhnya aku telah mendengar Abu Bakrah berkata: “ketika Rasulullah berkhutbah datanglah al-Hasan, maka Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam berkata: “Cucuku ini adalah Sayyid, dan semoga dengannya Allah mendamaikan dua kubu kaum muslimin yang berselisih”.[66]
Dan diriwayatkan dari az-Zuhri dia berkata: “Mu’awiyah mengutus kepada al-Hasan surat-surat yang disetempel dibawahnya ‘tulislah didalamnya apa saja yang kau inginkan, ini milikmu dan aku akan menurutinya”. Amr bin Ash berkata: “tapi perangilah dia!”, Mu’awiyah berkata: (az-Zuhri berkata: saat itu Mu’awiyah lebih baik dari Amr bin Ash) “tunggu dulu wahai Abu Abdillah, sesungguhnya kamu tidak berhenti membunuh mereka sehingga penduduk Syam juga terbunuh dengan jumlah yang sama, maka apa kebaikan dari hidup setelah itu? Adapun aku demi Allah aku tidak akan berperang sehingga aku melihat ada keharusan untuk berperang”.
Kemudian Mu’awiyah bertemu dengan al-Hasan setelah itu, dan al-Hasan mengalah dan menyerahkan jabatan kekhalifahan kepada Mu’awiyah, dan jadilah Mu’awiyah sebagai Amirul Mukminin, dan tahun ini disebut sebagai Al-’Aam Al-Jama’ah. Dan al-Hasan saat itu menjabat sebagai Khalifah selama enam bulan.
Mu’awiyah bin Abu Sufyan Radhiyallahu ‘anhuma
Mu’awiyah bin Abu Sufyan masuk islam sebelum ayahnya pada waktu Umrah Qadha’ pada tahun 7 Hijrah, dan dia mengumumkan keislamannya pada tahun al-Fatah (penaklukan Makkah).[67]
Para istri dan anak-anaknya:
1.      Maysun binti Bahdal al-Kalbiyah, dengan beliau memiliki anak bernama Zaid
2.      Fakhitah binti Qurdzah al-Munafiyah, dengan beliau memiliki anak bernama Abdurrahman dan Abdullah
3.      Nailah binti Umarah al-Kalbiyah, dengan beliau tidak memiliki anak
Keutamaan-keutamaan beliau:
1.      Rosulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam berkata: “Ya Allah jadikanlan dia (Mu’awiyah) orang yang mendapatkan petunjuk dan memberikan petunjuk kepada manusia”.[68]
2.      Sabda Beliau juga: “Ya Allah ajarkanlah kepada Mu’awiyah Al-Kitab, Hisab (hitungan) dan jagalah dia dari adzab”.[69]
3.      Dalam riwayat yang panjang dari Ummu Haram binti Milhan, Rasulullah mengatakan bahwa Mu’awiyah adalah sahabat yang pertama kali berperang dan membawa pasukannya menaiki kapal.[70]
4.      Ibnu Abbas berkata bahwa Mu’awiyah adalah seorang yang Faqih.[71] Dsb.
Wafatnya Mu’awiyah:
Beliau menjabat sebagai Amirul Mukminin selama 20 tahun kira-kira sampai tahun 60 Hijrah, dan beliau wafat pada tahun yang sama. Dan pada masa beliau adalah masa penaklukan dan ketenangan.
Kejadian-kejadian penting pada masa Khalifah Mu’awiyah:
Kekhilafahan Mu’awiyah adalah suatu kebaikan bagi kaum muslimin saat itu, yang pada masa beliau segala kekacauan reda, dan peperangan antar kaum muslimin berhenti, dan pengembalian harta rampasan perang kepada musuh, karena pada masa beliau kaum muslimin bersatu padu pada kata yang satu, mereka mengarahkan kekuatan mereka keluar ketika bendera jihad diangkat dan pada masa beliau adalah masa-masa penaklukan, dan beliau memiliki sejarah yang baik diantara kaum muslimin, dan mendekatkan yang jauh, dan tidak ada orang yang menyelisihinya pada masanya bahkan semua muslimin berperan dalam ketaatan kepada beliau kecuali beberapa kelompok kecil seperti Khawarij, dan pada masa beliau terkenal dengan sebutan As-Shawaif dan As-Syawaty yang berarti peperangan musim panas dan musim dingin.
Dan adapun hal-hal yang tercapai dan kejadian penting pada masa beliau diantaranya;
1.      Pembangunan lembaga untuk pembuatan kapal di Mesir pada tahun 54 Hijriyah
2.      Peperangan Konstantinopel tahun 50 Hijriyah, dan pada peperangan ini Mu’awiyah membawa pasukannya menaiki kapal laut.[72] Beliau memeranginya kembali pada tahun 54 Hijriyah dan berhasil menaklukannya pada tahun 57 Hijriyah. Begitu juga penaklukan-penaklukan yang terlah berhasil seperti penaklukan Tikrit, Rodes, Benzert, Susah, Sijistan, Kuhistan, dan Negara-negara Sanad.
3.      Pembangunan Qayruwan.[73]
4.      Perubahan dari masa Khalifah menjadi Kerajaan, Safinah Abu Abdirrahman budak Rosulullah berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Kekhilafahan Nubuwah adalah tiga puluh tahun, kemudian Allah memberikan kerajaannya kepada siapa saja yang dikehendakinya”, Safinah berkata: “kekhilafahan Abu Bakar selama 2 tahun, dan kekhilafahan Umar selama 10 tahun, dan kekhilafahan Utsman selama 12 tahun dan kekhilafahan Ali selama 6 tahun”.[74] Dan jika kita melihat pada buku-buku sejarah para pakar sejarah menyebutkan bahwa Abu Bakar menjadi Khalifah selama 2 tahun 3 bulan, Umar selama 10 tahun 2 bulan, Utsman selama 12 tahun 4 bulan, Ali selama 4 tahun 9 bulan dan al-Hasan selama 6 bulan, dan jumlah keseluruhan adalah 30 tahun. Ibnu Katsir mengatakan bahwa al-Hasan menyerahkan kekhalifahan kepada Mu’awiyah pada bulan Rabi’ul Awwal tahun 41 Hijriyah, dan dengan demikian sempurna 30 tahun setelah meninggalnya Rasulullah shallallahu ‘alahi wasallam.[75] Abu Ubaidah Amir bin al-Jarrah meriwayatkan, Rasulullah bersabda: “awal Din kalian adalah Nubuwah dan Rahmah, kemudian kerajaan dan Rahmah, kemudian kerajaan a’far (keruh), kemudian kerajaan dan jabarut (thaghut)”.[76]
5.      Wafatnya al-Hasan bin Ali, yaitu pada masa kekhalifahan Mu’awiyah pada tahun 49 Hijriyah.
6.      Bai’at terhadap Yazid bin Mu’awiyah, Mu’awiyah telah memerintah kaumnya untuk membai’at Yazid pada tahun 56 H,  dalam hal ini mu’awiyah keluar dari koridor sebagaimana yang dilakukan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alalihi wasallam, Abu Bakar, Umar, Utsman dan Ali Radhiyallahu ‘anhum ajma’in, yang mana mereka memberikan kepemimpinan kepada yang bukan kerabatnya (keturunan langsung). Akan tetapi saat itu Mu’awiyah melihat keamanan, ketaatan dan kenyamanan kaum muslimin di daerah Yazid berada.[77] Dan inilah yang terjadi walaupun ini tidak benar, karena yang benar adalah pengangkatan kepemimpinan selanjutnya lewat Syura.
Sikap Ahlussunnah wal Jama’ah tentang bai’at kepada Yazid bin Mu’awiyah:
Ahlus Sunnah wal Jama’ah mengatakan: sesungguhnya bai’at terhadap Yazid shahih (benar), akan tetapi mereka mencela hal tersebut dari dua segi:
1.      Bahwa hal ini adalah suatu penemuan baru, yaitu menjadikan kepemimpinan selanjutnya kepada anaknya seolah-olah kepemimpinan adalah warisan, setelah yang pada saat sebelumnya kekhilafahan diangkat melalui Syura, atau Tanshish (khalifah sebelumnya menunjuk orang lain untuk menggantikannya) kepada yang bukan kerabat, sementara yang dilakukan Mu’awiyah adalah menunjuk kerabatnya sekaligus anak kandungnya sendiri, dan dengan kejadian ini Ahlus Sunnah wal Jama’ah tidak membenarkan keputusan ini, dan mereka menentang asas kepemimpinan ini sebagai warisan.
2.      Bahwa pada saat itu ada banyak dari kalangan shahabat yang lebih berhak dan lebih baik untuk diangkat sebagai Amirul Mukminin dari pada Yazid, seperti Ibnu Umar, Ibnu az-Zubair, Ibnu Abbas, dan al-Husain, dan yang lainnya.
Adapun orang-orang syi’ah mereka berpendapat bahwa yang berhak untuk menjabat kekhalifahan hanya Ali bin Abu Thalib dan keturunannya sampai hari kamat, maka dari itu mereka tidak mencela karena bai’at terhadap Yazid tersebut, akan tetapi mereka mencela bai’at kepada siapa saja selain kepada Ali bin Abu Thalib dan keturunannya, maka dengan dasar ini mereka juga mencela bai’at kekhalifahan Abu Bakar, Umar, Utsman, dan Mu’awiyah.
Apakah Yazid pantas untuk menjabat kekhalifahan?
Ibnu Katsir[78] dalam Al-Bidayah wan Nihayah menyebutkan tentang kisah Abdullah bin Muthi’ dan teman-temannya, bahwa mereka mendatangi Muhammad bin al-Hanafiyyah bin Ali bin Abu Thalib, al-Hanafiyyah adalah saudara al-Hasan dan al-Husain, mereka menginginkan pencabutan jabatan Yazid, maka Muhammad enggan terhadap mereka, Ibnu Muthi’ berkata: “sesungguhnya Yazid bin Mu’awiyah minum khamr, dan meninggalkan shalat”, Muhammad berkata: “aku tidak melihatnya seperti yang kalian sebutkan, dan sungguh aku telah menjenguknya dan tinggal di rumahnya dan aku melihat beliau menjaga shalatnya, dan selalu berbuat baik, dan bertanya tentang masalah fiqih, juga berpegang teguh pada Sunnah Rasulullah”, mereka berkata: “itu hanya dibuat-buat didepanmu”, Muhammad bin al-Hanafiyyah menjawab: “apa yang dia takutkan dan harapkan dariku? apakah kalian melihat apa yang kalian katakan bahwa dia minum khamr? Jika saat itu dia memperlihatkan kepada kalian maka sesungguhnya kalian adalah sekutunya, dan jika tidak maka kalian tidak boleh bersaksi pada sesuatu yang kalian tidak mengetahuinya”, mereka berkata: “tapi menurut kami itu benar, walupun kami tidak melihatnya”, Muhammad bin al-Hanafiyyah berkata: “Allah enggan terhadap orang yang bersaksi seperti itu”, kemudian beliau membaca:
الزخرف: 86  ((إِلاَّ مَن شَهِدَ بِالْحَقِّ وَهُمْ يَعْلَمُون))
Maka kefasikan yang dituduhkan kepada Yazid seperti minum khamr, memainkan kera betina, ataupun melakukan hal yang keji atau yang semacamnya itu tidaklah terbukti secara benar, maka hal ini kita tidak boleh memercayainya, dan kembali hendaknya kepada hukum asal yaitu As-Salaamah (benar dan sah), dan hanya Allah yang tahu. Akan tetapi dzahir dari riwayat Muhammad bin al-Hanafiyyah tersebut bahwasannya tidak ada hal-hal yang disebutkan diatas, maka wallahu a’laa wa a’lam bisshawab tentang Yazid dan hal itu bukanlah urusan kita. Walaupun seandanya kita terima tuduhan tersebut dan benar demikian, walaupun seorang pemimpin itu fasiq bukan berarti kita boleh untuk keluar kepadanya dengan cara seperti ini.
Yazid bin Mu’awiyah bin Abu Sufyan Radhiyallahu ‘anhum
Yazid bin Mu’awiyah bin Abi Sufyan lahir pada tahun 25 H, juga ada perbedaan pendapat tentangnya, ada yang mengatakan tahun 26 H, atau 27 H. Dan beliau meninggal pada tahun 64 H.
Al-Husain bin Ali bin Abu Thalib Radhiyallahu ‘anhuma
            Lahir pada tahun 4 H, istri-istri beliau adalah: Laila binti Urwah, Syah Zenan binti Yazdajrad, Rabab binti Imru’u Qais, dan wanita dari kabilah Baliy.
Putra-putri beliau: Ali As-Sajjad yang dikenal dengan Zainal Abidin, Ali Al-Akbar, Ja’far, Ali Al-Ashghar, Sakinah dan Fathimah.
Keutamaan beliau: beliau adalah Sayyid pemuda penghuni syurga, beliau adalah permata hati Rasulullah di Dunia, dan Rasulullah telah berkata dan menunjuk kepada al-Hasan dan al-Husain: “barang siapa yang mencintai dua cucu saya ini maka dia mencintaiku”.
Beliau wafat pada tahun 61 H.
Bai’at kepada Yazid dan penolakan al-Husain untuk membai’atnya dan keluarnya beliau dari Makkah ke Kufah[79]
Yazid dibai’at menjadi Amirul Mukminin pada tahu 60 H, pada usianya yang ke 34 tahun, akan tetapi al-Husain dan Abdullah bin az-Zubair tidak mau membai’atnya pada saat itu mereka berdua berada di Al-Madinah, ketika mereka berdua diminta untuk membai’at beliau Abdullah bin az-Zubair berkata: “akan kulihat malam ini kemudian aku beritahu kalian pendapatku”, mereka menjawab: “ya”, ketika malam tiba Abdullah bin az-Zubair kabur menuju ke Makkah. Begitu al-Husain mengatakan: “aku tidak membai’at secara sembunyi-sembunyi, tapi dengan terang-terangan di depan orang banyak”, dan setelah malam tiba beliau menyusul Ibnu az-Zubair ke Makkah.
Penduduk Iraq menyurati al-Husain
Setelah kabar bahwa al-Husain tidak membai’at Yazid bin Mu’awiyah sampai kepada penduduk Iraq, dan mereka tdak menghendaki Yazid bahkan juga Mu’awiyah, karena mereka beranggapan kekhalifahan hanya berhak diberikan kepada Ali bin Abu Thalib dan keturunannya saja, maka mereka menyurati kepada al-Husain bin Ali yang didalamnya berisi perkataan mereka: “sesungguhnya kami telah membai’at Anda, dan kami tidak mau membai’at kecuali kepada Anda saja, juga tidak ada dalam nadi kami untuk membai’at kepada Yazid”.
Dan surat-surat tersebut semakin banyak hingga mencapa kira-kira 500 pucuk yang semuanya datang dari penduduk Kufah yang mana mereka mengundang kedatangan al-Husain kepada mereka.
Al-Husain mengirim Muslim bin ‘Aqil
Melihat keadaan ini al-Husain mengirim sepupunya Muslim bin ‘Aqil untuk pergi ke Kufah, untuk mencari tahu dan memastikan kebenaran perkara ini. Maka ketika Muslim bin ‘Aqil sampai di Kufah dan menanyai penduduknya tentang perihal tersebut sehingga beliau mengetahui bahwa penduduk Kufah tidak menginginkan bai’at terhadap Yazid, kemudian beliau singgah di rumah Hani’ bin ‘Urwah dan datanglah orang-orang penduduk sekitar untuk menemui beliau dan membai’atnya untuk al-Husain.
Pada saat itu Nu’man bin Basyir adalah gubernur Kufah dari pihak Yazid bin Mu’awiyah, ketika kabar ini sampai kepada beliau, beliau bersikap seolah-olah tidak mendengarnya dan tidak berusaha untuk menyelesaikan perkara sehingga beberapa orangnya pergi menemui Yazid di Syam dan menyampaikan kabar perihal tersebut bahwa Muslim bin ‘Aqil dibai’at penduduk Kufah untuk al-Husain bin Ali, sementara Nu’man bin Basyir tidak peduli pada hal ini.
Mengetahui hal ini Yazid bin Mu’awiyah memerintahkan untuk menurunkan jabatan Nu’man bin Basyir, dan mengangkat Ubaidullah bin Ziyad menjadi gubernur Kufah menggantikannya, yang sebelumnya Ubaidullah sebagai gubernur Basrah kemudian menuju Kufah dengan tujuan membereskan kekacauan. Ketika Ubaidullah sampai di Kufah dengan tudung muka melewati penduduk mereka mengatakan: “wa’alaikassalam wahai putra dari putri Rasulullah”, mereka mengira bahwa yang bertudung tersebut adalah al-Husain, dan dia masuk Kufah diam-diam pada malam hari. Dengan hal ini Ubaidullah mengetahui bahwa masalah ini serius dan bahwa penduduk sedang menantikan al-Husain bin Ali, kemudian dia mengutus Ma’qil (budak yang dia bawa dari Basrah) untuk menginvestigasi permasalahan dan mencari siapa oknum di belakang permasalahan ini?
Ma’qil melaksanakannya dan menyamar sebagai seseorang berasal dari Himsha dan membawa 3000 dinar untuk membantu al-Husain bin Ali yang kemudian bertanya pada penduduk sekitar tentang kejadian yang sedang berlangsung sampai dia diberi tahu keberadaan rumah Hani’ bin Urwan, ketika masuk ke rumah Urwah dia mendapati Muslim bin ‘Aqil di sana yang kemudian membai’atnya seperti yang dilakukan penduduk Kufah dan memberinya 3000 dinar tersebut sehingga Ma’qil sering mondar-mandir terjun ke penduduk dan ke istana pemerintahan menemui ke Ubaidillah untuk mengkabarkan perkembangan yang terjadi.
Al-Husain bin Ali berangkat Menuju Kufah
Setelah keadaan Kufah stabil (yaitu mayoritas penduduknya membai’at al-Husain), Muslim bin ‘Aqil mengirim surat kepada al-Husain yang mengatakan didalamnya meminta beliau datang ke Kufah karena perkara telah terlaksana. Maka al-Husain bin Ali pergi pada hari Tarwiyah,  sementara Ubaidullah mengetahui apa yang dilakukan Muslim bin ‘Aqil dan berkata: “aku harus menemui Hani’ bin ‘Urwah”, kemudian dia mendatanginya dan bertanya: “dimana Muslim bin ‘Aqil?” Hani’ menjawab: “aku tak tahu”. Kemudian Ubaidullah memanggil budaknya (Ma’qil) dan berkata: “apakah kau mengenalnya?” Hani menjawab: “ya”, maka terbongkarlah yang sebenarnya dan Hani’ tahu bahwa masalah ini adalah tipu daya Ubaidullah bin Ziyad, dan Ma’qil adalah suruhannya sebagai mata-mata untuknya, Ubaidullah berkata sekali lagi: “dimana Muslim bin ‘Aqil?” Hani menjawab: “walaupun dia di bawah kakiku aku tidak akan mengangkatnya dan menyerahkannya padamu”. Kemudian Ubaidullah memukulnya dan memerintahkan untuk memenjarakan Hani’ bin ‘Urwah.
Penduduk Kufah Menelantarkan Muslim bin ‘Aqil
Setelah Muslim mengetahui kabar penahanan Hani’ bin Urwah beliau membawa 4000 penduduk Kufah keluar menuntut Ubaidullah, sedangkan saat itu Ubaidullah bersama para pembesar penduduk setempat dan mempengaruhi mereka supaya mereka mempengaruhi orang-orang yang bersama Muslim bin ‘Aqil agar mereka tidak mempercayai Muslim dan meninggalkannya, maka satu demi satu orang-orang meninggalkannya sehingga tinggal 40 dari 4000 orang yang tertinggal, dan ketika matahari tenggelam tidak satupun yang menetap bersama Muslim sehingga beliau sendirian dan berjalan tidak tahu mau ke mana, pada akhirnya beliau mengetuk rumah seorang wanita dari Kindah dan berkata: “saya minta air!” maka heranlah wanita tersebut dan bertanya: “siapakah gerangan engkau ini?” beliau menjawab: “aku Muslim bin ‘Aqil”, dan seraya memberitahu si wanita tentang apa yang terjadi, bahwa semua orang telah menelantarkan dan meninggalkannya sendirian, dan bahwa al-Husain akan datang karena dia telah memintanya datang, dipersilahkanlah Muslim masuk dan diberinya minuman dan makanan.
Sayangnya anak laki-laki si wanita diam-diam pergi ke Ubaidullah dan memberitahunya tentang keberadaan Muslim, maka kemudian Ubaidullah mengirim 70 pasukan untuk mengepung Muslim, beliau bereaksi dengan melawan mereka sendrian yang berakhir dengan menyerahkan diri ketika mereka mengamankan beliau dan dibawa ke istana pemerintahan yang Ubaidullah berada disana.
Sampainya di istana Ubaidullah bertanya kepada Muslim tentang apa gerangan yang membuat Muslim keluar seraya berkata: “bai’at kami hanya untuk al-Husain bin Ali”, beliau berkata: “apakah kalian tidak membai’at Yazid bin Mu’awiyah?” Ubaidullah menjawab: “aku akan membunuhmu”. Muslim berkata: “biarkan aku memberi wasiyat kalau begitu!” “ya silahkan!”, kemudian Muslim menoleh dan melihat Umar bin Sa’ad bin Abi Waqash dan berkata padanya: “kamu orang yang paling mengasihiku daripada orang lain, maka kemarilah aku beri wasiyat!”, maka diajaknya kebagian samping ruangan untuk memberinya wasiyat yang intinya Muslim meminta Umar bin Sa’ad bin Abi Waqash untuk mengirim seseorang untuk memberi tahu al-Husain untuk kembali ke Makkah dan bahwa penduduk Kufah telah menelantarkannya, dan bunyi pesan Muslim yang terkenal untuk disampaikan kepada al-Husain yaitu “Kembalilah kepada keluargamu, jangan sampai penduduk Kufah memperdayamu karena sesungguhnya mereka telah membohongimu dan aku, dan tidaklah pembohong itu memiliki pandangan baik”.
Muslim bin ‘Aqil dibunuh pada hari Arafah sementara al-Husain bin Ali telah pergi pada hari Tarwiyah sehari sebelum beliau dibunuh.
Penentangan para Shahabat karena Keluarnya al-Husain bin Ali ke Iraq
Banyak dari kalangan Shahabat yang berusaha untuk menahan dan melarang al-Husain bin Ali keluar, diantara mereka adalah Abdullah bin Umar, Abdullah bin Abbas, Abdullah bin Amr bin al-Ash, Abu Sa’id al-Khudry, Abdullah bin az-Zubair, dan saudaranya Muhammad bin al-Hanafiyyah. Diantara perkataan mereka yaitu:
1.      Abdullah bin Abbas berkata ketika melihat al-Husain akan keluar: “seandainya orang-orang tidak menghina aku dan kamu sungguh aku akan melingkarkan tanganku di kepalamu dan tidak akan aku biarkan kau pergi”.[80]
2.      Abdullan bin Umar; as-Sya’by mengatakan bahwa saat itu Ibnu Umar berada di Makkah dan menerima kabar bahwa al-Husain berangkat menuju Iraq, maka dia mengejarnya selama 3 malam, setelah berhasil mengejarnya beliau berkata: “mau kemana kau?” al-Husain menjawab: “mau ke Iraq”, seraya menunjukkan surat-surat yang dia terima dari Iraq yang menyatakan bahwa mereka membai’atnya dan berkata: “ini surat-surat dan ba’at mereka”. (mereka telah memperdayanya). Ibnu Umar berkata: “jangan mendatangi mereka”, maka al-Husain enggan kecuali akan tetap pergi, dan beliau melanjutkan perkataannya: “sesungguhnya aku mengkabarimu sebuah hadits bahwasannya Jibril datang kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam dan memberinya pilihan antara dunia dan akhirat maka beliau memilih akhirat dan tidak menginginkan dunia, dan bahwa kamu sebagian darinya, dan Allah tidak menghendaki salah satu dari kalian mengikuti duna selamanya, dan Allah tidak menerimanya dari kalian kecuali kecuali yang baik bagi kalian”, dan al-Husain tetap enggan untuk kembali maka Abdullah bin Umar memeluknya dan menangis seraya berkata: “aku percayakan kau pada Allah dari kematian”.[81]
3.      Abdullah bin az-Zubair bertanya kepada al-Husain: “mau kemana kau? Apa mau pergi kepada kaum yang telah membunuh ayahmu dan men-Tha’n (mencela) saudaramu, jangan pergi!”, maka al-Husain enggan dan tetap keluar.[82]
4.      Abu Sa’id al-Khudry berkata kepada al-Husain: “wahai Abu Abdillah sesungguhnya aku menasehatimu dan aku kasihan padamu, telah sampai padaku bahwa sebuah kaum pendukungmu di Kufah mengirimimu surat-surat dan memintamu keluar kepada mereka, maka jangan keluar! Sesungguhnya aku telah mendengar ayahmu berkata saat di Kufah: “Demi Allah aku telah bosan pada mereka dan membenci mereka, mereka juga telah bosan dan benci padaku, dan mereka tidak pernah menepati sama sekali, dan siapa yang beruntung dengan mereka maka dia beruntung dari as-sahm al-akhyab, demi Allah mereka tidak punya niat baik tidak juga tekad pada suatu perkara tidak juga sabar terhadap pedang””.[83]
Adapun dari kalangan bukan Shahabat yang melarang al-Husain bin Ali keluar diantaranya yaitu:
1.      Al-Farazdaq sang Penyair, yang saat itu setelah keluarnya al-Husain yang bertemu dengannya di perjalanannya maka al-Husain berkata: “dari mana kau?” “dari iraq”, katanya, “bagaimana keadaan penduduk iraq?”, “hati mereka bersamamu dan pedang mereka bersama Bani Umayyah”. Dan al-Husain tetap enggan kecuali tetap keluar, maka al-Farazdaq berkata: “Allahul musta’aan”.[84]

Sampainya Al-Husain di Qadisiyah
Ketika wasiat Muslim bin Aqil sampai kepada al-Husain bin Ali lewat utusan yang dikirim oleh Umar bin Sa’ad, al-Husain berniat akan kembali maka beliau menanyakan perihal ini kepada anak-anak Muslim, mereka menjawab: “tidak, demi Allah kami tidak akan pulang sehingga kami menuntut balas atas ayah kami”, maka beliau mengambil pendapat mereka.
Ketika Ubaidullah bin Ziyad mengetahui perihal keluarnya al-Husain dia memerintah al-Hurr bin Yazid at-Tamimy untuk keluar bersama seribu pasukan maju untuk menemui al-Husain di jalan, maka mereka menemukan dan bertemu al-Husain dekat Qadisiyah. Al-Hurr berkata kepada al-Husain: “mau kemana engkau wahai putra dari putri Rasulullah?”, “ke Iraq”, “sesungguhnya aku memerintahmu untuk kembali, supaya Allah tidak mencelakakan kami dengan kehadiranmu, kembalilah ke tempat asalmu atau pergilah ke Syam dimana Yazid bin Mu’awiyah berada dan jangan datang ke Kufah!”, Al-Husain enggan dengan perintah itu kemudian tetap berjalan menuju Iraq yang membuat al-Hurr melawannya dan menahannya, maka al-Husain berkata padanya: “menjauhlah dariku, tsakalatka ummuk (umpatan; semoga ibumu membunuhmu)!”, al-Hurr menjawab: “demi Allah seandainya yang mengatakannya orang lain dari kalangan Arab sungguh aku akan membalasnya dan ibunya, akan tetapi apa yang akan aku katakan sementara Ibumu adalah Sayyidah para wanita di dunia!”.
Pembunuhan Al-Husain bin Ali Radhiyallahu ‘anhuma
Sampainya Al-Husain di Karbala’
Perjalanan al-Husain bin Ali sampai pada suatu tempat yang dinyatakan sebagai Karbala, dan beliau bertanya pada orang sekitar bahwa tempat apa ini? Mereka menjawab “karbala”, maka beliau berkata: “Karb wa Balaa’”. Dan ketika pasukan Umar bin Sa’ad yang berjumlah empat ribu sampai Umar berbicara kepada al-Husain dan memintanya untuk pergi ke Iraq bersamanya dimana Ubaidullah bin Ziyad berada dan beliaupun enggan. Dan ketika beliau melihat bahwa perkara ini serius beliau berkata kepada Umar: “aku memberimu tiga pilihan maka pilihlah salah satunya!”, “dan apa itu?”, “kau membiarkan aku kembali, atau pergi ke salah satu celah kaum muslimin, atau aku akan pergi ke Yazid bin Mu’awiyah sehingga aku menyerahkan diriku dibawah kekuasaannya di Syam”, maka Umar berkata: “ok, kirimkan utusanmu ke Yazid dan aku kirimkan utusanku ke Ubaidullah dan kemudian kita lihat bagaimana selanjutya”, al-Husain tidak mengirimkan utusan kepada Yazid bin Mu’awiyah tetapi Umar mengirimkan utusannya kepada Ubaidullah.
Ketika utusan Umar bin Sa’ad datang ke Ubaidullah dan menyampaikan tentang al-Husain yang berkata (aku berikan pilihan kepada kalian antara tiga perkara ini), Ibn Ziyad rela terhadap yang manapun yang dipilih oleh al-Husain, dan ketika itu Ubaidullah memiliki seseorang yang bersamanya yang bernama Syamr bin Dzy al-Jausyan dan dia termasuk kerabatnya, maka Syamr berkata: “tidak demi Allah sehingga dia tunduk pada hukummu”, terpengaruhlah Ubaidullah dengan perkataan Syamr, maka dia berkata: “ya, hingga dia tunduk pada hukumku”.  Maka kemudian Ubaidullah mengirim Syamr dan berkata: “pergilah sehingga al-Husain tunduk pada hukumku, itu jika Umar bin Sa’ad rela dan jika tidak maka kau akan menggantikan kedudukannya sebagai panglima”.
Dan padahal pada saat itu Ubaidullah telah menyiapkan Umar bin Sa’ad dengan empat ribu tentara pergi ke ar-Ray, dan berkata kepadanya: “selesaikan perkara al-Husain kemudian pergilah ke ar-Ray”, dan dia telah menjanjikannya kedudukan di ar-Ray.
Setelah Syamr keluar dan kabar sampai pada al-Husain bahwa beliau harus tunduk pada hukum Ubaidullah meka beliau menolaknya dan berkata: “tidak demi Allah aku tidak mau tunduk pada hukumnya selamanya”.

Al-Husain mengingatkan Pasukan Kufah atas Nama Allah
Al-Husain ditemani oleh tujuh puluh dua pasukan berkuda, sementara itu pasukan Kufah sebanyak lima ribu, dan ketika kedua pasukan ini berhadapan al-Husain berkata kepada pasukan Ibn Ziyad: “apa pantas bagi kalian berperang melawanku? Sedangkan aku adalah putra dari putri Nabi kalian, dan tidak ada lagi di atas bumi ini anak dari putri Nabi selainku, dan sungguh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam telah berkata tentangku dan saudaraku: “dua cucuku ini adalah Sayyid pemuda penghuni syurga””.[85]
Beliau mulai menganjurkan mereka untuk meninggalkan urusan Ubaidullah bin Ziyad dan berpihak kepadanya, maka berpihaklah tiga puluh orang dari mereka, dan diantara mereka adalah al-Hurr bin Yazid at-Tamimy yang sebelumnya adalah panglima pasukan Ubaidullah, maka ada yang berkata kepada al-Hurr: “kamu datang bersama kami sebagai pimpinan panglima dan sekarang kamu berpihak kepada al-Husain?”, maka al-Hurr menjawab: “celakalah kalian, demi Allah sesungguhnya aku memberi pilihan diriku antara syurga dan nereka, ikut kalian berarti nereka, demi Allah aku memilih syurga walupun aku terpotong-potong dan terbakar”.
Kemudian al-Husain melaksanakan shalat Dzuhur dan Ashr pada hari kamis, mengimami kedua belah pasukan, dan bahwa sebelumnya beliau berkata kepada mereka: “dari kalian seorang imam, dan dari kami seorang imam”, mereka berkata: “tidak, tapi kita shalat di belakangmu”, maka mereka berjama’ah di belakang al-Husain.
Ketika mendekati waktu Maghrib mereka maju dengan kuda-kuda mereka ke arah al-Husain sementara saat itu beliau sedang duduk memeluk pedangnya dan tertidur sebentar, ketika beliau melihat mereka beliau berkata: “apa ini?” “mereka telah maju”, “pergilah kepada mereka dan bicaralah pada mereka katakan apa mau mereka!”. Maka pergilah dua puluh penunggang kuda diantara mereka adalah al-Abbas bin Ali bin Abu Thalib saudara al-Husain, maka mereka berbincang dan bertanya pada mereka apa maunya, mereka berkata: “Dia tunduk pada hukum Ubaidullah bin Ziyad atau dia berperang melawan kami!” utusan al-Husain menjawab: “sampai kami menyampaikan kepada Abu Abdillah”, kembalilah mereka kepada al-Husain dan memberi tahunya hasil perbincangan, maka beliau berkata: “katakan kepada mereka, tinggalkan kami malam ini dan besok kami kabari kalian seingga aku shalat dasn berdo’a kepada Rabbku, maka sesungguhnya aku suka shalat dan berdo’a kepada Rabbku”, maka beliau bermalam malam itu dan melakukan shalat dan beristighfar dan berdo’a kepada Allah dan mendo’akan orang-orang yang bersamanya.
Serangan At-Thaf (61 H)
Pada pagi hari jum’at terjadilah peperangan antara dua pasukan ketika al-Husain menolak untuk menyerahkan diri kepada Ubaidullah bin Ziyad, padahal saat itu dua pasukan tersebut tidak seimbang, maka pasukan al-Husain melihat bahwa mereka tidak mampu untuk melawan pasukan musuh dan keinginan mereka hanya satu yaitu mati bersama al-Husain bin Ali Radhiyallahu ‘anhuma, dan gugurlah mereka satu persatu hingga tak tersisa dari pasukan al-Husain kecuali beliau sendiri, dan saat itu anaknya Ali bin al-Husain bin Ali sakit.
Dan tinggallah al-Husain setelah itu di hari yang panjang, dan tak satupun yang berani maju sehingga beliau kembali karena mereka takut membunuhnya, hal ini berlanjut hingga datanglah Syamr bin Dzy al-Jausyan dan berteriak kepada pasukannya: “celakalah kalian, semoga ibu kalian membunuh kalian, kepung dia dan bunuh!”, maka datanglah mereka dan mengepung beliau, sehingga beliau berjalan diantara mereka dengan pedangnya dan membunuh beberapa dari mereka dan pada saat itu beliau bagaikan binatang buas, akan tetapi pasukan yang banyak itu mengalahkan keberanian al-Husain. Dan berteriaklah Syamr: “celakalah kelian, apa yang kalian tunggu?! Majulah!”. Maka mereka maju kepada beliau dan membunuhnya, dan yang membunuh beliau secara langsung adalah Sinan bin Anas an-Nakh’iy dan memenggal kepala beliau, dan pendapat lain mengatakan: Syamr, Qabbachahumallah.
Setelah al-Husain bin Ali terbunuh kepalanya dibawa kepada Ubaidullah di Kufah dan dia mengeluarkan tongkat dan menusuk-nusukkannya ke mulut al-Husain, maka Anas bin Malik berdiri dan berkata: “demi Allah, aku akan mengataimu sesuatu yang buruk, dan sungguh aku telah melihat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam mencium tempat kau menusuk-nusukkan tongkatmu dari mulutnya”.[86] Ibrahim an-Nakh’iy berkata: “jika aku berada diantara orang yang membunuh al-Husain kemudian aku dimasukkan ke syurga maka aku akan malu untuk lewat di depan Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam dan beliau melihat ke wajahku”.[87]
Siapakah yang terbunuh bersama al-Husain dari keluarganya?
Yang terbunuh dari putra-putra Ali bin Abu Thalib adalah, al-Husain sendiri, Ja’far, al-‘Abbas, Abu Bakar, Muhammad dan Utsman.
Dan dari putra-putra al-Husain adalah, Abdullah dan Ali al-Akbar (bukan Ali Zainal Abidin)
Dan dari putra-putra al-Hasan adalah, Abdullah, al-Qasim dan Abu Bakar.
Dan dari putra-putra Aqil adalah, Ja’far, Abdullah, Abdurrahman, Abdullah bin Muslim bin Aqil, dan Muslim bin Aqil yang terbunuh di Kufah.
Dan dari putra-putra Abdullah bin Ja’far adalah, ‘Aun, dan Muhammad.[88]
Delapan belas orang yang semuanya termasuk Aalu Bait Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam terbunuh di pertempuran yang tidak seimbang ini.
Tanda-tanda prediksi terbunuhnya al-Husain Radhiyallahu ‘anhu:
Dari Ummu Salamah berkata: “saat itu Jibril bersama Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam dan al-Husain bersamaku, kemudian al-Husain menangis dan aku tinggalkan dia, maka dia masuk dan mendekat kepada Nabi Syallallahu ‘alaihi wasallam, kemudian Jibril berkata: apakah kamu mencintainya wahai Muhammad?, Beliau menjawab: ya, Jibril berkata: sesungguhnya ummatmu akan membunuhnya, dan jika kamu berkehendak aku akan memperlihatkan kepadamu belahan bumi tempat dia akan dibunuh, kemudian Jibril memperlihatkan kepada Rasulullah yaitu sebuah tempat yang dinamakan Karbala”.[89]
Dan dari Ummu Salamah dia berkata: “aku mendengar Jin meratapi kematian al-Husain”.[90] Dan adapun yang diriwayatkan bahwa langit menurunkan hujan darah, atau bahwa dinding-dinding terbercak dengan darah, atau tidaklah setiap batu diangkat kecuali dibawahnya ada darah, atau tidaklah ketika menyembelih onta kecuali semua menjadi darah, semua riwayat ini adalah bohong dan omong kosong yang tidak memiliki sanad yang shahih kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam atau seorangpun yang menyaksikan kejadian, dan hal tersebut adalah dusta yang desebutkan untuk menyentuh perasaan, atau riwayat-riwayat yang terputus dari orang yang tidak sejaman dengan kejadian.[91]
Dan dari Ibnu Abbas, beliau berkata: “aku telah melihat Naabi Shallallahu ‘alaihi wasallam dalam mimpi di tengah siang dengan penampilan berantakan dan berdebu dan beliau membawa sebuah botol yang di dalamnya adalah darah yang diambilnya, aku bertanya: apa ini wahai Rasulullah?, beliau menjawab: ini darah al-Husain dan para sahabatnya dan aku masih mengikutinya sejak hari ini”. Ammar periwayat hadits ini berkata: “dan ketika terbangun kami menemukan al-Husain terbunuh pada hari itu”.[92] Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam telah berkata: “barang siapa yang melihatku dalam mimpinya maka sungguh dia telah melihatku”.[93] Dan Ibnu Abbas adalah orang yang paling tahu tentang sifat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam.
Adzab dunia dan akhirat
Oknum yang menyuruh untuk membunuh al-Husain adalah Ubaidullah bin Ziyad, akan tetapi tidak lama setelah tebunuhnya al-Husain, Ubaidullah dibunuh oleh Mukhtar bin Abu Ubaid sebagai balas dendan untuk al-Husain, dan Mukhtar termasuk orang yang menelantarkan Muslim bin Aqil.
Maka keadaan penduduk Kufah saat itu, mereka ingin membalas dendam pada mereka sendiri, karena mereka; pertama, memperdaya Muslim bin Aqil hingga terbunuh dan tak satupun diantara mereka bergerak menolongnya, kedua, ketika al-Husain keluar tidak satupun membela beliau kecuali terbilang al-Hurr bin Yazid at-Tamimiy dan orang-orang yang bersamanya, adapun penduduk Kufah sesungguhnya mereka menelantarkan al-Husain dan maka dari itu kita mendapati mereka memukuli dada (tubuh) mereka sendiri dan melakukan apa yang mereka anggap sebagai penghapusan kesalahan yang dilakukan para pendahulu mereka seperti yang mereka yakini.[94]
Dari Umarah bin Umair berkata: “ketika kepala Ubaidullah bin Ziyad dan para pendukungnya didatangkan kemudian ditata di dalam masjid di Rahbah, dan Umarah berkata: aku telah sampai pada mereka, dan mereka berkata: telah datang, telah datang, maka tiba-tiba seekor ular datang menyusup-nyusup diantara kepala-kepala sehingga masuk pada lobang hidung Ubaidullah bin Ziyad dan diam sebentar kemudian keluar dan pergi hingga menghilang, kemudian mereka berkata: telah datang, telah datang, kemudian hal tersebut terulang dua atau tiga kali”.[95]
Hal ini merupakan balasan dari Allah Ta’ala untuk orang ini yang telah memiliki peran besar dalam pembunuhan al-Husain Radhiyallahu ‘anhu. Dari Abu Raja’ al-Atharidiy berkata: “janganlah kalian mencela Ali dan jangan pula kepada Ahlu Bait ini”, kemudian tetangga kami dari Balhujain (sebuah kabilah dari Arab) berkata: ‘tidakkah kalian lihat orang fasiq ini –al-Huain bin Ali- Allah telah membunuhnya’, maka Allah menimpakan orang ini pada matanya warna putih yang menyerang matanya dan Allah mencabut penglihatannya”.[96]
Siapa yang membunuh Al-Husain bin Ali Radhiyallahu ‘anhu?
Sebelum kita mengenal pembunuh al-Husain perkenankan penulis mengajak untuk flash-back sejenak ke masa Ali dan al-Hasan dan beberapa perkataan dari kalangan Shahabat, Shahabiyat, dan Tabi’in Radhiyallahu ‘anhum:
1.      Ali Radhiyallahu ‘anhu
Beliau mengeluhkan para pengikutnya (ahlu Kufah), beliau berkata: “sungguh ummat-ummat menjadi takut dari kedzaliman para pemimpinnya dan aku menjadi takut terhadap kedzaliman rakyatku. Aku telah meminta kalian pergi berjihad dan kalian tidak pergi, aku berbicara pada kalian tapi kalian tidak mendengarkan, aku mengajak kalian secara sembunyi-sembunyi dan terang-terangan dan kalian tidak menjawabnya, aku nasehati kalian dan tidak kalian terima, apakah yang terlihat seperti yang tidak terlihat, dan hamba seperti tuan? Aku sampaikan hikmah tapi kalian lari darinya, dan aku berikan kata-kata nasehat yang baik tapi kalian bercerai berai, aku anjurkan kalian memerangi thaghut dan belum selesai aku bicara kalian telah pergi ayaadiya sabaa>>[97], kalian kembali ke majlis kalian dan berpura-pura dengan nasehat, aku bangunkan kalian waktu pagi dan kalian kembali padaku bagaikan punggung ular (dengan wajah berbeda), aku tak mampu mengajak kalian, dan kalian membuatku sakit, kalian yang memberikan bencana kepada pemimpin-pemimpin kalian. Imam kalian ta’at kepada Allah sementara kalian maksiyat kepada-Nya, demi Allah, aku menginginkan jka Mu’awiyah bin Abu Sufyan mau menukarkan seorang rakyatnya dengan sepuluh dari kalian. Wahai penduduk Kufah, aku telah diberi tiga pasang hal dari kalian: ketulian yang memiliki pendengaran, bisu yang bisa berbicara, dan buta yang memiliki penglihatan, kalian bukanlah orang-orang yang jujur ketika dalam pertemuan, bukan pula sebagai teman sejati ketika dalam musibah, taribat aydiikum (celakalah tangan-tangan kalian) wahai yang menyerupai onta-onta yang kehilangan penggembalanya, ketika dikumpulkan di suatu tempat mereka berpencar-pencar tak karuan”.[98] 
Tidak hanya sampai di situ saja kelakuan penduduk Kufah, bahkan mereka menuduh khalifah Ali bin Abu Thalib wal ‘iyaadzu billah sebagai pembohong:
As-Syrif Radhiy meriwayatkan dari Amirul Mukminin Ali Radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata: “amma ba’du, wahai penduduk Iraq, kalian bagaikan wanita yang hamil, ketika sempurna kehamilannya yang sebelumnya perut membesar kemudian menjadi kecil, dan yang suaminya meninggal, kemudian hidup panjang sebagai janda, dan kerabat jauh yang mewarisinya, demi Allah aku tidak mendatangi kalian dengan senang hati, tetapi aku datang pada kalian karena paksaan, dan sesungguhnya aku telah mendengar kalian berkata: ‘Ali pembohong, qaatalakumullaah ! kepada siapa aku berbohong?’.[99]
2.      Al-Hasan Radhiyallahu ‘anhu
Beliau Radhiyallahu ‘anhu berkata: “aku melihat, demi Allah bahwa bagiku Mu’awiyah lebih baik dari mereka semua (ahlu Kufah), mereka mengaku sebagai pendukungku. mereka menginginkan membunuhku, merampasa barangku, dan mengambil hartaku, demi Allah jika Mu’awiyah mengambil perjanjianku maka aku akan menahannya dengan darahku, dan kuamankan dia di keluargaku lebih baik dari pada mereka membunuhku, maka akan hilang ahlu bait-ku dan keluargaku, walaupun aku memerengi Mu’awiyah sungguh mereka akan tetap menebas leherku sehingga mereka memaksaku tunduk”.[100]
Juga beliau berkata kepada para pengikutnya: ”wahai penduduk iraq, bahwasannya kalian telah mengambil dengan paksa dari kemurahan hatiku kepada kalian tiga hal, kalian membunuh ayahku, kalian mencemarkan nama baikku, dan kalian merampas barang-barangku”.[101]
Pengkhianatan Ahlu Iraq dan mereka adalah Pembunuh Al-Husain
Sesungguhnya Muhammad bin Ali bin Abu Thalib yang dikenal dengan Ibnu al-Hanafiyyah telah menasehati saudaranya al-Husain: “wahai saudaraku, sesungguhnya ahlu Kufah telah kau ketahui pengkhianatan mereka terhadap ayahmu dan saudaramu, dan sungguh aku takut kamu akan seperti mereka yang telah lalu”.[102]
Sang Penya’ir al-Farazdaq berkata kepada al-Husain ketika dia ditanya tentang pendukung al-Husain yang beliau sedang menuju kepada mereka: “hati mereka bersamamu dan pedang-pedang mereka melawanmu dan suatu perkara itu turun dari langin dan Allah melakukan sesuatu sekehendakNya”, maka al-Husain berkata: “kamu benar, segala perkara adalah milik Allah, setiap hari Dia dalam kesibukan, jika turun ketetapan-Nya yang kita suka dan ridha maka kita memuji Allah atas ni’mat-ni’matnya, dan Dia tempat minta pertolongan untuk bersyukur, dan jika terjadi ketetapan yang tidak diinginkan, maka tidaklah menjauh dari siapa yang benar niatnya dan taqwa sebagai rahasianya”.[103]
Dan ketika al-Husain berorasi didepan ahlu Kufah beliau menunjukkan pendahulu mereka dan perbuatan mereka terhadap ayahnya dan saudaranya, berliau berkata dalam orasinya: “dan jika kalian tidak melakukan dan melanggar perjanjian, dan kalian mencabut bai’at terhadapku, maka rugilah aku jika aku menuruti kalian, sungguh kalian telah melakukannya terhadap ayahku dan Muslim putra pamanku, maka kerugian yang akan didapatkan bagi yang menuruti kalian”.[104]
3.      Ali bin al-Husain yang dikenal dengan Zainal Abidin
Beliau berkata mencela kepada pendukungnya yang mereka telah menelantarkan dan membunuh ayahnya: “wahai orang-orang! aku menyeru kalian dengan nama Allah apakah kalian tahu bahwa kalian telah menulis kepada ayahku dan kalian telah menipunya, dan kalian telah memberikan pada ayahku perjanjian dan bai’at kemudian kalian membunuh beliau dan menelantarkannya, maka celakalah apa yang telah kalian lakukan, dan buruklah pandangan kalian, dengan mata apa kalian melihat kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam ketika berkata kepada kalian: “telah kalian bunuh sanak keluargaku, dan kalian telah melanggar kehormatanku, maka kalian bukanlah ummatku”.
Suara-suara wanita meninggi dengan tangisan di setiap penjuru, dan mereka berkata kepada sebagian mereka: kalian celaka dan kalian tidak mengetahui. Maka Ali bin al-Husain berkata: “Allah merahmati orang yang menerima nasehatku, dan menjaga wasiyatku dijalan Allah dan Rasul-Nya dan Ahlu Bait Rasulullah, maka sesungguhnya dalam diri Rasulullah terdapat tauladan yang baik bagi kami”, mereka semua berkata: ‘kami semua mendengar dan ta’at dan berjaga untuk melindungimu tidak meninggalkanmu dan tidak membencimu, maka perintahlah kami dengan perintahmu semoga Allah merahmatimu, kami marah untuk kemarahanmu, damai untuk perdamaianmu, sungguh kami membai’at Yazid dan berlepas dari orang yang mendzalimimu dan mendzalimi kami’. Maka Ali bin al-Husain berkata: “menjauhlah, menjauhlah wahai pengkhiatat penipu, pisahkan antara kalian dan syahwat kalian, apakah kalian ingin datang kepadaku seperti kelian telah mendatangi ayah-ayahku sebelumnya? Tidak, demi Allah sengguh luka ini belum sembuh, ayahku terbunuh kemaren dan juga ahlu bait-nya yang bersamanya, belum membuatku lupa kematian Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam dan keluarganya, serta kematian ayahku dan putra-putranya, kemarahannya di antara lidahku, dan rasa pahitannya di tenggorokanku sehingga aku tersedak dan dadaku penuh sesak”.[105]
Dan ketika Imam Zainal Abidin leewat dan beliau melihat penduduk Kufah meratap dan menangis, beliau membentak mereka: “kalian meratap dan menangis demi kami, tapi siapa yang telah membunuh kami?”.[106]
4.      Ummu Kultsum binti Ali Radhiyallahu ‘anhuma
Beliau berkata: “wahai penduduk Kufah, keburukan bagi kalian, mengapa kalian menelantarkan dan membunuh al-Husain, kalian rampas hartanya, kalian tawan istri-istrinya, dan menimpakan bencana kepadanya, celaka dan hinalah kalian, musibah apa yang menimpa kalian, beban apa yang kalian pikul di pundak kalian, darah apa yang kalian tumpahkan, wanita mulia mana yang kalian celakai, anak perempuan mana yang kalian rampas, dan harta apa yang kalian rampas? Kalian telah membunuh orang-orang terbaik setelah Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam, dan rasa kasih sayang telah dicabut dari hati kalian”.[107]
5.      Zainab bintu Ali Radhiyallahu ‘anhuma
Beliau berkata kepada semua yang ditemuinya sedang menangis dan meratap: “apakah kalian menangis dan meratap pilu?! Demi Allah menangislah kalian lebih banyak dan tertawalah sedikit, sungguh kalian telah pergi dengan aib dan cela dari tangisan itu, dan kalian tidak akan pernah mencucinya selamanya, dan bagaimana kalian akan membersihkan pembunuhan keturunan Nabi terakhir”.[108] Dan dalam suatu riwayat: “bahwasannya beliau (Zainab) melongokkan kepalanya dari kereta diatas punggung onta, dan beliau berkata kepada ahlu Kufah: “diamlah wahai ahlu Kufah, orang-orang kalian membunuh kami dan wanita-wanita kalian menangisi kami, dan adapun Hakim antara kami dan kalian di hari Pembalasan adalah Allah”.[109]
6.      Jawad Muhadditsy
Semua sebab ini membuat khalifah Ali merasakan dua kepahitan dari mereka, dan Imam al-Hasan menghadapi pengkhianatan, dan Muslim bin Aqil terbunuh dengan dzalim, dan al-Husain terbunuh kehausan di Karbala dekat Kufah ditangan pasukan Kufah.[110]
7.      Husain Kurani
Ahlu Kufah bersegera berbondong-bondong keluar ke Karbala untuk memerangi Imam al-Husain, dan ketika di Karbala mereka berlomba-lomba melakukan sesuatu yang membuat setan ridho terhadap mereka, dan membuat Allah ta’ala murka.[111]
8.      Murtadho Muthahhiry
Beliau berkata: “tidak diragukan lagi bahwa ahlu Kufah dulu adalah pendukung Khalifah Ali, dan bahwa yang membunuh Imam al-Husain adalah pendukungnya”.[112]
Beliau berkata juga: “adapun kami telah lama menetapkan bahwa kisah ini penting dari segi yang ini, dan kami berkata juga: ‘bahwa pembunuhan al-Husain di tangan kaum muslimin bahkan di tangan pendukungnya hanya lima puluh tahun setelah wafatnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam, sungguh perkara yang membingungkan dan teka-teki yang aneh, dan sangat mengherankan’”.[113]
Dan yang menyuruh untuk membunuh al-Husain dan senang atas terbunuhnya beliau adalah Ubaidullah bin Ziyad. Dan yang membunuh secara langsung adalah Syamar bin Dzy al-Jausyan, dan Sinan bin Anas an-Nakh’iy. Dan mereka bertiga dulunya adalah pengikut shahabat Ali bin Abu Thalib, dan mereka juga dipihak beliau dalam perang Shiffin.
9.      Kadzim al-Ihsa’iy an-Najafiy
Tentara yang keluar untuk memerangi Imam al-Husain berjumlah tiga ratus ribu, semuanya penduduk Kufah, tak satupun dari mereka dari Syam, tidak juga dari Hijaz, atau India, atau Pakistan, atau Sudan, atau Mesir, dan atau Afrika, akan tetapi mereka semua adalah penduduk Kufah, yang mereka telah berkumpul dari berbagai kabilah.[114]
10.  Husain bin Ahmad al-Barraqiy an-Najafiy
Al-Qazwaini berkata: “dan dari yang kami ketahui tentang penduduk Kufah bahwa mereka mencela al-Hasan bin Ali Radhiyallahu ‘anhuma, dan membunuh al-Husain Radhiyallahu ‘anhu setelah meminta beliau datang.[115]
11.  Muhsin al-Amin
“Kemudian dua puluh ribu penduduk Iraq membai’at al-Husain yang pergi bersamanya, kemudian mereka keluar kepadanya, dan bai’at mereka kepada beliau, kemudian mereka membunuh beliau”.[116]
Siapa yang bertanggung jawab atas pembunuhan al-Husain Radhiyallahu ‘anhu?
Yang masyhur didalam buku-buku ahli sejarah dan biografi bahwa yang bertanggungjawab atas pembunuhan al-Husain adalah dua orang yaitu Sinan bin Anas an-Nakh’iy dan Syamar bin Dzil Jausyan, dan sebagai pengendali utamanya adalah Ubaidullah bin Ziyad, dan adapun Ubaidullah dan Syamar keduanya dulu pendukung Ali.
At-Thusiy menyebutkan di dalam bukunya Fi ar-Rijal tentang Ubaidullah bin Ziyad dan menggolongkannya termasuk pengikut Ali bin Abu Thalib.[117] An-Namazy as-Syahrwadiy berkata tentang Syamar bahwa dulu pada perang Shiffin Syamar di pihak Amirul Mukminin Ali bin Abu Thalib.[118]
Sikap Orang-orang Terhadap Pembunuhan Al-Husain
Tidak diragukan lagi bahwa pembunuhan al-Husain Radhiyallahu ‘anhu adalah musibah yang besar yang menimpa kaum muslimin, dan belum ada dimuka bumi ini putra dari putri Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam selain beliau berbunuh secara dzalim, dan pembunuhan beliau untuk penduduk bumi dari kalangan muslimin adalah musibah yang besar, adapun hak beliau yaitu syahid dan karomah dan derajat yang tinggi serta dekat kepada Allah yang mana Allah telah memilih beliau untuk kehidupan akhirat dan untuk syurga Na’im sebagai ganti dari dunia yang suram ini.
Syaikh Utsman al-Khamis mengatakan: “yah seandainya beliau tidak keluar, maka dari itu Kibar Shahabat telah melarang beliau pada waktu itu, bahkan dengan keluarnya ini orang-orang dzalim yang melampaui batas mendapatkan cucu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam sehingga mereka membunuhnya dengan kejam dan sebagai syahid, pembunuhan beliau termasuk kerusakan yang tidak akan terjadi jika beliau tinggal di negara beliau. Akan tetapi Qadarullah wa maa Syaa’a fa’ala walaupun manusia tidak menghendakinya.
Dan kasus pembunuhan al-Husain bukanlah lebih besar daripada kasus pembunuhan para Nabi terdahulu, kepala Nabi Yahya bin Zakariya ‘Alaihima as-Salaam dihadiahkan kepada penguasa lalim, terbunuhnya Nabi Zakariya ‘Alaihi as-Salam, begitu juga terbunuhnya Umar, Utsman dan Ali Radhiyallahi ‘anhum, mereka semua lebih baik dari al-Husain Radhiyallahu ‘anhu, maka dari itu orang ketika memperingati kematian al-Husain tidak boleh menganiaya dan melukai diri dan hal-hal yang seperti itu, bahkan semua itu terlarang, sesungguhnya Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam berkata: “bukan golongan kami orang yang menampar-nampar pipi, dan merobek-robek pakaian”.[119] Dan beliau berkata: “aku terlepas dari Shaliqah, dan Haliqah, dan Syaqqah”.[120] Shaliqah berarti yang meratap, Haliqah adalah yang menggunduli rambut, Syaqqah adalah yang merobek-robek bajunya. Dan beliau berkata: “sesunggunya orang yang meratap-ratap jika tidak bertaubat maka pada hari kiamat tubuhnya akan dipenuhi kudis sehingga menyerupai rompi dan celana dari cairan aspal yang menyala”.[121]
Yang harus dilakukan oleh seorang muslim ketika mendapat musibah seperti ini hendaknya mengucapkan sebagaimana yang dikatakan oleh Allah Ta’ala:
[البقرة: 156] ((الَّذِينَ إِذَا أَصَابَتْهُم مُّصِيبَةٌ قَالُواْ إِنَّا لِلّهِ وَإِنَّـا إِلَيْهِ رَاجِعونَ ))
Sikap orang-orang terhadap terbunuhnya Al-Husain
Ada tiga kelompok mengenai hal ini:
Pertama: Mereka berpendapat bahwa al-Husain terbunuh secara Haq (seharusnya) dan bahwa beliau keluar atas Imam dan ingin memecah belah persatuan kaum muslimin, dan mereka berkata: Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam berkata: “barang siapa yang mendatangi kalian dan kalian adalah satu di bawah satu kekuasaan, dan dia ingin memecah belah kalian maka bunuhlan dia, siapapun dia”.[122] Dan al-Husain ingin memecah belah jama’ah muslimin, sementara Rasulullah berkata: ‘siapapun itu’, maka bunuhlah dia, dan hal itu dibenarkan. Ini adalah perkataan an-Nashibah[123] yang membenci al-Husain bin Ali Radhiyallahu ‘anhuma.
Kedua: mereka mengatakan: ‘dia adalah Imam yang wajib ditaati, dan semua perkara harus diserahkan kepada beliau’. Dan ini perkataan syi’ah.
Ketiga: yaitu Ahlus Sunnah wal Jama’ah: beliau terbunuh secara dzalim, dan beliau bukan sebagai Waliul Amr (beliau bukan pemimpin/khalifah), tidak pula terbunuh karena keluar kepada hakim, akan tetapi terbunuh dengan dzalim dan sebagai syahid, sebagaimana perkataan Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam: “al-Hasan dan al-Husain adalah dua Sayyid pemuda penghuni syurga”.[124]
Dan padahal saat itu beliau ingin pergi kepada Yazid bin Mu’awiyah (bukan untuk memerangi atau menentang), akan tetapi penduduk Kufah menahannya dan menawannya kepada Ibnu Ziyad.
Dua Bid’ah yang Terjadi dengan Terbunuhnya Al-Husain bin Ali Radhiyallahu ‘anhu
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata: ‘terjadi dua bid’ah pada manusia setelah terbunuhnya al-Husain:
Pertama: bid’ah kesedihan dan meratap pada hari ‘Asyura dengan demo memukul tubuh, berteriak, menangis, berhaus-hausan, dan menyanyikan lagu mars, lebih dari itu mereka sampai mencela para Shahabat dan melaknat mereka, dan menggolongkan mereka yang tak berdosa bersama para pendosa sehingga mencela para As-Sabiquna Al-Awwalun, dan menyampaikan cerita-cerita dusta pergulatan di antara mereka. Dan tujuan mereka dengan melakukan ini semua untuk membuka fitnah dan perpecahan di antara ummat, jika bukan itu tujuannya, maka apa artinya mereka mengulang peringatan setiap tahun dengan menumpahkan darah, mengagungkan dan bergantung pada masa lalu, dan bertaut dengan kuburan.
Kedua: bid’ah kebahagiaan dan membagikan halwa (makanan-makanan ringan yang manis) kepada keluarga pada hari terbunuhnya al-Husain.
Kufah pada saat itu ada sebuah kaum yang membela Alu al-Bait yang petinggi mereka adalah Mukhtar bin Abu Ubaid al-Mutanabbi’ al-Kadzdzab (pembohong yang mengaku nabi), dan ada juga sebuah kaum yang membenci Alu al-Bait di antara mereka adalah Hajjaj bin Yusuf ats-Tsaqafiy, yang tidak melawan bid’ah dengan kebid’ahan yang lain, akan tetapi melawannya dengan menegakkan sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam yang sesuai dengan kata Allah Ta’ala:
[125][البقرة: 156]((الَّذِينَ إِذَا أَصَابَتْهُم مُّصِيبَةٌ قَالُواْ إِنَّا لِلّهِ وَإِنَّـا إِلَيْهِ رَاجِعونَ ))
Sikap Ahlus Sunnah wal Jama’ah terhadapa Yazid bin Mu’awiyah
Yazid bin Mu’awiyah tidak pernah membunuh al-Husain, tidak pula memiliki peran dalam pembunuhan beliau, ini bukan membela Yazid tapi kebenaran yang harus kita ungkap dan bela. Sebagaimana yang telah dijelaskan di atas tentang konspirasi pembunuhan al-Husain bin Ali, bahwa Yazid bin Mu’awiyah mengirim Ubaidullah bin Ziyad untuk menghalangi al-Husain pergi ke Kufah dan tidak menyuruh Ibnu Ziyad untuk membunuh al-Husain, bahkan al-Husain sendiri berprasangka baik terhadap Yazid bin Mu’awiyah ketika mengatakan: “biarkan aku pergi ke Yazid agar aku menyerahkan perkaraku kepadanya”.
Syaikul Islam  Ibnu Taimiyah berkata: “sesuai kesepakatan Ahlul ‘Ilm sesungguhnya Yazid bin Mu’awiyah tidak memerintahkan pembunuhan al-Husain, akan tetapi menyuruh Ibnu Ziyad untuk menahan al-Husain menjadi Waliyul Amr di Iraq, ketika sampai kepada Yazid bin Mu’awiyah kabar tentang pembunuhan al-Husain beliau merasa kesakitan dengan kabar tersebut dan menangis di rumahnya, dan tidak pernah menawan wanita, bahkan beliau sangat menghormati Ahlu Baitnya al-Husain bahkan memberikan mereka tempat tinggal dan keamanan sampai mengembalikan mereka ke negara mereka.
Adapun riwayat yang mengatakan para wanita Alul Bait Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam dihinakan, dan bahwa mereka ditawan dan dibawa dengan paksa ke Syam serta dihinakan di sana, semua ini bathil, karena saat itu Bani Umayyah menghormati dan mengagungkan Bani Hasyim, dan dari itu ketika Hajjaj bin Yusuf menikahi Fathimah binti Abdullah bin Ja’far, Abdul Malik bin Marwan tidak menerima hal ini, dan memerintah Hajjaj untuk menceraikan dan meninggalkan Fathimah, itu karena mereka sangat menghormati Bani Hasyim, dan tidak pernah menawan mereka”.[126]
Itulah bahwa para wanita Bani Hasyim adalah wanita yang mulia dan terhormat pada waktu itu. Dan adapun riwayat yang menyebutkan bahwa kepala al-Husain bin Ali dikirimkan ke Yazid bin Mu’awiyah ini tidak benar dan tidak terbukti, akan tetapi kepala beliau Radhiyallahu ‘anhu tetap berada pada Ubaidullan bin Ziyad di Kufah, dan tidak seorangpun tahu dimana kepala beliau dikuburkan, tapi yang masyhur bahwasannya kepala beliau dikuburkan di Karbala tempat beliau Radhiyallahu ‘anhu terbunuh.

Sikap Orang-orang terhadap Yazid bin Mu’awiyah
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata: “ada dua kelompok yang ghuluw menyikapi Yazid, dan ada yang bersikap menengahinya;
Kelompok pertama: fanatik terhadap Yazid dan mencintainya bahkan menyatakan kenabian beliau dan ma’shum.
Kelompok kedua: fanatik tidak suka kepada Yazid, membenci beliau bahkan mengkafirkan beliau dan mengatakan bahwa Yazid seorang munafiq, yang memperlihatkan keislaman beliau dan menyembunyikan kemunafikan, juga membenci Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam.
Adapun kasus pembunuhan al-Husain, hal ini tidak diragukan lagi bahwa beliau Radhiyallahu ‘anhu terbunuh dengan keji dan sebagai syahid, sebagaiman syuhada’ yang lainnya yang terbunuh secara keji. Dan pembunuhan al-Husain (yang memprakarsainya, atau yang menyuruhnya, atau yang membunuhnya secara langsung, juga yang ridha terhadap pembunuhan beliau) merupakan suatu ma’siat kepada Allah dan Rasulullah. Dan ini merupakan musibah besar yang menimpa ummat Islam baik keluarga al-Husain maupun yang bukan. Dan hak beliau adalah syahid, derajat yang tinggi serta kedudukan yang tinggi”.[127] 
Larangan Mencela dan Melaknat Yazid bin Mu’awiyah
Mungkin hal terpenting yang terjadi pada masa Yazid bin Mu’awiyah adalah waq’atul Harrah (ini ketika penduduk Madinah keluar kepada Yazid sehigga Yazid membolehkan peperangan di Madinah selama tiga hari), peperangan Abdullah bin az-Zubair dan pembunuhan al-Husain bin Ali. Dan karena sebab tersebut ada yang membolehkan untuk melaknat Yazid bin Mu’awiyah, ada juga yang melarangnya. Adapun yang membolehkan maka mereka harus membuktikan tiga hal:
1.      Membuktikan bahwa Yazid bin Mu’awiyah adalah orang fasiq,
2.      Membuktikan bahwa beliau tidak bertaubat dari kefasikannya, kalau seorang kafir ketika bertaubat maka Allah akan mengampuninya, maka apalagi hanya sekedar fasiq!
3.      Membuktikan bolehnya melaknat Yazid bin Mu’awiyah.
Tidak boleh melaknat orang yang sudah meninggal yang Allah dan Rasulullah tidak melaknatnya, karena Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam telah berkata:
(( لاتسبوا الأموات فإنهم قد أفضوا إلى ما قدموا )).[128]
            Din Allah tidak tegak dengan saling mencela, akan tetapi denga akhlaq yang mulia, maka sabb (mencela) bukanlah termasuk Din Allah Tabaraka wa Ta’ala, bahkan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam berkata:
(( سباب المسلم فسوق وقتاله كفر ))[129]
            Maka mencela seorang muslim adalah fasiq, dan tidak satupun yang mengatakan bahwa Yazid bin Mu’awiyah keluar dari Islam, tapi yang banyak mengatakan yaitu bahwa beliau fasiq. Dan ini seperti yang telah disampaikan di atas bahwa pendapat ini dibangun diatas bukti yang mereka sebutkan tentang kefasikan beliau, dan tentu saja hanya Allah yang tahu.
           
Padahal telah tsabit dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam:
(( أول جيش يغزون مدينة قيصرمغفور لهم ))[130]
Tentara pertama yang memerangi kota Kaisar diampuni dosa-dosanya, dan saat itu tentara yang memerangi kota Kaisar ini di bawah panglima Yazid bin Mu’awiyah, dan disebutkan disana bahwa beliau juga bersama kibar Shahabat seperti Abdullah bin Umar, Abdullah bin az-Zubair, Abdullah bin Abbas, dan Abu Ayyub, dan kejadian ini terjadi pada tahun 49H.
            Ibnu Katsir mengatakan: ‘sungguh Yazid bin Mu’awiyah telah melakukan kesalahan besar dalam kepemimpinannya yang memerintahkan Muslim bin Uqbah dalam peperangan al-Harrah, yang mana beliau membolehkan menyerang kota Madinah dalam tiga hari, juga bersamaan dengan itu terbunuhlah banyak dari kalangan Shahabat dan putra-putra mereka’.[131]
            Intinya: bahwa perkara ini kita kembalikan kepada Allah Tabaraka wa Ta’ala, sebagaimana yang dikatakan oleh adz-Dzahabi: ‘kita tidak mencelanya, dan tidak menyukainya’.[132]

Penutup
            Tidak akan baik akhir ummat ini jika awalnya sudah tidak baik. Maka dari itu penulis mengajak para pembaca untuk lebih bersungguh-sungguh untuk mengetahui hakekat perpecahan ummat Islam ini, dan waspada menghadapi perpecahan ummat ini dan bahaya dari perpecahan tersebut. Maka dari itu mari kita satukan kata, kembali kepada A-Qur’an dan As-Sunnah setiap menghadapi perbedaan dan problematika kehidupan.
            Tidak kalah penting setelah membaca pembahasan di atas, bahwa penulis mengharapkan para pembaca memiliki sikap tegas terhadap kelompok-kelompok yang keluar dari Aqidah Islam, lebih bisa membedakan mana Al-Firqah An-Najiyah dan mana Al-Firaq Adh-Dhaallah, tidak mengikuti ataupun mencontoh perangai, kebiasaan dan kata-kata mereka. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “barang siapa yang menyerupai sebuah kaum, maka dia termasuk dari mereka”. Begitu juga dihrapakan kita lebih bijaksana menyikapi kesalahan yang dilakukan para Shahabat, sebagaimana yang telah terjadi seperti yang telah tertulis di atas.
            Kemudian penulis memohon ampun kepada Allah Ta’ala dari segala khilaf dan salah dalam menuangkan tulisan ini, Astaghfirullahal ‘Adziim, Astaghfirullahal ‘Adziim, Astaghfirullahal ‘Adziim wa Atuubu Ilaih. Dan memohon koreksi dari pembaca semua jika mendapati kesalahan dalam risalah singkat ini. Wallahu A’laa wa A’lam Bishshawaab, Subchaanakallaahumma wa Bichamdika Asyhadu Allaa Ilaaha Illa Anta Astaghfiruka wa Atuubu Ilaiik.



[1] Seperti pengkultusan akal, dan menjadikannya sebagai hukum final pada setiap perkara, juga lebih mengutamakannya dari pada akal.
[2] Seperti mengitlakkan kata al-‘isyqu (cinta yang sangat) kepada Allah atau Rasulullah, seperti perkataan mereka: ‘aasyiqu an-nabiy yushalliy ‘alaihi’.
[3] Seperti mengkultuskan angaka 19.
[4] Seperti menta’wilkan ayat Al-Qur’an denga hawa nafsu.
[5] Seperti mengkafirkan masyarakat islam.
[6] Seperti kebencian mereka terhadap para Shahabat, dan seperti penantian Muhammad bin Hasan al-‘Askariy, juga seperti kecintaan yang melampaui batas terhadap al-Husain, dan sebagainya.
[7] Lihat: buku Muqaddimatun fii Asbaabi Ikhtilaafi al-Muslimiin wa Tafaaruqihim, karangan Muhammad al-Abdat, dan Thariq Abdul Hakim hal. 27, juga halaman 36-38.
[8] Dikeluarkan oleh Imam Ad-Darimiy dalam Musnadnya, dan tidak diragukan lagi bahwa hadits ini sangat sejalan dengan golongan-golongan yang keluar dari al-Haq, yang sesungguhnya di atas kepala pada setiap golongan ada setan-setan yang menyeru kepada jalan mereka, dan berjalan di jalan mereka.
[9] Dikeluarkan oleh Imam Tirmidziy 4/209, dan Imam Abu Daud 2/506 dan lafadz dari beliau.
[10] Muttafaq ‘alaih; Shahih Bukhari 13/35, dan Shahih Muslim 4/514
[11] Dikeluarkan oleh Imam Abu Daud dalam kitab As-Sunnah 2/503, dan Imam Tirmidziy 5/25,26, dan Imam Ibnu Majah 2/1321,1322, dan Imam Ahmad 2/322, 3/120, 145.
[12] Dikeluarkan yang seperti ini oleh Imam Abu Daud dari Shahabat Abu Hurairah 2/503.
[13] Tahdzib al-Lughah 3/61
[14] Lihat Taj al-‘Arus 5/405
[15] Lihat Tafsir Al-Qur’an Al-Adzim 3/131
[16] Tafsir Al-Qur’an Al-hakim-Tafsir Al-Manaar 8/214
[17] Jami’ Al-Bayaan 27/112.
[18] Fath Al-Qadiir 4/163.
[19] Lihat Tahdzib Al-Lughah 3/63.
[20] Al-Qamus Al-Muhith 3/49, Tahdzib Al-Lughah 3/61.
[21] Lihat; Al-Fashl 4/92
[22] Lihat; Al-Adyan wa Al-Firaq wa Al-Madzahib Al-Mu’ashirah, hal. 145.
[23] Asy-Syi’ah wa At-Tasyayyu’ hal. 19.
[24] Firaq Asy-Syi’ah karangan An-Nubakhtiy hal. 39.
[25] Al-Hukumah Al-Islamiyyah hal. 136.
[26] Asy-Sya’air Al-Husainiyyah hal. 11.
[27] Al-Fahrasat karangan Ibnu An-Nadim hal. 249
[28] Asy-Syi’ah wa At-Tasyayyu’ hal. 25.
[29] Lihat; As-Shilatu Baina At-Tashawwuf wa At-Tasyayyu’ hal. 23.
[30] Lihat; Risalah fii Ar-Raddi ‘Alaa Ar-Raafidhah hal. 42.
[31] Qadhiyyah Asy-Syi’ah hal. 3.
[32] Lihat; Mukhtashar At-Tuhfah Al-Itsnay Asyariyyah hal.  5-6.
[33] Lihat; Mukhtashar At-Tuhfah Al-Itsnay Asyariyyah hal.  5, dan mereka adalah orang-orang yang Tsiqqah sebagaimana dalam Taqrib At-Tahdzib kecuali Salim bin Abu Hafshah, telah dikatakan tentangnya: dia Shaduq dalam hadits kecuali bahwa dia syi’iy ghalin, lihat; 1/279, dan tentang Aburrazzaq bin Al-Hammam: Tsiqah Hafidz… dulu pernah menjadi syi’ah, 1/505.
[34] Meskipun dikatakan mereka dibakar dengan api, tapi Ali bin Abu Thalib tidak membakar dengan api secara langsung, tetapi beliau membuat tiga lobang besar, kemudian beliau menyalakan api di kedua lobang tersebut dan meletakkan orang-orang itu di lobang yang ketiga, yang membuat asap meresap ke arah mereka sehingga mereka tercekik dengan asap dan kemudian mereka mati, ketika mereka melihat bahwa Ali bin Abu Thalib akan membakar mereka, bertambahlah keras kepala mereka dan kesombongan mereka dan manjadikan keinginan Ali bin Abu Thalib membakar mereka sebagai bukti ke-Ilah-an beliau, karena seperti alasan yang mereka buat untuk itu, bahwa tidaklah membakar dengan api kecuali Rabb api.
[35] Lihat Lihat; Mukhtashar At-Tuhfah Al-Itsnay Asyariyyah hal. 3-9, dan Asy-Syi’ah wa At Tasyayyu’ hal. 40-41.
[36] Manhaj Al-Maqal karangan Al-Isterabadiy hal. 203, sebagaimana juga yang dikatakan oleh seorang syi’ah Hasan bin Ali di dalam bukunya Ar-Rijaliy hal. 469 yang menukil dari Asy-Syi’ah wa At-Tasyayyu’ hal. 56-57.
[37] Syarah Nahjul Balaghah 2/309, dan lihat Al-Milal wa An-Nihal karangan Syahrustaniy hal. 157.
[38] Lihat Al-Farqu Baina Al-Firaq hal. 235.
[39] Lihat; Ibnu Saba’ Haqiqah Laa Khayaal hal. 7-24.
[40] Lihat; buku Abdullah bin Saba’ wa Atsaruhu fii Ihdaatsi al-Fitnah fii Shadri Al-Islam hal. 39-42.
[41] Lihat; buku Abdullah bin Saba’ wa Atsaruhu fii Ihdaatsi al-Fitnah fii Shadri Al-Islam hal. 42.
[42] Al-Farqu baina Al-Firaq hal. 236.
[43] Al-Fashl karangan Ibnu Hazm hal. 4/180.
[44] Ini menunjukkan kepada perkataan Ibnu Saba’ ketika sampai kepadanya kematian Ali bin Abu Thalib: “demi Allah akan keluar dua mata air di masjid Kufah untuk Ali yang satunya memancarkan madu dan yang lainnya memancarkan mentega yang pengikutnya akan menciduk darinya”.
[45] Lihat; Al-Farqu baina Al-Firaq hal. 236.
[46] Lihat; Al-Farqu baina Al-Firaq
[47] Lihat; Al-Adyan wa Al-Firaq wa Al-Madzahib Al-Mu’ashirah hal. 146
[48] Lihat; Al-Adyan wa Al-Firaq wa Al-Madzahib Al-Mu’ashirah hal. 146
[49] Lihat; Al-Adyan wa Al-Firaq wa Al-Madzahib Al-Mu’ashirah hal. 146
[50] Dari yang terlihat dari riwayat ini bahwa (Thalhah, az-Zubair, dan ‘Aisyah) tidak pernah membenci pengangkatan Ali bin Abu Thalib sebagai Khalifah, yang mereka juga membai’at kekhilafahan Ali dan menyuruh al-Ahnaf untuk membai’at beliau. Dan mengenai semua perkara ini bahwa mereka berijtihad untuk mengetahui mana yang harus mereka lakukan terlebih dahulu.
[51] Fathul Baariy 13/38, dan lihat Tarikh At-Thabariy.
[52] Diriwayatkan oleh Imam Ahmad 6/393, Al-Hafidz Ibnu Hajar mengatakan dalam Fathul Baariy 13/60 sanadnya Hasan.
[53] Keputusan hukum mereka semua satu; mereka tidak keluar dari Islam, akan tetapi tidak diragukan lagi mereka fasiq para penjahat kecuali yang bertaubat.
[54] Tarikh Al-Islam hal. 645, masa Al-Khulafa’ Ar-Rasyidun tentang biografi Abdurrahman bin Muljim.
[55] Muttafaq ‘Alaih; Shahih Al-Bukhariy, Kitab Shalat, Bab At-Ta’awun fii Binaai Al-Masjid, hadits 447, Shahih Muslim, Kitab Fitnah, Bab Laa Taquumu As-Saa’ah Hattaa Yamurra Ar-Rajulu Biqabri Ar-Rajuli…, hadits 2915.
[57] Tarikh Dimasyq karangan Ibnu ‘Asakir  -mukhtashar- 11/207, Asadul Ghabah 3/88 Al-Bushairiy berkata: orang-orang sanadnya Tsiqah. Ibnu Hajar menukil darinya dalam Al-Mathalib Al-‘Aliyah 4/302 beserta perbedaan kecil dalam lafadznya.
[58] Lihat Mushannaf Ibnu Abu Ayaibah bab Maa Jaa-a fii Shiffiin.
[59] Shahih Al-Bukhariy, kitab Fadhail As-Shahabah, bab Manaqib Al-Hasan wa Al-Husain, hadits ke 3746.
[60] Shahih Al-Bukhariy, kitab Fadhail As-Shahabah, bab Manaqib Al-Hasan wa Al-Husain, hadits ke 3746, dan lihat Al-Bidayah wa An-Nihayah 7/245.
[61] Shahih Al-Bukhariy, kitab Fadhail As-Shahabah, bab Dzikru Usamah, hadits ke 3735.
[62] Shahih Al-Bukhariy, kitab Fadhail As-Shahabah, bab Manaqib Al-Hasan wa Al-Husain, hadits ke 3750, dan pada bab Shifat An-Nabiy Shallallahu ‘alaihi wasallam 3542.
[63] At-Thabaqat Al-Kubra hal. 335 no. 294, At-Thabaqah Al-Khamisah min As-Shahabah, tahqiq Muhammad bin Shamil As-Salmiy.
[64] Tarikh Al-Islam, ‘Ahdu Mu’awiyah, hal.40, Al-Bidayah wa An-Nihayah 8/44.
[65] Mushannaf Abdurrazzaq, 5/462.
[66] Shahih Al-Bukhariy, kitab Fadhail As-Shahabah, bab Manaqib Al-Hasan wa Al-Husain, hadits ke 3746.
[67] Tarikh Al-Islam, karangan Adz-Dzahabiy, ‘Ahdu Mu’awiyah 308.
[68] Dikeluarkan oleh Imam Tirmidziy, Kitab Al-Manaqib, bab Manaqib Mu’awiyah 4113.
[69] Dikeluarkan oleh Imam Ahmad 4/127.
[70] Fathul Baariy, 6/120.
[71] Shahih Al-Bukhariy, kitab Fadhail As-Shahabah, bab Manaqib Al-Hasan wa Al-Husain hadits ke 4765.
[72] Shahih Al-Bukhariy, kitab Al-Jihad, bab Maa Qiila fii Qitaali Ar-Ruum, 2924.
[73] Tarikh At-Thabariy 5/240.
[74] Sunan Abi Daud, kitab As-Sunnah, bab fii Al-Khulafa’, 4646, Musnad Ahmad, 4/273, dengan sanad yang shahih.
[75] Al-Bidayah wa An-Nihayah 8/17.
[76] Sunan Ad-Darimiy, kitab Al-Asyribah, bab Maa Qiila Fi Al-Muskir 2/114, orang-orang dalam sanadnya Tsiqah kecuali Mak-hul yang tidak mendengar riwayat dari Abu Tsa’labah Al-Khusyanniy yang meriwayatkan dari Abu Ubaidah.
[77] Lihat; Muqaddima Ibnu Khaldun, pasal fii Wilayati Al-‘Ahdi, hal. 166.
[78] Al-Bidayah wa An-Nihayah 8/236.
[79] Lihat; Al-Bidayah wa An-Nihayah, hawadits sanah 60H.
[80] Al-Bidayah wa An-Nihayah 8/161.
[81] Al-Bidayah wa An-Nihayah 8/162.
[82] Al-Bidayah wa An-Nihayah 8/163.
[83] Al-Bidayah wa An-Nihayah 8/163.
[84] Al-Bidayah wa An-Nihayah 8/168.
[85] Dikeluarkan oleh Imam Tirmidziy, kitab Al-Manaqib, bab Manaqib Al-Hasan wa Al-Husain, 3768. Dha’if dari riwayat al-Husain, tapi Shahih dari riwayat Hudzaifah dan Abu Sa’id dan yang lainnya.
[86] Al-Mu’jam Al-Kabir, karangan Imam Thabrani 5/206 no. 5107, dan lihat; Shahih Al-Bukhariy, kitab Fadhail As-Shahabah, bab Manaqib Al-Hasan wa Al-Husain, no. 3748.
[87] Al-Mu’jam Al-Kabir, 3/112 no. 2729, dan sanadnya shahih.
[88] Tarikh, karangan Khalifah bin Khiyath, hal. 234.
[89] Fadhail As-Shahabah, 2/782 no. 1391, dan hadits ini masyhur tapi dha’if dari semua jalan dari Ummu Salamah.
[90] Fadhail As-Shahabah, 2/766 no. 1373, dan sanadnya hasan.
[91] Lihat; Al-Bidayah wa An-Nihayah, Ahdaats Sanah 61H.
[92] Fadhail As-Shahabah, 2/778 no. 1380, Isnadnya shahih.
[93] Muttafaq ‘Alaih: Shahih Al-Bukhariy, kitab At-Ta’bir, bab Man Ra-a An-Nabiy Shallallahu ‘alaihi wasallam fii Al-Manaam, no. hadits 7994, Shahih Muslim, kitab Ar-Ru’ya, bab Qauli An-Nabiy Shallallahu ‘alaihi wasallam Man Ra-aniy fii Al-Manaam faqad Ra’any, no. hadits 2266.
[94] Pasukan Mukhtar yang balas dendam terhadap Al-Husain menamakan diri mereka ‘pasukan yang bertaubat’ sebagai pengakuan mereka karena kelalaian terhadap Al-Husain, dan ini merupakan awal munculnya Syi’ah sebagai madzhab politik, adapun syi’ah sebagai madzab Aqidah dan Fiqih muncul di kahir-akhir lama setelah runtuhnya Daulah Bani Umayyah.
[95] Sunan Tirmidziy, kitab Manaqib, bab Manaqib Al-Hasan wa Al-Husain, no. hadits 3780, Imam Tirmidziy berkata: ‘hadits ini hasan shahih’.
[96] Al-Mu’jam Al-Kabir, 3/12, no. 2830, sanadnya shahih.
[97] Kalimat Matsal yang ditujukan pada sebuah kelompok: Lisan Al-Arab (سبأ).
[98] Nahj Al-Balaghah, 1/187-189.
[99] Nahj Al-Balaghah, 1/118-119.
[100] An-Nadwah, 3/208, dan Fii Rihaabi Ahli Al-Bait, hal. 270.
[101] Laqad Syayya’aniy Al-Husainu, hal. 283.
[102] Al-Luhuf karangan Ibnu Thawus, hal. 39, ‘Asyura karangan Ihsaniy, hal. 115, Al-Majalis Al-Fakhirah karangan Abdul Husain hal. 75, Muntaha Al-Aamaal 1/454, ‘Ala Khutha Al-Husain hal. 96.
[103] Al-Majalis Al-Fakhirah hal. 79, ‘Ala Khutha Al-Husain hal. 100, Lawa’ij Al-Asyjaan karangan Al-Amin hal. 60, Ma’alim Al-Madrasatain 3/62.
[104] Ma’alim Al-Madrasatain 3/71-72, Ma’ali As-Sabthin 1/275, Bahrul ‘Ulum 194, Nafsul Mahmum 172, Khairul Ash-hab 39, Tudzlamu Az-Zahra’ hal. 170.
[105] Thubrusiy menyebutkan khutbah ini dalam bukunya Al-Ihtijaj 2/32, Ibnu Thawus dalam Al-Malhuf hal. 92, Al-Amin dalam Lawa’ij Al-Asyjaan hal. 158, Abbas Al-Qumiy dalam Muntaha Al-Aamaal 1/572, Husain Kuraniy dalam Rihab Karbala’ hal. 183, Abdurrazzaq Al-Muqrim dalam Maqtal Al-Husain hal. 217, Murtadha ‘Iyad dalam Maqtal Al-Husain hal. 87 dan diulangi oleh Abbas Al-Qumiy dalam Nafs Al-Mahmum hal. 360, dan Ridha Al-Quzwainiy menyebutkan dalam Tudzlamu Az-Zahra hal. 262.
[106] Al-Malhuf hal. 86, Nafs Al-Mahmum 367, Maqtal Al-Husain karangan Murtadha ‘Iyad hal. 83 cetakan ke-4 th. 1996 M, Tudzlamu Az-Zahra hal. 257.
[107] Al-Malhuf hal. 91, Nafs Al-Mahmum 363, Maqtal Al-Husain karangan Al-Muqrim hal. 316, Lawa’ij Al-Asyjaan 157, Maqtal Al-Husain karangan Murtadha ‘Iyad hal. 86, Tudzlamu Az-Zahra karangan Ridha Al-Quzqaini hal. 261.
[108] Ma’a Al-Husain fii Nahdhatihi hal. 295 dan setelahnya.

[109] Dinukil oleh Abbas Al-Qumiy dalam Nafs Al-Mahmum hal. 365, dan disebutkan Syaikh Ridha Al-Quzwainiy dalam Tudzlamu Az-Zahra hal. 274.
[110] Mausu’ah ‘Asyura hal. 59.
[111] Fii Rihab Karbala’ hal. 60-61.
[112] Al-Malhamah Al-Husainiyah 1/129.
[113] Al-Malhamah Al-Husainiyah 3/94.
[114] ‘Asyura hal. 89.
[115] Tarikh Al-Kufah hal. 113.
[116] A’yan As-Syi’ah 1/26.
[117] Ar-Rijal hal. 45, Tarjamah 120, setakan ke-1 percetakan al-Haidariyah-Najef th. 1961 M, Tahqiq: Muhammad Shadiq Bahrul Ulum.
[118] Mustadrakat Ilm Rijal Al-Hadits, karangan Ali An-Namaziy Asy-Syahrwadiy. Mu’assasah An-Nasyr Al-Islamiy-Qom 1325 H, 4/220 Tarjamah 6899.
[119] Shahih Al-Bukhariy: kitab Al-Janaiz, bab Laisa Minna Man Syaqqa Al-Juyuub, no. hadits 1294, Shahih Muslim: kitab Al-Iman, bab Tahrim Dharb Al-Khudud 103.
[120] Shahih Al-Bukhariy: kitab Al-Janaiz, bab Maa Yunha Min Al-Halqi ‘inda Al-Mushibah 1296, Shahih Muslim: kitab Al-Iman, bab Tahrim Dharb Al-Khudud wa Syaqqi Al-juyub wa Ad-Du’aa bi Da’wa Al-Jahiliyah, no. hadits 140/167.
[121] Shahih Muslim: kitab Al-Janaiz, bab At-Tasydid fii An-Niyaahah, no. hadits 934.
[122] Shahih Muslim: kitab Al-Imarah, bab Hukmu Man Farraqa Amra Al-Muslimin wa Huwa Mujtami’un no. 1852.
[123] An-Nashibah: mereka adalah orang yang memusuhi Ali bin Abu Thalib dan Ahlu Bait-nya.
[124] Dikeluarkan oleh Imam Tirmidziy, kitab Al-Manaqib, bab Manaqib Al-Hasan wa Al-Husain, no. 3768.
[125] Minhaj As-Sunnah 5/554, 555. Penukilan dengan cara menyimpulkan.
[126] Minhaj As-Sunnah 4/557, 559. Penukilan dengan cara menyimpulkan.
[127] Mukhtashar Minhaj As-Sunnah 1/346.
[128] Shahih Al-Bukhariy, kitab Al-Janaiz, bab Maa Yunha ‘an Sabab Al-Amwat, no. 1393.
[129] Muttafaq ‘Alaih; Shahih Al-Bukhariy: kitab Al-Iman, bab Khauful Mukmin An Yuhbatha ‘Amaluhu, no. 48, Shahih Muslim: kitab Al-Iman, bab Bayan Qauli An-Nabiy Shallallahu ‘alaihi wasallam Sibaabi Al-Muslimi Fusuq wa Qitaaluhu Kufr, no. 64.
[130] Shahih Al-Bukhariy: kitab Al-Jihad, bab Maa Qiila fii Qitaali Ar-Ruum, no. 2924.
[131] Al-Bidayah wa An-Nihayah 8/225.
[132] Siyar A’laam An-Nubalaa’ 4/36.