MAKALAH
PSIKOLOGI PENDIDIKAN ISLAM
“ TEORI BELAJAR
KONTROKTIVISME “
Dosen
Pembimbing :
Drs.
Syu’eb, M.Pd.I
Disusun
Oleh :
Mahmud
Noor Biyadli
20111550022
Universitas
Muhammadiyah Surabaya
2012
A.
Latarbelakang
Masalah
Saat ini
terdapat beragam inovasi baru di dalam dunia pendidikan terutama pada proses pembelajaran. Salah satu
inovasi tersebut adalah konstruktivisme. Pemilihan pendekatan ini lebih
dikarenakan agar pembelajaran membuat siswa antusias terhadap persoalan yang
ada sehingga mereka mau mencoba memecahkan persoalannya. Pembelajaran di kelas
masih dominan menggunakan metode ceramah dan
tanya jawab sehingga kurang memberikan kesempatan kepada siswa untuk
berintekrasi langsung kepada benda-benda konkret.
Seorang guru
perlu memperhatikan konsep awal siswa sebelum pembelajaran. Jika tidak
demikian, maka seorang pendidik tidak akan berhasil menanamkan konsep yang
benar, bahkan dapat memunculkan sumber kesulitan belajar selanjutnya. Mengajar
bukan hanya untuk meneruskan gagasan-gagasan pendidik pada siswa, melainkan
sebagai proses mengubah konsepsi-konsepsi siswa yang sudah ada dan di mana mungkin
konsepsi itu salah, dan jika ternyata benar maka pendidik harus membantu siswa
dalam mengkonstruk konsepsi tersebut biar lebih matang.
Maka dari
permasalahan tersebut, pemakalah tertarik melakukan penelitian konsep untuk
mengetahui bagaimana sebenarnya hakikat teori belajar konstruktivisme ini bisa
mengembangkan keaktifan siswa dalam mengkonstruk pengetahuannya sendiri,
sehingga dengan pengetahuan yang dimilikinya peserta didik bisa lebih memaknai
pembelajaran karena dihubungkan dengan konsepsi awal yang dimiliki siswa dan
pengalaman yang siswa peroleh dari lingkungan kehidupannya sehari-hari.
B.
Rumusan
Masalah
Berdasarkan
latar belakang masalah di atas, maka rumusan masalah dalam tulisan ini, yaitu:
1.
Apakah
Pengertian teori belajar kontruktivisme?
2. Bagaimana Konsep Teori Belajar Konstruktivisme bisa
diaplikasikan kedalam Pembelajaran PAI ?
3. Bagaimana Hakikat Pembelajaran Teori Belajar
Konstruktivisme terhadap pembelajaran PAI ( Pendidikan Agama Islam ) ?
C.
Tujuan
Pembahasan
1.
Untuk
mengetahui konsep teori belajar kontruktivisme
2. Untuk mengetahui Bagaimana Konsep Teori Belajar
Konstruktivisme bisa diaplikasikan kedalam Pembelajaran PAI
3. Untuk mengetahui Bagaimana Hakikat Pembelajaran Teori
Belajar Konstruktivisme terhadap pembelajaran PAI ( Pendidikan Agama Islam ).
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian
Teori Belajar Konstruktivisme
Teori
konstruktivisme yang diprakarsai oleh Ivan Petrovich Pavlov merupakan sebuah
hasil karya nyata bahwa teori belajar beliau yang diterapkan kedalam metodologi
pembelajaran mendapatkan respons positif oleh para ahli psikologi di bidang
sains. Dan teori belajar konstruktivisme ini bertitik tolak
daripada teori pembelajaran Behaviorisme yang didukung oleh B.F Skinner yang
mementingkan perubahan tingkah laku pada pelajar. Pembelajaran dianggap berlaku
apabila terdapat perubahan tingkah laku kepada pelajar, contohnya dari tidak
tahu kepada tahu. Hal ini, kemudiannya beralih kepada teori pembelajaran
Kognitivisme yang diperkenalkan oleh Jean Piaget di mana ide utama pandangan
ini adalah mental. Semua dalam diri individu diwakili melalui struktur mental
dikenal sebagai skema yang akan menentukan bagaimana data dan informasi yang
diterima, difahami oleh manusia. Jika ide tersebut sesuai dengan skema, ide ini
akan diterima begitu juga sebaliknya dan seterusnya lahirlah teori pembelajaran
Konstruktivisme yang merupakan pandangan terbaru di mana pengetahuan akan
dibangun sendiri oleh pelajar berdasarkan pengetahuan yang ada pada mereka.
Makna pengetahuan, sifat-sifat pengetahuan dan bagaimana seseorang menjadi tahu
dan berpengetahuan, menjadi perhatian penting bagi aliran konstruktivisme.[1]
Pada
dasarnya perspektif ini mempunyai asumsi bahwa pengetahuan lebih bersifat
kontekstual daripada absolut, yang memungkinkan adanya penafsiran jamak
(multiple perspektives) bukan hanya satu perspektif saja. Hal ini berarti bahwa
“pengetahuan dibentuk menjadi pemahaman individual melalui interaksi dengan
lingkungan dan orang lain”. Peranan kontribusi siswa terhadap makna, pemahaman,
dan proses belajar melalui kegiatan individual dan sosial menjadi sangat
penting. Perspektif konstruktivisme mempunyai pemahaman tentang belajar yang
lebih menekankan proses daripada hasil. Hasil belajar sebagai tujuan dinilai
penting, tetapi proses yang melibatkan cara dan strategi dalam belajar juga
dinilai penting. Dalam proses belajar, hasil belajar, cara belajar dan strategi
belajar akan mempengaruhi perkembangan tata pikir dan skema berpikir seseorang.
sebagai upaya memperoleh pemahaman atau pengetahuan yang bersifat subyektif.
Jadi,
Konstruktivisme didefinisikan sebagai pembelajaran yang bersifat generatif,
yaitu tindakan mencipta sesuatu makna dari apa yang dipelajari. Beda dengan
aliran behavioristik yang memahami hakikat belajar sebagai kegiatan yang
bersifat mekanistik antara stimulus respon, kontruktivisme lebih memahami
belajar sebagai kegiatan manusia membangun atau menciptakan pengetahuan dengan
memberi makna pada pengetahuannya sesuai dengan pengalamanya. Konstruktivisme
sebenarnya bukan merupakan gagasan yang baru, apa yang dilalui dalam kehidupan
kita selama ini merupakan himpunan dan pembinaan pengalaman demi pengalaman.
Ini menyebabkan seseorang mempunyai pengetahuan dan menjadi lebih dinamis.
Von
Glasersfeld mengatakan bahwa konstruktivisme adalah salah satu filsafat
pengetahuan yang menekankan bahwa pengetahuan kita adalah konstruksi (bentukan)
kita sendiri. Pengetahuan itu dibentuk oleh struktur konsepsi seseorang sewaktu
berinteraksi dengan lingkungannya.[2]
Menurut para
penganut konstruktif, pengetahuan dibina secara aktif oleh seseorang yang
berfikir. Seseorang tidak akan menyerap pengetahuan dengan pasif. Untuk
membangun suatu pengetahuan baru, peserta didik akan menyesuaikan informasi
baru atau pengalaman yang disampaikan guru dengan pengetahuan atau pengalaman
yang telah dimilikinya melalui berintekrasi sosial dengan peserta didik lain
atau dengan gurunya.[3] Konsep teori belajar konstruktivisme mempunyai
interpretasi perwujudan yang beragam. Belajar merupakan proses aktif untuk
megkonstruksi pengetahuan dan bukan proses menerima pengetahuan. Proses
pembelajaran yang terjadi lebih dimaksudkan untuk membantu atau mendukung
proses belajar, bukan sekedar untuk menyampaikan pengetahuan.
Dalam
wawasan ini, sebenarnya siswalah yang mempunyai peranan penting dalam belajar,
sedangkan guru secara fleksibel menempatkan diri sebagaimana diperlukan oleh
siswa dalam proses memahami dunianya. Pada suatu saat guru memberi contoh, atau
model bagi siswanya, dan pada saat yang lain guru membangunkan rasa ingin tahu
dan keinginan anak untuk mempelajari sesuatu yang baru. Pada saat tertentu guru
membiarkan anak mengeksplorasi dan bereksperimen sendiri dengan lingkungannya,
guru cukup memberi semangat dan arahan saja.
Sebagai
orang yang beragama, Islam memiliki ajaran yang diakui -minimal oleh
pemeluknya- lebih sempurna dan kompherhensif dibandingkan dengan agama-agama
lainnya yang pernah diturunkan Tuhan sebelumnya. Sebagai agama yang paling
sempurna, ia dipersiapkan untuk menjadi pedoman hidup sepanjang zaman atau
hingga hari akhir. Islam tidak hanya mengatur cara mendapatkan kebahagiaan
hidup di akhirat, ibadah dan penyerahan diri kepada Allah saja, melainkan juga
mengatur cara mendapatkan kebahagiaan hidup di dunia. Untuk mewariskan
nilai-nilai keagamaan ini, di antaranya adalah melalui proses pendidikan.
Pendidikan
(termasuk pendidikan agama Islam) merupakan topik yang selalu aktual untuk
dibicarakan dan diperdebatkan dari zaman ke zaman. Namun demikian perbincangan
dan perdebatan tentang pendidikan tidak pernah selesai, dan tidak akan pernah
selesai dibicarakan. Minimal ada tiga alasan yang dapat dikemukakan untuk
menjawab pertanyaan mengapa hal ini terjadi.
Pertama,
fitrah setiap orang menginginkan yang lebih baik, termasuk dalam masalah
pendidikan. Kedua, teori pendidikan -dan teori pada umumnya- selalu ketinggalan oleh kebutuhan masyarakat. Sebab pada umumnya, teori pendidikan
dibuat berdasarkan kebutuhan masyarakat pada tempat dan waktu tertentu. Karena
waktu berubah dan tempat selalu berubah, kebutuhan masyarakat juga berubah.
Bahkan perubahan tempat dan waktu itu ikut pula mengubah sifat manusia. Karena
adanya perubahan itu, masyarakat merasa tidak puas dengan teori pendidikan yang
ada. Ketiga, karena pengaruh pandangan
hidup. Pada suatu waktu mungkin seseorang telah puas dengan keadaan pendidikan
di tempatnya karena sudah sesuai dengan pandangan hidupnya.
Suatu ketika
ia terpengaruh oleh pandangan hidup yang lain. Akibatnya, berubah pula
pendapatnya tentang pendidikan yang tadinya sudah memuaskannya.
Sebagai
agama yang paripurna, Islam sangat memperhatikan masalah pendidikan. Para
peneliti sudah membuktikan bahwa al-Qur'an sebagai sumber utama agama Islam
menaruh perhatian yang amat besar terhadap masalah pendidikan dan pengajaran.
Hal ini terbukti bahwa wahyu yang pertama turun adalah perintah untuk membaca
yang mana membaca merupakan salah satu proses utama untuk mendapat ilmu
pengetahuan. Allah SWT berfirman dalam
Al-Qur’an Surat Al-‘Alaq 1-5 :
Artinya:
1. Bacalah
dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang Menciptakan
2. Dia telah
menciptakan manusia dari segumpal darah.
3. Bacalah,
dan Tuhanmulah yang Maha pemurah,
4. yang
mengajar (manusia) dengan perantaran kalam
5. Dia
mengajar kepada manusia apa yang tidak diketahuinya.
Demikian
pula dengan Al-Hadist, sumber kedua ajaran Islam, diakui memberikan perhatian yang amat besar
terhadap masalah pendidikan. Nabi Muhammad SAW, telah mencanangkan program
wajib belajar kepada umatnya. Nabi SAW bersabda:
Artinya:
Dari Anas
bin Malik berkata: Rasulullah SA W bersabda: "mencari ilmu wajib bagi
setiap muslim ". (HR. Ibnu Majah).
Dari uraian
di atas, terlihat bahwa Islam sebagai agama yang ajaran-ajarannya bersumber
pada al-Qur’an dan al-Hadist sejak awal telah menancapkan revolusi di bidang pendidikan dan pengajaran.
Langkah yang ditempuh Al-Qur’an ini ternyata amat strategis dalam upaya mengangkat martabat kehidupan
manusia. Kini diakui dengan jelas bahwa pendidikan merupakan jembatan yang
menyeberangkan orang dari keterbelakangan menuju kemajuan, dan dari kehinaan
menuju kemuliaan, serta dari ketertindasan menjadi merdeka, dan seterusnya.
Arah Pendidikan
Islam adalah menuju terbentuknya peserta didik yang
mempunyai kemampuan kognitif intelektual dan cerdas. Dengan kecerdasannya ia
dapat melakukan sesuatu yang baik menurut Islam untuk kemaslahatan hidup
bersama. Hidup bersama dalam artian mengetahui dan menghargai adanya perbedaan
serta menghargainya sebagai milik seluruh umat manusia dan bukan dasar untuk
memecah belah kehidupan.[3]
Kemampuan lain yang dikembangkan dalam Pendidikan Islam adalah afeksi dan
psikomotor.
Di antara ke
tiga ranah tersebut, yang mendapatkan prioritas utama adalah pengembangan aspek
afeksi. Bahkan misi utama beliau adalah menyempurnakan aspek afeksi (akhlak)
umat manusia. Rasulullah SAW bersabda:
Dari Abu
Hurairah RA Rasulullah SAW
bersabda: "Aku hanya diutus untuk menyempurnakan akhlak-akhlak
mulia".
Pendidikan
Islam berfungsi mengembangkan seluruh potensi peserta didik secara bertahap
(sesuai tuntunan ajaran Islam). Potensi yang dikembangkan meliputi potensi
beragama, intelek, sosial, ekonomi, seni, persamaan, keadilan, pengembangan,
harga diri dan
sebagainya. Tujuan pengembangannya ada yang bersifat individual, yaitu
berkaitan dengan individu-individu yang menyangkut tingkah laku, aktivitas dan
kehidupannya di dunia dan akhirat.
Ada yang
bersifat sosial yang berkaitan dengan kehidupan masyarakat secara keseluruhan,
memperkaya pengalaman dan kemajuan yang diinginkan, dan ada pula yang bersifat
profesional untuk memperoleh ilmu, seni, profesi, dan suatu aktivitas di antara
aktivitas-aktivitas masyarakat.
Ironisnya,
di tengah gencarnya usaha perbaikan di dunia pendidikan (termasuk Pendidikan Islam),
suatu realita yang tidak dapat dipungkiri dalam dunia global ini adalah adanya
kontradiksi-kontradiksi yang mengganggu kebahagiaan manusia dalam hidup.
Kerusakan moral di kalangan remaja, angka krimilalitas yang tinggi,
peyimpangan-penyimpangan yang dilakukan oleh para elit politik dan tokoh-tokoh
agama.
Hal ini
menunjukkan bahwa pendidikan agama (Islam) yang selama ini diusahakan di
berbagai lembaga pendidikan baik formal maupun non-formal belum berhasil dengan
baik. Masyarakat kemudian bertanya, "mengapa pendidikan moral-keagamaan
belum berhasil?", "apa yang salah di
dunia pendidikan kita?".
Pertanyaan ini sangat wajar sebab masyarakat sudah mempercayakan pendidikan
anak-anaknya di lembaga pendidikan yang ada. Tapi ironisnya dari
lembaga-lembaga pendidikan tersebut banyak lahir para koruptor, manipulator dan
manusia-manusia yang berperilaku kotor.[4]
Hal ini
merupakan bukti empiris kegagalan pendidikan agama Islam di oleh
lembaga-lembaga pendidikan baik formal maupun non-formal. Salah satu
penyebabnya adalah strategi dan pengelolaan pembelajaran yang cenderung
tradisional normatif dan dengan metode yang kurang senada dengan keinginan
peserta didik. Pembelajaran
pendidikan Agama Islam pada umumnya lebih menekankan pengetahuan tentang sikap
yang terkesan normatif, kaku, dan kurang menarik. Pengajar sering menempatkan
diri sebagai pendakwah dengan memberi petunjuk, perintah, dan aturan yang
membuat peserta didik jenuh dan bosan. Pengajar juga jarang memberikan
keteladanan dengan sikap dan perilaku.
B.
Aplikasi
Konsep Teori Belajar Konstruktivisme terhadap Pembelajaran PAI
Sebagaimana
telah dikemukakan bahwa menurut teori belajar konstruktivisme, pengetahuan
tidak dapat dipindahkan begitu saja dari pikiran guru ke pikiran siswa.
Artinya, bahwa siswa harus aktif secara mental membangun struktur
pengetahuannya berdasarkan kematangan kognitif yang dimilikinya. Dengan kata
lain, siswa tidak diharapkan sebagai botol-botol kecil yang siap diisi dengan
berbagai ilmu pengetahuan sesuai dengan kehendak guru. Akan tetapi siswa harus
aktif mengembangkan pengetahuan mereka, bukan pendidik atau orang lain. Mereka
yang harus bertanggung jawab terhadap hasil belajarnya. Penekanan belajar siswa
secara aktif ini perlu dikembangkan. Kreativitas dan keaktifan siswa akan
membantu mereka untuk berdiri sendiri dalam kehidupan kognitif siswa.
Dalam hal
ini, hakikat pembelajaran menurut teori Konstruktivisme adalah suatu proses
pembelajaran yang mengkondisikan siswa untuk melakukan proses aktif membangun
konsep baru, pengertian baru, dan pengetahuan baru berdasarkan data. Oleh
karena itu, proses pembelajaran harus dirancang dan dikelola sedemikian rupa
sehingga mampu mendorong siswa mengorganisasi pengalamannya menjadi pengetahuan
yang bermakna. Jadi, dalam konstruktivisme ini sangat penting peran siswa untuk
membangun constructive habits of mind. Agar siswa memiliki kebiasaan berpikir,
maka dibutuhkan kebebasan dan sikap belajar. Teori belajar yang mencerminkan
siswa memiliki kebebasan artinya siswa dapat memanfaatkan teknik belajar apapun
asal tujuan belajar dapat tercapai.[5]
Selain itu,
Nickson mengatakan bahwa pembelajaran dalam pandangan konstruktivime adalah
membantu siswa untuk membangun konsep-konsep dalam belajar dengan kemampuannya
sendiri melalui proses internalisasi sehingga konsep itu terbangun kemabli
melalui transformasi informasi untuk menjadi konsep baru. Konstruk sebagai
salah satu paradigma dalam teori belajar telah banyak mempengaruhi proses
belajar. Peran guru bukan pemberi jawaban akhir atas pertanyaan siswa,
melainkan mengarahkan mereka untuk membentuk pengetahuan.[6]
Sehubungan
dengan hal di atas, Tasker mengemukakan tiga penekanan dalam teori belajar
konstruktivisme sebagai berikut. Pertama adalah peran aktif siswa dalam
mengkonstruksi pengetahuan secara bermakna. Kedua adalah pentingya membuat
kaitan antara gagasan dalam pengkonstruksian secara bermakna. Ketiga adalah
mengaitkan antara gagasan dengan informasi baru yang diterima.
Wheatley
mendukung pendapat di atas dengan mengajukan dua prinsip utama dalam
pembelajaran dengan teori belajar konstrukltivisme. Pertama, pengetahuan tidak
dapat diperoleh secara pasif, tetapi secara aktif oleh struktur kognitif siswa.
Kedua, fungsi kognisi bersifat adaptif dan membantu pengorganisasian melalui
pengalaman nyata yang dimiliki anak.
Kedua
pengertian di atas menekankan bagaimana pentingnya keterlibatan anak secara
aktif dalam proses pengaitan sejumlah gagasan dan pengkonstruksian ilmu
pengetahuan melalui lingkungannya.
Selain
penekanan dan tahap-tahap tertentu yang perlu diperhatikan dalam teori belajar
konstruktivisme, Hanbury mengemukakan sejumlah aspek dalam kaitannya dengan
pembelajaran, yaitu:
1. Siswa mengkonstruksi pengetahuan dengan cara mengintegrasikan
ide yang mereka miliki.
2. Pembelajaran menjadi lebih bermakna karena siswa
mengerti.
3. Strategi siswa lebih bernilai.
4. Siswa mempunyai kesempatan untuk berdiskusi dan saling
bertukar pengalaman dan ilmu pengetahuan dengan temannya.
Bila
aplikasi teori konstruktivisme masuk kedalam pembelajaran PAI, maka para siswa
akan membentuk :
1) Peserta didik akan membangun atau mengkonstruksi
pengetahuan dari hasil yang mereka dapatkan ketika mereka duduk di bangku sebelumnya.
2) Pembelajaran tentang PAI akan menjadi lebih bermakna
karena peserta didik sudah mengerti walaupun masih ada juga yang belum tahu,
namun dalam hal ini teori konstruktivisme yang diaplikasikan kedalam
pembelajaran dapat menumbuhkan respons yang positif karena stimulus yang diberikan
juga pengaruhnya lebih besar
3) Strategi pembelajaran PAI akan lebih
sempurna
4) Peserta didik dapat berinteraksi penuh dengan metode
pembelajaran PAI, karena dalam ajaran PAI tidak cukup hanya teoritis, tapi juga harus di
praktekkan
Dalam upaya mengimplementasikan
teori belajar konstruktivisme, Tytler mengajukan beberapa saran yang berkaitan
dengan rancangan pembelajaran, sebagai berikut:
1.
Memberi
kesempatan kepada siswa untuk mengemukakan gagasannya dengan bahasa sendiri,
bila terapannya atau aplikasinya dapat membentuk bahasa peserta didik sendiri
dalam Islam, contohnya: peserta didik diajarkan pengertian terlebih dahulu
kemudian baru diajarkan sandarannya, tentunya pelaksanaan yang demikian membuat
peserta didik dapat memberikan respons positif terhadap gaya bahasa yang dia
akan ungkapkan
2.
Memberi
kesempatan kepada siswa untuk berfikir tentang pengalamannya sehingga menjadi
lebih kreatif dan imajinatif, contohnya dalam pembelajaran tentang Islam,
peserta didik dapat diberikan kesempatan atau rehat untuk berpikir karena dari
segi pengalaman praktikum mereka juga tahu, namun disini adalah bahwa selama
apa yang peserta didik yakini, dan lakukan adalah benar, tetapi pada
kenyataannya masih banyak juga peserta didik yang belum paham betul tentang
sumber-sumber, pengertian dan sebagainya.
3.
Memberi
kesempatan kepada siswa untuk mencoba gagasan baru, dalam hal ini pendidik atau
guru pada bidang PAI dapat
memberikan kesempatan kepada peserta didik dalam mencoba terhadap gagasan yang
baru.
4.
Memberi
pengalaman yang berhubungan dengan gagasan yang telah dimiliki siswa,
5.
Mendorong
siswa untuk memikirkan perubahan gagasan mereka,
6.
Menciptakan
lingkungan belajar yang kondusif.[7]
Dari
beberapa pandangan di atas, dapat disimpulkan bahwa pembelajaran yang mengacu
kepada teori belajar konstruktivisme lebih menfokuskan pada kesuksesan siswa
dalam mengorganisasikan pengalaman mereka. Bukan kepatuhan siswa dalam refleksi
atas apa yang telah diperintahkan dan dilakukan oleh guru. Dengan kata lain,
siswa lebih diutamakan untuk mengkonstruksi sendiri pengetahuan mereka melalui
asimilasi dan akomodasi. Oleh Brooks & Brooks mengatakan bahwa pengetahuan
adalah non-objective, bersifat temporer, selalu berubah, dan tidak menentu. Belajar
dilihat sebagai penyusunan pengetahuan dari pengalaman konkrit, aktivitas
kolaboratif, dan refleksi serta interpretasi. Mengajar berarti menata
lingkungan agar si siswa termotivasi dalam menggali makna serta menghargai
ketidakmenentuan. Atas dasar ini maka si siswa akan memiliki pemahaman yang berbeda
terhadap pengetahuan tergantung pada
pengalamannya, dan perspektif yang dipakai dalam menginterpretasikannya. Atas
dasar ini, maka peran kunci pendidik dalam interaksi pembelajaran
konstruktivisme adalah pengendalian, yang meliputi:
1.
Menumbuhkan
kemandirian dengan menyediakan kesempatan untuk mengambil keputusan dan
bertindak; menumbuhkan kemandirian dalam melaksanakan praktek ajaran Islam. Karena selain merupakan ajaran, Islam juga termasuk membangun tingkah laku dalam masyarakat luas
2.
Menumbuhkan
kemampuan mengambil keputusan dan bertindak, dengan meningkatkan pengetahuan
dan ketrampilan siswa. Dalam hal ini peningkatan pengetahuan tentang Islam, seperti kewajiban dan anjuaran (sunah)
3.
Menyediakan
sistem dukungan yang memberikan kemudahan belajar agar siswa mempunyai peluang
optimal untuk berlatih.[8]
Ada beberapa
ciri-ciri dalam pembelajaran model konstruktivisme, yaitu:
·
Mencari tahu
dan menghargai titik pandang/pendapat siswa
·
Pembelajaran
dilakukan atas dasar pengetahuan awal siswa
·
Memunculkan
masalah yang relevan dengan siswa .
·
Menyusun
pembelajaran yang menantang dugaan siswa
·
Menilai
hasil pembelajaran dalam konteks pembelajaran sehari-hari
·
Siswa lebih
aktif dalam proses belajar karena fokus belajar mereka pada proses
pengintegrasian pengetahuan baru yang diperoleh dengan pengalaman/pengetahuan
lama yang mereka miliki
·
Setiap
pandangan sangat dihargai dan diperlukan. Siswa didorong untuk menemukan
berbagai kemungkinan dan mensintesiskan secara terintegrasi
·
Proses
belajar harus mendorong adanya kerjasama, tapi bukan untuk bersaing. Proses
belajar melalui kerjasama memungkinkan siswa untuk mengingat pelajaran lebih
lama
·
Kontrol
kecepatan, dan fokus pembelajaran ada pada siswa
·
Pendekatan
konstruktivis memberikan pengalaman belajar yang tidak terlepas dengan apa yang
dialami langsung oleh siswa
Selanjutnya
ada empat komponen dalam pembelajaran konstruktivisme, yaitu:
1. Pengetahuan Awal (Prerequisite)
2. Fakta Dan Masalah
3. Sistematika Berfikir
4. Kemauan Dan Keberanian.
C. Hakikat Pembelajaran Teori Belajar Konstruktivisme
terhadap pembelajaran PAI ( Pendidikan Agama Islam )
Dalam
belajar sesuatu peserta didik telah mempunyai prakonsep berdasarkan pengalaman
yang telah di perolehnya. Untuk itu, guru perlu mencermati prakonsep ini dalam
menanamkan konsep-konsep baru. Apabila prakonsep ini tidak diperhatikan,
kemungkinan akan terjadi miskonsepsi atau konsep yang salah. Apabila peserta didik
mempunyai miskonsepsi yang tidak dikoreksi atau dibiarkan, maka akan
menyulitkan peserta didik untuk belajar sesuatu secara benar.
Dalam
menerapkan teori kontruktivisme dalam belajar dapat digunakan model
pembelajaran yang melibatkan beberapa tahap,[9]
yaitu:
1. Pengenalan
2. Pembelajaran kompetensi
3. Pemulihan
4. Pendalaman
5. Pengayaan
Tahap
pengenalan merupakan pemberian hal-hal yang konkrit dan mudah dengan
contoh-contoh sederhana yang terdapat dalam kehidupan sehari-hari. Pada tahap
ini, guru perlu mencermati melalui penilaian prakonsep atau kompetensi awal
yang dimiliki peserta didik untuk maju ke tahap berikutnya. Tahap pembelajaran
kompetensi merupakan tahap di mana peserta didik mulai beranjak dari mengenali
kompetensi baru ke menguasai kompetensi dasar. Hasil penilaian akan menunjukkan
apakah peserta didik perlu diberi tahapan pemulihan, yaitu tahap di mana
peserta didik memulihkan prakonsep menjadi suatu konsep/kompetensi secara
benar.
Bila peserta
didik telah menguasai kompetensi secara benar, guru dapat menilai sejauh mana
minat, potensi, dan kebutuhan dalam penguasaan kompetensi dasar. Apabila
peserta didik cukup berminat dan kompetensi dasar telah dikuasai secara tuntas,
tahap pemulihan dapat dilewati dan maju ke tahap berikutnya yaitu tahap
pendalaman. Apabila tahap pendalaman telah dilaksanakan, tedapat otomatisasi
berpikir dan bertindak sebagai perwujudan kompetensi. Selanjutnya, dapat
diberikan tahap pengayaan agar peserta didik memperoleh variasi pengalaman
belajar. Berbagai latihan dapat digunakan untuk mendalami atau memperkaya
kompetensi.
Penilaian
yang dilakukan menunjukkan apakah suatu kompetensi telah tuntas dikuasai atau
belum. Dari hasil penilaian dapat diketahui jenis-jenis latihan yang perlu
diberikan kepada peserta didik sebagai pemulihan, pendalaman, dan pengayaan.
Perlu kami
pertegas, bahwa strategi pembelajaran perlu mengikuti kaedah pedagogik, yaitu
pembelajaran diawali dari konkret ke abstrak, dari yang sederhana ke yang
kompleks, dan dari yang mudah ke sulit. Peserta didik perlu belajar secara
aktif dengan berbagai cara untuk mengkontruksi atau membangun pengetahuannya.
Suatu rumus, konsep, atau prinsip dalam mata pelajarn sebaiknya dibangun siswa dalam bimbingan guru. Strategi pembelajaran perlu mengkondisikan
peserta didik untuk menemukan pengetahuan sehingga mereka terbiasa melakukan
penyelidikan dan menemukan sesuatu.
Studi ini
memiliki implikasi teoretis dan praktis tentang pengembangan model belajar
konstruktivisme. Secara teoretik, studi ini berimplikasi bahwa siswa seharusnya
dipandang sebagai individu yang memiliki potensi yang unik untuk berkembang,
bukan sebagai tong kosong yang hanya menunggu untuk diisi oleh orang dewasa
(guru). Secara praktis, studi ini berimplikasi bahwa model belajar
konstruktivisme dibutuhkan untuk mengembangkan kecakapan pribadi-sosial siswa
dalam mengembangkan potensi kreatifnya melalui pembelajaran di sekolah.
Faktor-faktor
yang mempengaruhi proses mengkonstruksi pengetahuan adalah konstruksi
pengetahuan seseorang yang telah ada, domain pengalaman, dan jaringan struktur
kognitif yang dimilikinya. Proses dan hasil konstruksi pengetahuan yang telah
dimiliki seseorang akan menjadi pembatas konstruksi pengetahuan yang akan
datang. Pengalaman akan fenomena yang baru menjadi unsur penting dalam
membentuk dan mengembangkan pengetahuan. Keterbatasan pengalaman seseorang pada
suatu hal juga akan membatasi pengetahuannya akan hal tersebut. Pengetahuan
yang telah dimiliki orang tersebut akan membentuk suatu jaringan struktur
kognitif dalam dirinya.
Maka dalam
wawasan ini, sebenarnya siswalah yang mempunyai peranan penting dalam belajar,
sedangkan guru secara fleksibel menempatkan diri sebagaimana diperlukan oleh
siswa dalam proses memahami dunianya. Pada suatu saat guru memberi contoh, atau
model bagi siswanya, dan pada saat yang lain guru membangunkan rasa ingin tahu
dan keinginan anak untuk mempelajari sesuatu yang baru. Pada saat tertentu guru
membiarkan anak mengeksplorasi dan bereksperimen sendiri dengan lingkungannya,
guru cukup memberi semangat dan arahan saja.
D.
Implikasi
1.
Setiap guru
akan pernah mengalami bahwa suatu materi telah dibahas dengan jelas-jelasnya
namun masih ada sebagian siswa yang belum mengerti ataupun tidak mengerti
materi yang diajarkan sama sekali. Hal ini menunjukkan bahwa seorang guru dapat
mengajar suatu materi kepada siswa dengan baik, namun seluruh atau sebagian siswanya
tidak belajar sama sekali. Usaha keras seorang guru dalam mengajar tidak harus
diikuti dengan hasil yang baik pada siswanya. Karena, hanya dengan usaha yang
keras para siswa sedirilah para siswa akan betul-betul memahami suatu materi
yang diajarkan.
2.
Tugas setiap
guru dalam memfasilitasi siswanya, sehingga pengetahuan materi yang dibangun
atau dikonstruksi para siswa sendirian bukan ditanamkan oleh guru. Para siswa
harus dapat secara aktif mengasimilasikan dan mengakomodasi pengalaman baru
kedalam kerangka kognitifnya.
3.
Untuk
mengajar dengan baik, guru harus memahami model-model mental yang digunakan
para siswa untuk mengenal dunia mereka dan penalaran yang dikembangkan dan yang
dibuat para sisiwa untuk mendukung model-model itu.
4.
Siswa perlu
mengkonstruksi pemahaman yang mereka sendiri untuk masing-masing konsep materi
sehingga guru dalam mengajar bukannya “mencramahi”, menerangkan atau
upaya-upaya sejenis untuk memindahkan pengetahuan pada siswa tetapi menciptakan
situasi bagi siswa yang membantu perkembangan mereka membuat
konstruksi-konstruksi mental yang diperlukan.
5.
Kurikulum
dirancang sedemikian rupa sehingga terjadisituasi yang memungkinkan pengetahuan
dan keterampilan dapat dikonstruksi oleh peserta didik.
6.
Latihan
memecahkan masalah seringkali dilakukan melalui belajar kelompok dengan
menganalisis masalah dalam kehidupan sehari-hari.
7.
Peserta
didik diharapkan selalu aktif dan dapat menemukan cara belajar yang sesuai
dengan dirinya. Guru hanya sebagai fasilitator, mediator, dan teman yang
membuat situasi kondusif untuk terjadinya konstruksi engetahuan pada diri
peserta didik
BAB III
PENUTUP
E. Kesimpulan
1.
Konstruktivisme
didefinisikan sebagai pembelajaran yang bersifat generatif, yaitu tindakan
mencipta sesuatu makna dari apa yang dipelajari.
2. Pendidikan
Islam adalah menuju terbentuknya peserta didik yang
mempunyai kemampuan kognitif intelektual dan cerdas. Dengan kecerdasannya ia
dapat melakukan sesuatu yang baik menurut Islam untuk kemaslahatan hidup
bersama. Hidup bersama dalam artian mengetahui dan menghargai adanya perbedaan
serta menghargainya sebagai milik seluruh umat manusia dan bukan dasar untuk
memecah belah kehidupan.[3] Kemampuan lain yang dikembangkan dalam Pendidikan
Islam adalah afeksi dan psikomotor.
3. Pendidikan Islam berfungsi mengembangkan seluruh
potensi peserta didik secara bertahap (sesuai tuntunan ajaran Islam). Potensi
yang dikembangkan meliputi potensi beragama, intelek, sosial, ekonomi, seni,
persamaan, keadilan, pengembangan, harga diri dan sebagainya. Tujuan pengembangannya ada yang bersifat individual, yaitu
berkaitan dengan individu-individu yang menyangkut tingkah laku, aktivitas dan
kehidupannya di dunia dan akhirat.
DAFTAR PUSTAKA
Brennan, James F. 2006. Sejarah dan
Sistem Psikologi. Jakarta: PT.RajaGrafindo Persada, 2006.
Ella Yulaelawati, Kurikulum dan
Pembelajaran; Filosofi Teori dan Aplikasi, Bandung: Pakar Raya, 2004.
Gino, dkk.1997. Belajar Dan Pembelajaran,Surakarta:UNS
Press
Disadur dari: Sarlito W. Sarwono, 2002, Berkenalan dengan Aliran-Aliran dan Tokoh-tokoh Psikologi, (PT Bulan Bintang: Jakarta)
Disadur dari: Sarlito W. Sarwono, 2002, Berkenalan dengan Aliran-Aliran dan Tokoh-tokoh Psikologi, (PT Bulan Bintang: Jakarta)
Suparno, Filsafat Konstruktivisme
dalam Pendidikan, Yogyakarta: Kanisius, 1997.
Sukardjo & Ukim Komaruddin,
Landasan Pendidikan; Konsep dan Aplikasinya, Jakarta: Raja Grafindo Persada,
2009.
No comments:
Post a Comment
silahkan berkomentar sebagai saran dan kritik, terimakasih