Saturday, January 12, 2013

TEORI BELAJAR KONTRUKTIVISME

MAKALAH PSIKOLOGI PENDIDIKAN ISLAM

TEORI BELAJAR KONTROKTIVISME








Dosen Pembimbing :
Drs. Syu’eb, M.Pd.I

Disusun Oleh :
Mahmud Noor Biyadli
20111550022


Universitas Muhammadiyah Surabaya
2012



A.                Latarbelakang Masalah

Saat ini terdapat beragam inovasi baru di dalam dunia pendidikan terutama pada proses pembelajaran. Salah satu inovasi tersebut adalah konstruktivisme. Pemilihan pendekatan ini lebih dikarenakan agar pembelajaran membuat siswa antusias terhadap persoalan yang ada sehingga mereka mau mencoba memecahkan persoalannya. Pembelajaran di kelas masih dominan menggunakan metode ceramah dan tanya jawab sehingga kurang memberikan kesempatan kepada siswa untuk berintekrasi langsung kepada benda-benda konkret. 

Seorang guru perlu memperhatikan konsep awal siswa sebelum pembelajaran. Jika tidak demikian, maka seorang pendidik tidak akan berhasil menanamkan konsep yang benar, bahkan dapat memunculkan sumber kesulitan belajar selanjutnya. Mengajar bukan hanya untuk meneruskan gagasan-gagasan pendidik pada siswa, melainkan sebagai proses mengubah konsepsi-konsepsi siswa yang sudah ada dan di mana mungkin konsepsi itu salah, dan jika ternyata benar maka pendidik harus membantu siswa dalam mengkonstruk konsepsi tersebut biar lebih matang.

Maka dari permasalahan tersebut, pemakalah tertarik melakukan penelitian konsep untuk mengetahui bagaimana sebenarnya hakikat teori belajar konstruktivisme ini bisa mengembangkan keaktifan siswa dalam mengkonstruk pengetahuannya sendiri, sehingga dengan pengetahuan yang dimilikinya peserta didik bisa lebih memaknai pembelajaran karena dihubungkan dengan konsepsi awal yang dimiliki siswa dan pengalaman yang siswa peroleh dari lingkungan kehidupannya sehari-hari.

B.                 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka rumusan masalah dalam tulisan ini, yaitu:

1.      Apakah Pengertian teori belajar kontruktivisme?
2.      Bagaimana Konsep Teori Belajar Konstruktivisme bisa diaplikasikan kedalam Pembelajaran PAI ?
3.      Bagaimana Hakikat Pembelajaran Teori Belajar Konstruktivisme terhadap pembelajaran PAI ( Pendidikan Agama Islam ) ?

C.                 Tujuan Pembahasan

1.      Untuk mengetahui konsep teori belajar kontruktivisme
2.      Untuk mengetahui Bagaimana Konsep Teori Belajar Konstruktivisme bisa diaplikasikan kedalam Pembelajaran PAI
3.      Untuk mengetahui Bagaimana Hakikat Pembelajaran Teori Belajar Konstruktivisme terhadap pembelajaran PAI ( Pendidikan Agama Islam ).

BAB II
PEMBAHASAN 

A.                Pengertian Teori Belajar Konstruktivisme

Teori konstruktivisme yang diprakarsai oleh Ivan Petrovich Pavlov merupakan sebuah hasil karya nyata bahwa teori belajar beliau yang diterapkan kedalam metodologi pembelajaran mendapatkan respons positif oleh para ahli psikologi di bidang sains. Dan teori belajar konstruktivisme ini bertitik tolak daripada teori pembelajaran Behaviorisme yang didukung oleh B.F Skinner yang mementingkan perubahan tingkah laku pada pelajar. Pembelajaran dianggap berlaku apabila terdapat perubahan tingkah laku kepada pelajar, contohnya dari tidak tahu kepada tahu. Hal ini, kemudiannya beralih kepada teori pembelajaran Kognitivisme yang diperkenalkan oleh Jean Piaget di mana ide utama pandangan ini adalah mental. Semua dalam diri individu diwakili melalui struktur mental dikenal sebagai skema yang akan menentukan bagaimana data dan informasi yang diterima, difahami oleh manusia. Jika ide tersebut sesuai dengan skema, ide ini akan diterima begitu juga sebaliknya dan seterusnya lahirlah teori pembelajaran Konstruktivisme yang merupakan pandangan terbaru di mana pengetahuan akan dibangun sendiri oleh pelajar berdasarkan pengetahuan yang ada pada mereka. Makna pengetahuan, sifat-sifat pengetahuan dan bagaimana seseorang menjadi tahu dan berpengetahuan, menjadi perhatian penting bagi aliran konstruktivisme.[1]
Pada dasarnya perspektif ini mempunyai asumsi bahwa pengetahuan lebih bersifat kontekstual daripada absolut, yang memungkinkan adanya penafsiran jamak (multiple perspektives) bukan hanya satu perspektif saja. Hal ini berarti bahwa “pengetahuan dibentuk menjadi pemahaman individual melalui interaksi dengan lingkungan dan orang lain”. Peranan kontribusi siswa terhadap makna, pemahaman, dan proses belajar melalui kegiatan individual dan sosial menjadi sangat penting. Perspektif konstruktivisme mempunyai pemahaman tentang belajar yang lebih menekankan proses daripada hasil. Hasil belajar sebagai tujuan dinilai penting, tetapi proses yang melibatkan cara dan strategi dalam belajar juga dinilai penting. Dalam proses belajar, hasil belajar, cara belajar dan strategi belajar akan mempengaruhi perkembangan tata pikir dan skema berpikir seseorang. sebagai upaya memperoleh pemahaman atau pengetahuan yang bersifat subyektif.

Jadi, Konstruktivisme didefinisikan sebagai pembelajaran yang bersifat generatif, yaitu tindakan mencipta sesuatu makna dari apa yang dipelajari. Beda dengan aliran behavioristik yang memahami hakikat belajar sebagai kegiatan yang bersifat mekanistik antara stimulus respon, kontruktivisme lebih memahami belajar sebagai kegiatan manusia membangun atau menciptakan pengetahuan dengan memberi makna pada pengetahuannya sesuai dengan pengalamanya. Konstruktivisme sebenarnya bukan merupakan gagasan yang baru, apa yang dilalui dalam kehidupan kita selama ini merupakan himpunan dan pembinaan pengalaman demi pengalaman. Ini menyebabkan seseorang mempunyai pengetahuan dan menjadi lebih dinamis.

Von Glasersfeld mengatakan bahwa konstruktivisme adalah salah satu filsafat pengetahuan yang menekankan bahwa pengetahuan kita adalah konstruksi (bentukan) kita sendiri. Pengetahuan itu dibentuk oleh struktur konsepsi seseorang sewaktu berinteraksi dengan lingkungannya.[2]
Menurut para penganut konstruktif, pengetahuan dibina secara aktif oleh seseorang yang berfikir. Seseorang tidak akan menyerap pengetahuan dengan pasif. Untuk membangun suatu pengetahuan baru, peserta didik akan menyesuaikan informasi baru atau pengalaman yang disampaikan guru dengan pengetahuan atau pengalaman yang telah dimilikinya melalui berintekrasi sosial dengan peserta didik lain atau dengan gurunya.[3] Konsep teori belajar konstruktivisme mempunyai interpretasi perwujudan yang beragam. Belajar merupakan proses aktif untuk megkonstruksi pengetahuan dan bukan proses menerima pengetahuan. Proses pembelajaran yang terjadi lebih dimaksudkan untuk membantu atau mendukung proses belajar, bukan sekedar untuk menyampaikan pengetahuan.

Dalam wawasan ini, sebenarnya siswalah yang mempunyai peranan penting dalam belajar, sedangkan guru secara fleksibel menempatkan diri sebagaimana diperlukan oleh siswa dalam proses memahami dunianya. Pada suatu saat guru memberi contoh, atau model bagi siswanya, dan pada saat yang lain guru membangunkan rasa ingin tahu dan keinginan anak untuk mempelajari sesuatu yang baru. Pada saat tertentu guru membiarkan anak mengeksplorasi dan bereksperimen sendiri dengan lingkungannya, guru cukup memberi semangat dan arahan saja.

Sebagai orang yang beragama, Islam memiliki ajaran yang diakui -minimal oleh pemeluknya- lebih sempurna dan kompherhensif dibandingkan dengan agama-agama lainnya yang pernah diturunkan Tuhan sebelumnya. Sebagai agama yang paling sempurna, ia dipersiapkan untuk menjadi pedoman hidup sepanjang zaman atau hingga hari akhir. Islam tidak hanya mengatur cara mendapatkan kebahagiaan hidup di akhirat, ibadah dan penyerahan diri kepada Allah saja, melainkan juga mengatur cara mendapatkan kebahagiaan hidup di dunia. Untuk mewariskan nilai-nilai keagamaan ini, di antaranya adalah melalui proses pendidikan.

Pendidikan (termasuk pendidikan agama Islam) merupakan topik yang selalu aktual untuk dibicarakan dan diperdebatkan dari zaman ke zaman. Namun demikian perbincangan dan perdebatan tentang pendidikan tidak pernah selesai, dan tidak akan pernah selesai dibicarakan. Minimal ada tiga alasan yang dapat dikemukakan untuk menjawab pertanyaan mengapa hal ini terjadi.
Pertama, fitrah setiap orang menginginkan yang lebih baik, termasuk dalam masalah pendidikan. Kedua, teori pendidikan -dan teori pada umumnya- selalu ketinggalan oleh kebutuhan masyarakat. Sebab pada umumnya, teori pendidikan dibuat berdasarkan kebutuhan masyarakat pada tempat dan waktu tertentu. Karena waktu berubah dan tempat selalu berubah, kebutuhan masyarakat juga berubah. Bahkan perubahan tempat dan waktu itu ikut pula mengubah sifat manusia. Karena adanya perubahan itu, masyarakat merasa tidak puas dengan teori pendidikan yang ada. Ketiga, karena pengaruh pandangan hidup. Pada suatu waktu mungkin seseorang telah puas dengan keadaan pendidikan di tempatnya karena sudah sesuai dengan pandangan hidupnya.
Suatu ketika ia terpengaruh oleh pandangan hidup yang lain. Akibatnya, berubah pula pendapatnya tentang pendidikan yang tadinya sudah memuaskannya.
Sebagai agama yang paripurna, Islam sangat memperhatikan masalah pendidikan. Para peneliti sudah membuktikan bahwa al-Qur'an sebagai sumber utama agama Islam menaruh perhatian yang amat besar terhadap masalah pendidikan dan pengajaran. Hal ini terbukti bahwa wahyu yang pertama turun adalah perintah untuk membaca yang mana membaca merupakan salah satu proses utama untuk mendapat ilmu pengetahuan. Allah SWT berfirman dalam Al-Qur’an Surat Al-‘Alaq 1-5 :

Artinya:
1. Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang Menciptakan
2. Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah.
3. Bacalah, dan Tuhanmulah yang Maha pemurah,
4. yang mengajar (manusia) dengan perantaran kalam
5. Dia mengajar kepada manusia apa yang tidak diketahuinya.

Demikian pula dengan Al-Hadist, sumber kedua ajaran Islam, diakui memberikan perhatian yang amat besar terhadap masalah pendidikan. Nabi Muhammad SAW, telah mencanangkan program wajib belajar kepada umatnya. Nabi SAW bersabda:

Artinya:
Dari Anas bin Malik berkata: Rasulullah SA W bersabda: "mencari ilmu wajib bagi setiap muslim ". (HR. Ibnu Majah).

Dari uraian di atas, terlihat bahwa Islam sebagai agama yang ajaran-ajarannya bersumber pada al-Qur’an dan al-Hadist sejak awal telah menancapkan revolusi di bidang pendidikan dan pengajaran. Langkah yang ditempuh Al-Quran ini ternyata amat strategis dalam upaya mengangkat martabat kehidupan manusia. Kini diakui dengan jelas bahwa pendidikan merupakan jembatan yang menyeberangkan orang dari keterbelakangan menuju kemajuan, dan dari kehinaan menuju kemuliaan, serta dari ketertindasan menjadi merdeka, dan seterusnya.
Arah Pendidikan Islam adalah menuju terbentuknya peserta didik yang mempunyai kemampuan kognitif intelektual dan cerdas. Dengan kecerdasannya ia dapat melakukan sesuatu yang baik menurut Islam untuk kemaslahatan hidup bersama. Hidup bersama dalam artian mengetahui dan menghargai adanya perbedaan serta menghargainya sebagai milik seluruh umat manusia dan bukan dasar untuk memecah belah kehidupan.[3] Kemampuan lain yang dikembangkan dalam Pendidikan Islam adalah afeksi dan psikomotor.

Di antara ke tiga ranah tersebut, yang mendapatkan prioritas utama adalah pengembangan aspek afeksi. Bahkan misi utama beliau adalah menyempurnakan aspek afeksi (akhlak) umat manusia. Rasulullah SAW bersabda:

Dari Abu Hurairah RA Rasulullah SAW bersabda: "Aku hanya diutus untuk menyempurnakan akhlak-akhlak mulia".
Pendidikan Islam berfungsi mengembangkan seluruh potensi peserta didik secara bertahap (sesuai tuntunan ajaran Islam). Potensi yang dikembangkan meliputi potensi beragama, intelek, sosial, ekonomi, seni, persamaan, keadilan, pengembangan, harga diri dan sebagainya. Tujuan pengembangannya ada yang bersifat individual, yaitu berkaitan dengan individu-individu yang menyangkut tingkah laku, aktivitas dan kehidupannya di dunia dan akhirat.

Ada yang bersifat sosial yang berkaitan dengan kehidupan masyarakat secara keseluruhan, memperkaya pengalaman dan kemajuan yang diinginkan, dan ada pula yang bersifat profesional untuk memperoleh ilmu, seni, profesi, dan suatu aktivitas di antara aktivitas-aktivitas masyarakat.

Ironisnya, di tengah gencarnya usaha perbaikan di dunia pendidikan (termasuk Pendidikan Islam), suatu realita yang tidak dapat dipungkiri dalam dunia global ini adalah adanya kontradiksi-kontradiksi yang mengganggu kebahagiaan manusia dalam hidup. Kerusakan moral di kalangan remaja, angka krimilalitas yang tinggi, peyimpangan-penyimpangan yang dilakukan oleh para elit politik dan tokoh-tokoh agama.

Hal ini menunjukkan bahwa pendidikan agama (Islam) yang selama ini diusahakan di berbagai lembaga pendidikan baik formal maupun non-formal belum berhasil dengan baik. Masyarakat kemudian bertanya, "mengapa pendidikan moral-keagamaan belum berhasil?", "apa yang salah di dunia pendidikan kita?". Pertanyaan ini sangat wajar sebab masyarakat sudah mempercayakan pendidikan anak-anaknya di lembaga pendidikan yang ada. Tapi ironisnya dari lembaga-lembaga pendidikan tersebut banyak lahir para koruptor, manipulator dan manusia-manusia yang berperilaku kotor.[4]

Hal ini merupakan bukti empiris kegagalan pendidikan agama Islam di oleh lembaga-lembaga pendidikan baik formal maupun non-formal. Salah satu penyebabnya adalah strategi dan pengelolaan pembelajaran yang cenderung tradisional normatif dan dengan metode yang kurang senada dengan keinginan peserta didik. Pembelajaran pendidikan Agama Islam pada umumnya lebih menekankan pengetahuan tentang sikap yang terkesan normatif, kaku, dan kurang menarik. Pengajar sering menempatkan diri sebagai pendakwah dengan memberi petunjuk, perintah, dan aturan yang membuat peserta didik jenuh dan bosan. Pengajar juga jarang memberikan keteladanan dengan sikap dan perilaku.

B.                 Aplikasi Konsep Teori Belajar Konstruktivisme terhadap Pembelajaran PAI

Sebagaimana telah dikemukakan bahwa menurut teori belajar konstruktivisme, pengetahuan tidak dapat dipindahkan begitu saja dari pikiran guru ke pikiran siswa. Artinya, bahwa siswa harus aktif secara mental membangun struktur pengetahuannya berdasarkan kematangan kognitif yang dimilikinya. Dengan kata lain, siswa tidak diharapkan sebagai botol-botol kecil yang siap diisi dengan berbagai ilmu pengetahuan sesuai dengan kehendak guru. Akan tetapi siswa harus aktif mengembangkan pengetahuan mereka, bukan pendidik atau orang lain. Mereka yang harus bertanggung jawab terhadap hasil belajarnya. Penekanan belajar siswa secara aktif ini perlu dikembangkan. Kreativitas dan keaktifan siswa akan membantu mereka untuk berdiri sendiri dalam kehidupan kognitif siswa.
Dalam hal ini, hakikat pembelajaran menurut teori Konstruktivisme adalah suatu proses pembelajaran yang mengkondisikan siswa untuk melakukan proses aktif membangun konsep baru, pengertian baru, dan pengetahuan baru berdasarkan data. Oleh karena itu, proses pembelajaran harus dirancang dan dikelola sedemikian rupa sehingga mampu mendorong siswa mengorganisasi pengalamannya menjadi pengetahuan yang bermakna. Jadi, dalam konstruktivisme ini sangat penting peran siswa untuk membangun constructive habits of mind. Agar siswa memiliki kebiasaan berpikir, maka dibutuhkan kebebasan dan sikap belajar. Teori belajar yang mencerminkan siswa memiliki kebebasan artinya siswa dapat memanfaatkan teknik belajar apapun asal tujuan belajar dapat tercapai.[5]

Selain itu, Nickson mengatakan bahwa pembelajaran dalam pandangan konstruktivime adalah membantu siswa untuk membangun konsep-konsep dalam belajar dengan kemampuannya sendiri melalui proses internalisasi sehingga konsep itu terbangun kemabli melalui transformasi informasi untuk menjadi konsep baru. Konstruk sebagai salah satu paradigma dalam teori belajar telah banyak mempengaruhi proses belajar. Peran guru bukan pemberi jawaban akhir atas pertanyaan siswa, melainkan mengarahkan mereka untuk membentuk pengetahuan.[6]

Sehubungan dengan hal di atas, Tasker mengemukakan tiga penekanan dalam teori belajar konstruktivisme sebagai berikut. Pertama adalah peran aktif siswa dalam mengkonstruksi pengetahuan secara bermakna. Kedua adalah pentingya membuat kaitan antara gagasan dalam pengkonstruksian secara bermakna. Ketiga adalah mengaitkan antara gagasan dengan informasi baru yang diterima.

Wheatley mendukung pendapat di atas dengan mengajukan dua prinsip utama dalam pembelajaran dengan teori belajar konstrukltivisme. Pertama, pengetahuan tidak dapat diperoleh secara pasif, tetapi secara aktif oleh struktur kognitif siswa. Kedua, fungsi kognisi bersifat adaptif dan membantu pengorganisasian melalui pengalaman nyata yang dimiliki anak.

Kedua pengertian di atas menekankan bagaimana pentingnya keterlibatan anak secara aktif dalam proses pengaitan sejumlah gagasan dan pengkonstruksian ilmu pengetahuan melalui lingkungannya.

Selain penekanan dan tahap-tahap tertentu yang perlu diperhatikan dalam teori belajar konstruktivisme, Hanbury mengemukakan sejumlah aspek dalam kaitannya dengan pembelajaran, yaitu:

1.      Siswa mengkonstruksi pengetahuan dengan cara mengintegrasikan ide yang mereka miliki.
2.      Pembelajaran menjadi lebih bermakna karena siswa mengerti.
3.      Strategi siswa lebih bernilai.
4.      Siswa mempunyai kesempatan untuk berdiskusi dan saling bertukar pengalaman dan ilmu pengetahuan dengan temannya.

Bila aplikasi teori konstruktivisme masuk kedalam pembelajaran PAI, maka para siswa akan membentuk :

1)      Peserta didik akan membangun atau mengkonstruksi pengetahuan dari hasil yang mereka dapatkan ketika mereka duduk di bangku sebelumnya.
2)      Pembelajaran tentang PAI akan menjadi lebih bermakna karena peserta didik sudah mengerti walaupun masih ada juga yang belum tahu, namun dalam hal ini teori konstruktivisme yang diaplikasikan kedalam pembelajaran dapat menumbuhkan respons yang positif karena stimulus yang diberikan juga pengaruhnya lebih besar
3)      Strategi pembelajaran PAI akan lebih sempurna
4)      Peserta didik dapat berinteraksi penuh dengan metode pembelajaran PAI, karena dalam ajaran PAI tidak cukup hanya teoritis, tapi juga harus di praktekkan

Dalam upaya mengimplementasikan teori belajar konstruktivisme, Tytler mengajukan beberapa saran yang berkaitan dengan rancangan pembelajaran, sebagai berikut:

1.      Memberi kesempatan kepada siswa untuk mengemukakan gagasannya dengan bahasa sendiri, bila terapannya atau aplikasinya dapat membentuk bahasa peserta didik sendiri dalam Islam, contohnya: peserta didik diajarkan pengertian terlebih dahulu kemudian baru diajarkan sandarannya, tentunya pelaksanaan yang demikian membuat peserta didik dapat memberikan respons positif terhadap gaya bahasa yang dia akan ungkapkan
2.      Memberi kesempatan kepada siswa untuk berfikir tentang pengalamannya sehingga menjadi lebih kreatif dan imajinatif, contohnya dalam pembelajaran tentang Islam, peserta didik dapat diberikan kesempatan atau rehat untuk berpikir karena dari segi pengalaman praktikum mereka juga tahu, namun disini adalah bahwa selama apa yang peserta didik yakini, dan lakukan adalah benar, tetapi pada kenyataannya masih banyak juga peserta didik yang belum paham betul tentang sumber-sumber, pengertian dan sebagainya.
3.      Memberi kesempatan kepada siswa untuk mencoba gagasan baru, dalam hal ini pendidik atau guru pada bidang PAI dapat memberikan kesempatan kepada peserta didik dalam mencoba terhadap gagasan yang baru.
4.      Memberi pengalaman yang berhubungan dengan gagasan yang telah dimiliki siswa,
5.      Mendorong siswa untuk memikirkan perubahan gagasan mereka,
6.      Menciptakan lingkungan belajar yang kondusif.[7]

Dari beberapa pandangan di atas, dapat disimpulkan bahwa pembelajaran yang mengacu kepada teori belajar konstruktivisme lebih menfokuskan pada kesuksesan siswa dalam mengorganisasikan pengalaman mereka. Bukan kepatuhan siswa dalam refleksi atas apa yang telah diperintahkan dan dilakukan oleh guru. Dengan kata lain, siswa lebih diutamakan untuk mengkonstruksi sendiri pengetahuan mereka melalui asimilasi dan akomodasi. Oleh Brooks & Brooks mengatakan bahwa pengetahuan adalah non-objective, bersifat temporer, selalu berubah, dan tidak menentu. Belajar dilihat sebagai penyusunan pengetahuan dari pengalaman konkrit, aktivitas kolaboratif, dan refleksi serta interpretasi. Mengajar berarti menata lingkungan agar si siswa termotivasi dalam menggali makna serta menghargai ketidakmenentuan. Atas dasar ini maka si siswa akan memiliki pemahaman yang berbeda terhadap pengetahuan tergantung pada pengalamannya, dan perspektif yang dipakai dalam menginterpretasikannya. Atas dasar ini, maka peran kunci pendidik dalam interaksi pembelajaran konstruktivisme adalah pengendalian, yang meliputi:

1.      Menumbuhkan kemandirian dengan menyediakan kesempatan untuk mengambil keputusan dan bertindak; menumbuhkan kemandirian dalam melaksanakan praktek ajaran Islam. Karena selain merupakan ajaran, Islam juga termasuk membangun tingkah laku dalam masyarakat luas
2.      Menumbuhkan kemampuan mengambil keputusan dan bertindak, dengan meningkatkan pengetahuan dan ketrampilan siswa. Dalam hal ini peningkatan pengetahuan tentang Islam, seperti kewajiban dan anjuaran (sunah)
3.      Menyediakan sistem dukungan yang memberikan kemudahan belajar agar siswa mempunyai peluang optimal untuk berlatih.[8]

Ada beberapa ciri-ciri dalam pembelajaran model konstruktivisme, yaitu:

·         Mencari tahu dan menghargai titik pandang/pendapat siswa
·         Pembelajaran dilakukan atas dasar pengetahuan awal siswa
·         Memunculkan masalah yang relevan dengan siswa .
·         Menyusun pembelajaran yang menantang dugaan siswa
·         Menilai hasil pembelajaran dalam konteks pembelajaran sehari-hari
·         Siswa lebih aktif dalam proses belajar karena fokus belajar mereka pada proses pengintegrasian pengetahuan baru yang diperoleh dengan pengalaman/pengetahuan lama yang mereka miliki
·         Setiap pandangan sangat dihargai dan diperlukan. Siswa didorong untuk menemukan berbagai kemungkinan dan mensintesiskan secara terintegrasi
·         Proses belajar harus mendorong adanya kerjasama, tapi bukan untuk bersaing. Proses belajar melalui kerjasama memungkinkan siswa untuk mengingat pelajaran lebih lama
·         Kontrol kecepatan, dan fokus pembelajaran ada pada siswa
·         Pendekatan konstruktivis memberikan pengalaman belajar yang tidak terlepas dengan apa yang dialami langsung oleh siswa

Selanjutnya ada empat komponen dalam pembelajaran konstruktivisme, yaitu:
1.      Pengetahuan Awal (Prerequisite)
2.      Fakta Dan Masalah
3.      Sistematika Berfikir
4.      Kemauan Dan Keberanian.

C. Hakikat Pembelajaran Teori Belajar Konstruktivisme terhadap pembelajaran PAI ( Pendidikan Agama Islam )

Dalam belajar sesuatu peserta didik telah mempunyai prakonsep berdasarkan pengalaman yang telah di perolehnya. Untuk itu, guru perlu mencermati prakonsep ini dalam menanamkan konsep-konsep baru. Apabila prakonsep ini tidak diperhatikan, kemungkinan akan terjadi miskonsepsi atau konsep yang salah. Apabila peserta didik mempunyai miskonsepsi yang tidak dikoreksi atau dibiarkan, maka akan menyulitkan peserta didik untuk belajar sesuatu secara benar.
Dalam menerapkan teori kontruktivisme dalam belajar dapat digunakan model pembelajaran yang melibatkan beberapa tahap,[9] yaitu:
1.      Pengenalan
2.      Pembelajaran kompetensi
3.      Pemulihan
4.      Pendalaman
5.      Pengayaan

Tahap pengenalan merupakan pemberian hal-hal yang konkrit dan mudah dengan contoh-contoh sederhana yang terdapat dalam kehidupan sehari-hari. Pada tahap ini, guru perlu mencermati melalui penilaian prakonsep atau kompetensi awal yang dimiliki peserta didik untuk maju ke tahap berikutnya. Tahap pembelajaran kompetensi merupakan tahap di mana peserta didik mulai beranjak dari mengenali kompetensi baru ke menguasai kompetensi dasar. Hasil penilaian akan menunjukkan apakah peserta didik perlu diberi tahapan pemulihan, yaitu tahap di mana peserta didik memulihkan prakonsep menjadi suatu konsep/kompetensi secara benar.

Bila peserta didik telah menguasai kompetensi secara benar, guru dapat menilai sejauh mana minat, potensi, dan kebutuhan dalam penguasaan kompetensi dasar. Apabila peserta didik cukup berminat dan kompetensi dasar telah dikuasai secara tuntas, tahap pemulihan dapat dilewati dan maju ke tahap berikutnya yaitu tahap pendalaman. Apabila tahap pendalaman telah dilaksanakan, tedapat otomatisasi berpikir dan bertindak sebagai perwujudan kompetensi. Selanjutnya, dapat diberikan tahap pengayaan agar peserta didik memperoleh variasi pengalaman belajar. Berbagai latihan dapat digunakan untuk mendalami atau memperkaya kompetensi. 

Penilaian yang dilakukan menunjukkan apakah suatu kompetensi telah tuntas dikuasai atau belum. Dari hasil penilaian dapat diketahui jenis-jenis latihan yang perlu diberikan kepada peserta didik sebagai pemulihan, pendalaman, dan pengayaan.

Perlu kami pertegas, bahwa strategi pembelajaran perlu mengikuti kaedah pedagogik, yaitu pembelajaran diawali dari konkret ke abstrak, dari yang sederhana ke yang kompleks, dan dari yang mudah ke sulit. Peserta didik perlu belajar secara aktif dengan berbagai cara untuk mengkontruksi atau membangun pengetahuannya. Suatu rumus, konsep, atau prinsip dalam mata pelajarn sebaiknya dibangun siswa dalam bimbingan guru. Strategi pembelajaran perlu mengkondisikan peserta didik untuk menemukan pengetahuan sehingga mereka terbiasa melakukan penyelidikan dan menemukan sesuatu.

Studi ini memiliki implikasi teoretis dan praktis tentang pengembangan model belajar konstruktivisme. Secara teoretik, studi ini berimplikasi bahwa siswa seharusnya dipandang sebagai individu yang memiliki potensi yang unik untuk berkembang, bukan sebagai tong kosong yang hanya menunggu untuk diisi oleh orang dewasa (guru). Secara praktis, studi ini berimplikasi bahwa model belajar konstruktivisme dibutuhkan untuk mengembangkan kecakapan pribadi-sosial siswa dalam mengembangkan potensi kreatifnya melalui pembelajaran di sekolah.

Faktor-faktor yang mempengaruhi proses mengkonstruksi pengetahuan adalah konstruksi pengetahuan seseorang yang telah ada, domain pengalaman, dan jaringan struktur kognitif yang dimilikinya. Proses dan hasil konstruksi pengetahuan yang telah dimiliki seseorang akan menjadi pembatas konstruksi pengetahuan yang akan datang. Pengalaman akan fenomena yang baru menjadi unsur penting dalam membentuk dan mengembangkan pengetahuan. Keterbatasan pengalaman seseorang pada suatu hal juga akan membatasi pengetahuannya akan hal tersebut. Pengetahuan yang telah dimiliki orang tersebut akan membentuk suatu jaringan struktur kognitif dalam dirinya.

Maka dalam wawasan ini, sebenarnya siswalah yang mempunyai peranan penting dalam belajar, sedangkan guru secara fleksibel menempatkan diri sebagaimana diperlukan oleh siswa dalam proses memahami dunianya. Pada suatu saat guru memberi contoh, atau model bagi siswanya, dan pada saat yang lain guru membangunkan rasa ingin tahu dan keinginan anak untuk mempelajari sesuatu yang baru. Pada saat tertentu guru membiarkan anak mengeksplorasi dan bereksperimen sendiri dengan lingkungannya, guru cukup memberi semangat dan arahan saja.

D.    Implikasi

1.      Setiap guru akan pernah mengalami bahwa suatu materi telah dibahas dengan jelas-jelasnya namun masih ada sebagian siswa yang belum mengerti ataupun tidak mengerti materi yang diajarkan sama sekali. Hal ini menunjukkan bahwa seorang guru dapat mengajar suatu materi kepada siswa dengan baik, namun seluruh atau sebagian siswanya tidak belajar sama sekali. Usaha keras seorang guru dalam mengajar tidak harus diikuti dengan hasil yang baik pada siswanya. Karena, hanya dengan usaha yang keras para siswa sedirilah para siswa akan betul-betul memahami suatu materi yang diajarkan.
2.      Tugas setiap guru dalam memfasilitasi siswanya, sehingga pengetahuan materi yang dibangun atau dikonstruksi para siswa sendirian bukan ditanamkan oleh guru. Para siswa harus dapat secara aktif mengasimilasikan dan mengakomodasi pengalaman baru kedalam kerangka kognitifnya.
3.      Untuk mengajar dengan baik, guru harus memahami model-model mental yang digunakan para siswa untuk mengenal dunia mereka dan penalaran yang dikembangkan dan yang dibuat para sisiwa untuk mendukung model-model itu.
4.      Siswa perlu mengkonstruksi pemahaman yang mereka sendiri untuk masing-masing konsep materi sehingga guru dalam mengajar bukannya “mencramahi”, menerangkan atau upaya-upaya sejenis untuk memindahkan pengetahuan pada siswa tetapi menciptakan situasi bagi siswa yang membantu perkembangan mereka membuat konstruksi-konstruksi mental yang diperlukan.
5.      Kurikulum dirancang sedemikian rupa sehingga terjadisituasi yang memungkinkan pengetahuan dan keterampilan dapat dikonstruksi oleh peserta didik.
6.      Latihan memecahkan masalah seringkali dilakukan melalui belajar kelompok dengan menganalisis masalah dalam kehidupan sehari-hari.
7.      Peserta didik diharapkan selalu aktif dan dapat menemukan cara belajar yang sesuai dengan dirinya. Guru hanya sebagai fasilitator, mediator, dan teman yang membuat situasi kondusif untuk terjadinya konstruksi engetahuan pada diri peserta didik

BAB III
PENUTUP

E.     Kesimpulan

1.      Konstruktivisme didefinisikan sebagai pembelajaran yang bersifat generatif, yaitu tindakan mencipta sesuatu makna dari apa yang dipelajari.
2.      Pendidikan Islam adalah menuju terbentuknya peserta didik yang mempunyai kemampuan kognitif intelektual dan cerdas. Dengan kecerdasannya ia dapat melakukan sesuatu yang baik menurut Islam untuk kemaslahatan hidup bersama. Hidup bersama dalam artian mengetahui dan menghargai adanya perbedaan serta menghargainya sebagai milik seluruh umat manusia dan bukan dasar untuk memecah belah kehidupan.[3] Kemampuan lain yang dikembangkan dalam Pendidikan Islam adalah afeksi dan psikomotor.
3.      Pendidikan Islam berfungsi mengembangkan seluruh potensi peserta didik secara bertahap (sesuai tuntunan ajaran Islam). Potensi yang dikembangkan meliputi potensi beragama, intelek, sosial, ekonomi, seni, persamaan, keadilan, pengembangan, harga diri dan sebagainya. Tujuan pengembangannya ada yang bersifat individual, yaitu berkaitan dengan individu-individu yang menyangkut tingkah laku, aktivitas dan kehidupannya di dunia dan akhirat.












DAFTAR PUSTAKA

Brennan, James F. 2006. Sejarah dan Sistem Psikologi. Jakarta: PT.RajaGrafindo Persada, 2006.
Ella Yulaelawati, Kurikulum dan Pembelajaran; Filosofi Teori dan Aplikasi, Bandung: Pakar Raya, 2004.
Gino, dkk.1997. Belajar Dan Pembelajaran,Surakarta:UNS Press
Disadur dari: Sarlito W. Sarwono, 2002, Berkenalan dengan Aliran-Aliran dan Tokoh-tokoh Psikologi, (PT Bulan Bintang: Jakarta)
Suparno, Filsafat Konstruktivisme dalam Pendidikan, Yogyakarta: Kanisius, 1997.
Sukardjo & Ukim Komaruddin, Landasan Pendidikan; Konsep dan Aplikasinya, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2009.


[1] Brennan, Sejarah dan Sistem Psikologi, ( Jakarta: PT.RajaGrafindo Persada, 2006), 89.
[2] Suparno, Filsafat Konstruktivisme dalam Pendidikan, (Yogyakarta: Kanisius, 1997), 23.
[3] Ella, Kurikulum dan Pembelajaran; Filosofi Teori dan Aplikasi, (Bandung: Pakar Raya, 2004), 53.
[4] Ibid, 56.
[5] Sukardjo, Landasan Pendidikan; Konsep dan Aplikasinya, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2009), 55-56.
[6] Suparno, Filsafat Konstruktivisme dalam Pendidikan, (Yogyakarta: Kanisius, 1997), 23.
[7] Ibid, 90-91.
[8] Gino, dkk, Belajar Dan Pembelajaran,(Surakarta: UNS Press, 1997), 59.
[9] Ella, Kurikulum dan Pembelajaran; Filosofi Teori dan Aplikasi, (Bandung: Pakar Raya, 2004), 109-110.

No comments:

Post a Comment

silahkan berkomentar sebagai saran dan kritik, terimakasih