SYI’AH; AWAL MUNCULNYA HINGGA PEMBUNUHAN AL-HUSAIN
BIN ALI BIN ABU THALIB RADHIYALLAHU ‘ANHUMA
Oleh: Rosyid Ibnu Ahmad
Muqaddimah
Segala puji milik Allah Ta’ala, Shalawat
serta Salam atas Rasulullah Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam, wa ba’du:
Aqidah
Shahihah ‘Alaa Nahji Salaful Ummah merupakan ilmu yang paling penting yang
wajib dipelajari setiap muslim. Perbedaan dan perpecahan ummat Islam berawal
karena munculnya aqidah atau keyakinan yang melenceng dari aqidah Rasulullah
dan Shahabat.
Perbedaan pada masa Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wasallam langsung selesai katika sampai kepada beliau. Begitu juga
perbedaan dan perpecahan pada masa sepeninggal beliau Shallallahu ‘alaihi
wasallam juga langsung bisa diselesaikan, berkat kapasitas ilmu dan iman para
Shahabat Radhiyallahu ‘anhum yang tinggi, sebagai contoh, perbedaan yang
terjadi ketika Rasulullah meninggal, sehingga Umar bin Khatthab datang dan
berteriak: “siapa yang bilang bahwa Muhammad telah mati, maka akan kutebas
lehernya”, hal ini terjadi karena shock yang dialami para Shahabat saat
mendengar kabar meninggalnya Rasulullah, yang hal ini langsung selesai ketika
Abu Bakar As-Shiddiq berkata: “barang siapa yang menyembah Muhammad maka beliau
telah meninggal, dan barang siapa yang menyembah Allah, maka Dia terus hidup
dan tidak mati”.
Begitu
juga ketika muncul perbedaan dimanakah Rasulullah harus dimakamkan, dan
perbedaan selesai dengan mengambil keputusan Abu Bakar As-Shiddiq untuk
memakamkan Rasulullah di tempat tinggal beliau. Contoh yang lain ketika muncul
perbedaan mada masa Abu Bakar As-Shiddiq, antara memerangi orang-orang yang
tidak mau membayar zakat atau membiarkan, yang akhirnya ijtihad Abu Bakar yang
dipakai sehingga ummat islam saat itu bersatu memerangi orang-orang yang tidak
mau membayar zakat. Dan sebagainya masih banyak lagi.
Perbedaan
dan perpecahan ummat islam yang sangat signifikan dan berbahaya terjadi masa
khalifah Utsman bin Affan, Abdullah bin Saba’ seorang yahudi sebagai sumber
perpecahan ummat ini, yang dia mempengaruhi orang-orang untuk mengutamakan Ali
bin abu Thalib dari pada Utsma bin Affan, bahkan dari pada Shahabat yang lain
yang kemudian muncullah Syi’ah yang dipelopori oleh Ibnu Saba’.
Munculnya
Syi’ah merupakan kelompok yang paling berbahaya terhadap ummat Islam dan yang
paling dusta terhadap pemimpin mereka. Dan itu dikarenakan mereka menggunakan
istilah Taqiyah yang bersinonim dengan dusta, juga memperlihatkan bahwa mereka
sangat membela Aalu al-Bait, tapi sebenarnya merekalah yang membunuh Ali bin
Abu Thalib dan putranya Al-Husain bin Ali bin Abu Thalib, juga mereka membunuh
Shahabat yang lain seperti Umar bin Khatthab, dan sebagainya. Dan juga mereka
sangat membenci Ahlus Sunnah yang bisa kita lihat bagaimana perlakuan mereka
terhadap Ahlus Sunnah.
Di
bawah ini penulis ingin memaparkan singkat sejarah munculnya Syi’ah, dan Syi’ah
pada masa awal munculnya sampai pembunuhan Al-Husain bin Ali Radhiyallahu
‘anhuma. Semoga bermanfaat dan menyadarkan kita semua akan hakekat dan
bahayanya syi’ah. Wallaahu a’laa wa a’lam bishshawab.
Cairo, 19 Juni 2013
Tujuan dan Pentingnya Mempelajari Firaq
Akhir sebuah ummat tidak akan baik jika
awalnya sudah tidak baik, dengan ini penulis ingin menyebutkan beberapa tujuan
mempelajari perpecahan ummat:
1. Mengingatkan ummat Islam bagaimana kehidupan pendahulunya, harga diri,
kemuliaan, dan kekuatan mereka ketika mereka dalam tangan dan hati yang satu.
2. Memalingkan pandangan kepada keadaan kehidupan mereka, dan kerugian yang
mereka peroleh yang disebabkan perpecahan mereka.
3. Mengajak ummat Islam untuk bersatu, mengingatkan akan tercelanya
perpecahan serta menjelaskan keburukan-keburukannya, menjelaskan
kebaikan-kebaikan persatuan ummat Islam, dan menyatukan mereka pada jalan yang
satu.
4. Memperlihatkan ummat Islam sebab-sebab perbedaan yang mencabik-cabik
mereka seperti yang telah lalu, supaya menjauhi perpecahan setelah
mempelajarinya dengan sungguh-sungguh dan niat yang benar.
5. Mengetahui pemikiran-pemikiran yang bertentangan dengan hakekat Islam
yang menyerang dan merusak aqidah Islam yang shahih.
6. Mengawasi pergerakan-pergerakan dan pemikiran-pemikiran orang-orang yang
keluar dari garis jalan yang lurus; untuk menanggulangi peranan mereka yang
berbahaya dalam mencerai-beraikan kesatuan ummat Islam, dengan memberi tahu
ummat tentang mereka, menjelaskan hakekat mereka untuk memperingakan ummat,
serta menjelaskan apa yang mereka lakukan untuk melayani pemikiran-pemikiran
rusak tersebut. Tidaklah ada bencana besar masa lalu kecuali itu juga ada di
masa kini dengan jelas, setiap kaum memiliki pewaris.
7. Supaya kelompok yang selamat tetap ada dan membawa ummat menjauh dari bencana-bencana
yang menyerang aqidah Islam yang shahih.
8. Menjelaskan munculnya akar-akar perbedaan antara para pendahulu yang
berakibat perpecahan mereka, memperingatkan ummat akan hal tersebut, dan
membantah mereka yang berusaha memutuskan persaudaraan ummat Islam dengan
menyampaikan kisah para pendahulu untuk membangun peradaban baru sesuai
keinginan mereka.
9. Selanjutnya juga bertujuan supaya para ulama Islam melakukan
pembelajaran, pemeriksaan dengan teliti, serta mengeluarkan yang haq dari yang
bathil, dan melawan orang-orang yang ingin mengeluarkan ummat Islam dari aqidah
shahihah atau memecah belah ummat.
Sembilah tujuan diatas kiranya yang penulis
anggap paling penting untuk disampaikan dan dipahami.
Adapun pentingnya mempelajari Firaq
antara lain:
1. Melihat perpecahan ummat ini sudah lama ada, ibaratnya bukan karena para
pencetus perpecahan tersebut di zamannya, akan tetapi lebih karena
pemikiran-pemikiran yang membawa kepada perpecahan ummat ini ada pada masa kita
sekarang, dan jika kita melihat kepada perpecahan ummat masa lalu, kita akan
mendapati ada lanjutan episodenya di masa kini.
2. Seperti yang diketahui bersama bahwa pemikira-pemikiran zaman dulu
selalu memiliki pengikut yang menyeru kepada perealisasian, kecenderungan
keluar dari garis Syai’at, menghalalkan darah muslim hanya karena syubhat
yang sepele, mengkafirkan orang hanya karena dosa kecil, yang semua itu
sekarang ada di masyarakat Islam.
3. Bahwa mempelajari firaq, dakwah kepada masyarakat, dan menyatukan kata
ummat islam, untuk memperbanyak jumlah al-firqah an-najiyah dengan
menggabungkan mereka yang keluar dari kebenaran, dan bergabung bersama ahlu
al-firqah an-najiyah, Rasulullah Shallallhu ‘alaihi wasallam berkata:
((ظاهرين على الحق لا يضرهم من خالفهم أو خذلهم حتى يأتي
أمر الله وهم على ذلك )) ]أخرجه
الترمذي 4/485, 504[
Dan tidak mempelajari al-firaq ini maka akan kehilangan kesempatan
kebaikan yang besar.
4. Membiarkan ummat tanpa mendakwahi mereka untuk berpegang teguh pada ad-Din
as-Shahih, dan tanpa menjelaskan bahayanya golongan-golongan yang
bertentangan, merupakan sesuatu yang bathil karena Syari’at telah mewajibkan
untuk amar ma’ruf nahi munkar. Tentu saja golonga-golongan yang
bertentangan dengan Syari’at tegak di atas dasar-dasar yang munkar, kemudian
mengatakan bahwa itu yang paling benar dan yang selainnya berarti salah dan
sesat, maka mereka mencampur adukkan antara yang haq dan yang bathil, dan
memperlihatkan kesesatan, keluarnya dan kebejatan mereka seolah-olah berdasar
Al-Qur’an dan As-Sunnah dalam bingkai yang bagus dan cemerlang guna
mempromosikan dan mengajak orang kepada kebid’ahan.
5. Tidak mempelajari firaq dan tidak menyangkalnya serta tidak
menjatuhkan pemikiran-pemikiran mereka yang bertentangan dengan kebenaran, ini
memberikan kesempatan kelompok-kelompok ahlu bid’ah untuk melakukan semau
mereka, dan mengajak orang kepada apa saja yang mereka inginkan seperti bid’ah
dan khurafat, tanpa ada yang melawannya dengan mempelajari dan menyangkalnya,
seperti yang sudah ada dalam realita.
Banyak dari kalangan thullabul ‘ilm,
apalagi orang awam, menyepelekan pemikiran kelompok-kelompok yang
mengombang-ambingkan dunia, yang mereka bekerja malam dan siang untuk
menyebarkan kebathilah mereka. Dari kelalaian ummat Islam ini untuk melakukan
riset dan mengungkapkan kesesatan kelompok-kelompok sesat tersebut,
dikhawatirkan ini adalah rencana orang-orang sesat itu, yang saat ini berhasil
menutupi pandangan ummat Islam dari hakekat mereka dan rencana-rencana jahat
mereka.
Seperti yang banyak terjadi, banyak kita
dapati pemikiran-pemikiran dan perkataan-perkataan yang diambil dan ditiru
ummat Islam tanpa mengetahui dari mana sumbernya, mungkin dari Mu’tazilah[1],
atau Sufi[2],
atau Baha’iyah[3],
atau Qadiyaniyah[4],
atau Khawarij[5],
atau Syi’ah[6]
dan sebagainya. Hal ini terjadi karena ketidak tahuan ummat tentang
pemikira-pemikiran golongan-golongan sesat tersebut[7].
Dalil Larangan Berpecah Belah
1. Dari Al-Qur’an:
·
))وَأَنَّ
هَذَا صِرَاطِي مُسْتَقِيمًا فَاتَّبِعُوهُ وَلا تَتَّبِعُوا السُّبُلَ فَتَفَرَّقَ
بِكُمْ عَنْ سَبِيلِهِ ذَلِكُمْ وَصَّاكُمْ بِهِ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ(( ]الأنعام:
153[
·
))
وَاعْتَصِمُوا بِحَبْلِ
اللَّهِ جَمِيعًا وَلا تَفَرَّقُوا... ] ((آل عمران: 103[
·
))إِنَّ
الَّذِينَ فَرَّقُوا دِينَهُمْ وَكَانُوا شِيَعًا لَسْتَ مِنْهُمْ فِي شَيْءٍ
إِنَّمَا أَمْرُهُمْ إِلَى اللَّهِ ثُمَّ يُنَبِّئُهُمْ بِمَا كَانُوا يَفْعَلُونَ] ((الأنعام:
153[
2. Dari As-Sunnah:
1.
ما رواه عَبْدِ اللَّهِ بْنِ مَسْعُودٍ قَالَ:
خَطَّ لَنَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَوْمًا خَطًّا،
ثُمَّ قَالَ: «هَذَا سَبِيلُ اللَّهِ» ، ثُمَّ خَطَّ خُطُوطًا عَنْ يَمِينِهِ و
خُطُوطًا عَنْ يَسَارِهِ ثم َقَالَ: «هَذِهِ سُبُلٌ، عَلَى كُلِّ سَبِيلٍ مِنْهَا
شَيْطَانٌ يَدْعُو إِلَيْهِ» ، ثم قَرَأَ هذه الآية: {وأَنَّ هَذَا صِرَاطِي
مُسْتَقِيمًا فَاتَّبِعُوهُ وَلَا تَتَّبِعُوا السُّبُلَ فَتَفَرَّقَ بِكُمْ عَنْ
سَبِيلِه} [الأنعام: 153]، وَهَذَا الْكَلَامُ قَدْ رُوِيَ، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ
مِنْ غَيْرِ وَجْهٍ نَحْوَهُ أَوْ قَرِيبًا مِنْهُ [8]"
2.
وفي حديثِ العرباضِ بنِ ساريةَ رضيَ اللهُ
عنه قال: "وعَظَنا رسولُ الله صلى الله عليه وسلم موعظةً وجِلَتْ منها
القلوبُ وذرَفتْ منها العيونُ، فقلنا يا رسولَ اللهِ كأنها موعظةُ مُودِّع
فأوصِنا. قال: "أُوصيكُم بتقوى اللهِ
عز وجلَّ والسمعِ والطاعةِ"
ثم قال: "فإنه من يعِش منكم
فسيرى اختلافاً كثيراً فعليكُم بسُنَّتي وسنةِ الخلفاءِ الراشدين المهديِّينَ من
بعدِي تمسكوا بها وعَضُّوا عليها بالنَّواجِذِ وإياكم ومحدثات الأمور فإن كل محدثة بدعة وكل بدعة ضلالة [9]"
3. حديث حذيفة رضي الله
عنه في الصحيحين (قال: كان الناس يسألون رسول الله صلى الله عليه وسلم عن الخير،
وكنت أسأله عن الشر مخافة أن يدركني، فقلت: يا رسول الله، إنا كنا في جاهلية وشر
فجاءنا الله بهذا الخير، فهل بعد هذا الخير من شر؟ قال: "نعم"، قلت: فهل بعد ذلك الشر من خير؟ قال:
"نعم، وفيه دخن"،
قلت: وما دخنه يا رسول الله؟ قال: "قوم يهدون بغير هديي تعرف منهم وتنكر"، قلت: فهل بعد ذلك الخير من شر؟ قال:
"نعم، دعاة على
أبواب جهنم من أجابهم إليها قذفوه فيها"، قلت: يا رسول الله صفهم لنا، قال:
"هم من جلدتنا
ويتكلمون بألسنتنا"، قلت: فما تأمرني إن أدركني ذلك؟ قال:
"تلزم جماعة
المسلمين وإمامهم"، قلت: فإن لم يكن لهم جماعة ولا إمام؟
قال: "فاعتزل تلك الفرق كلها، ولو أن تعض على أصل شجرة حتى يدركك
الموت وأنت على ذلك".[10]
4. وعن
معاوية بن أبي سفيان أنه قام فينا فقال :" ألا إن رسول الله صلى الله عليه
وآله وسلم قام فينا فقال :" ألا إن من قبلكم من أهل الكتاب افترقوا على ثنتين
وسبعين ملة، وإن هذه الملة ستفترق على ثلاث وسبعين: ثنتان وسبعون في النار، وواحدة
في الجنة، وهي الجماعة "[11].
وفي
رواية أَنَسُ بْنُ مَالِكٍ ،
قَالَ : ذُكِرَ عِنْدَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَجُلٌ
، فَذَكَرُوا قُوَّتَهُ فِي الْعَمَلِ وَاجْتِهَادَهُ فِي الْعِبَادَةِ ، فَقَالَ
النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : " إِنَّ هَذَا أَوَّلُ
قَرْنٍ خَرَجَ فِي أُمَّتِي لَوْ قَتَلْتُهُ مَا اخْتَلَفَ اثْنَانِ بَعْدَهُ مِنْ
أُمَّتِي ، إِنَّ بَنِي إِسْرَائِيلَ افْتَرَقَتْ عَلَى إِحْدَى وَسَبْعِينَ فِرْقَةً ،
وَإِنَّ أُمَّتِي سَتَفْتَرِقُ عَلَى اثْنَتَيْنِ وَسَبْعِينَ فِرْقَةً كُلُّهَا
فِي النَّارِ إِلا فِرْقَةً وَاحِدَةً "، قَالَ يَزِيدُ الرَّقَاشِيُّ : وَهِيَ
الْجَمَاعَةُ [12].
Sebab-sebab umum terjadinya perpecahan:
1. Munculnya ulama yang beraqidah menyimpang, yang berperan memberi bagian
dalam menetapkan golongan di antara ummat Islam.
2. Kebodohan mendominasi di antara ummat Islam dalam zaman yang berbeda
yang bersifat umum.
3. Pemahaman nash Al-Qur’an dan As-Sunnah yang keliru, walaupun mungkin
dengan niat yang baik.
4. Mengedepankan hawa nafsu.
5. Fanatik yang tercela.
6. Kedengkian yang kuat di dalam jiwa.
7. Kegemaran menghidupkan bid’ah dan khurafat, dan jiwa yang lebih condong
kepadanya.
8. Pengkudusan akal dan mengutamakannya dari naql (nash Al-Qur’an
dan As-Sunah).
9. Propaganda yang menyimpang dari aqidah shahihah yang berdasarkan
Al-Qur’an dan As-Sunnah sebagaimana as-Salaf as-Shalih.
10. Adanya pengaruh dari luar.
Bagaimanakan perpecahan dan golongan mulai
muncul di khalayak?
Perpecahan dan golongan bisa muncul di
antara ummat Islam bermula dari sebuah pemikiran kecil, baik secara pribadi
atau dari beberapa orang, kemudian melebar dan meluas sedikit demi sedikit
sehingga menjadi golongan yang memiliki manhaj yang sesuai baik secara politik
maupun sosial.
Pengertian Syi'ah
Secara bahasa, Syi'ah
berarti al-Atbaa' (pengikut), al-Anshar (penolong), al-A'waan
(antek-antek) dan al-Khasshah(anggota khusus).
Al-Azhary berkata: "Syi'ah adalah
penolong seseorang dan pengikutnya, dan setiap kaum yang berkumpul pada suatu
perkara maka mereka adalah syi'ah"[13].
Az-Zabidy berkata: "setiap kaum yang
berkumpul atas suatu perkara maka mereka adalah syi'ah, dan setiap yang
menolong seseorang dan bergabung dengannya maka dia adalah syi'ah (pengikut)
untuknya, yang asli katanya adalah Musyaya'ah yang berarti Muthawa'ah
(menta'ati) dan Mutaba'ah (mengikuti)"[14].
Begitu juga ketika terjadi perbedaan
pendapat antara Ali bin Abu Thalib dan Mu'awiyah Radhiyallahu 'ahuma, dan
masing-masing mempunyai pendukung yang disebut dengan Syi'atu Ali bin Abu
Thalib dan Syi'atu Mu'awiyah bin Abu Sufyan.
Penggunaan Kalimat Syi'ah dalam Al-Qur'an
Kata Syi'ah dan kata jadiannya di dalam
Al-Qur'an secara bahasa memiliki beberapa arti:
1. Berarti golongan, atau ummat, atau jama'ah manusia, Allah berfirman:
))ثُمَّ
لَنَنْزِعَنَّ مِنْ كُلِّ شِيعَةٍ أَيُّهُمْ أَشَدُّ عَلَى الرَّحْمَنِ عِتِيًّا]
((مريم: 69[
“Kemudian pasti akan Kami tarik dari tiap-tiap golongan siapa di
antara mereka yang sangat durhaka kepada Tuhan Yang Maha Pemurah”. (Maryam: 69), Yaitu, dari setiap golongan, atau
jama’ah, atau ummat.[15]
2. Berarti golongan, Allah berfirman:
)) إِنَّ الَّذِينَ فَرَّقُوا دِينَهُمْ
وَكَانُوا شِيَعًا لَسْتَ مِنْهُمْ فِي شَيْءٍ إِنَّمَا أَمْرُهُمْ إِلَى اللَّهِ
ثُمَّ يُنَبِّئُهُمْ بِمَا كَانُوا يَفْعَلُونَ] ((الأنعام: 159[
”Sesungguhnya orang-orang yang memecah belah agamanya dan mereka
(terpecah) menjadi beberapa golongan, tidak ada sedikit pun tanggung jawabmu
terhadap mereka. Sesungguhnya urusan mereka hanyalah (terserah) kepada Allah,
kemudian Allah akan memberitahukan kepada mereka apa yang telah mereka
perbuat”. (Al-An’am:
159), yaitu, golongan-golongan.[16]
3. Juga ada dalam bentuk kata Asy-yaa' yang berarti Amtsal
(yang serupa) dan Nadhair (yang sama), Allah berfirman:
((وَلَقَدْ أَهْلَكْنَا أَشْيَاعَكُمْ
فَهَلْ مِنْ مُدَّكِرٍ)) ]القمر: 51[
“Dan sesungguhnya telah Kami binasakan orang yang serupa dengan
kamu. Maka adakah orang yang mau mengambil pelajaran?”(Al-Qamar: 51), yaitu, keserupaan kalian dalam
kekufuran atau ummat-ummat terdahulu.[17]
4. Berarti Mutabi' (yang mengikuti), Mawaaliy (budak), dan Munashir
(pembela)[18],
Allah berfirman:
((وَدَخَلَ الْمَدِينَةَ عَلَى حِينِ غَفْلَةٍ مِنْ أَهْلِهَا فَوَجَدَ
فِيهَا رَجُلَيْنِ يَقْتَتِلانِ هَذَا مِنْ شِيعَتِهِ وَهَذَا مِنْ عَدُوِّهِ
فَاسْتَغَاثَهُ الَّذِي مِنْ شِيعَتِهِ عَلَى الَّذِي مِنْ عَدُوِّهِ فَوَكَزَهُ
مُوسَى فَقَضَى عَلَيْهِ قَالَ هَذَا مِنْ عَمَلِ الشَّيْطَانِ إِنَّهُ عَدُوٌّ
مُضِلٌّ مُبِينٌ)) ]القصص: 15[
“Dan Musa masuk ke kota (Memphis) ketika penduduknya
sedang lengah, maka didapatinya di dalam kota itu dua orang laki-laki yang
berkelahi; yang seorang dari golongannya (Bani Israel) dan seorang (lagi) dari
musuhnya (kaum Firaun). Maka orang yang dari golongannya meminta pertolongan
kepadanya, untuk mengalahkan orang yang dari musuhnya lalu Musa meninjunya, dan
matilah musuhnya itu. Musa berkata: "Ini adalah perbuatan syaitan
sesungguhnya syaitan itu adalah musuh yang menyesatkan lagi nyata
(permusuhannya)”. (Al-Qashash: 15).[19]
Adapun secara istilah para ulama berbeda
pendapat mengenai pengertian hakekat Syi'ah yang akan penulis rangkumkan sebagai
berikut:
1. Yaitu sebuah kata yang dibakukan atau ditetapkan (علم) yang biasanya diartikan:
bagi setiap orang yang membela Ali Radhiyallahu 'anhu dan ahlu bait-nya,
sebagaimana perkataan Fayruz Abadi: "dan sesungguhnya nama ini biasanya digunakan
bagi setiap orang yang membela Ali Radhiyallahu 'anhu dan ahlu bait-nya,
sehingga menjadi sebuah nama khusus bagi mereka.[20]
2. Yaitu mereka yang membela Ali Radhiyallahu 'anhu dan meyakini Nash
ke-Imam-an beliau, dan bahwa Khalifah yang telah mendahuluinya dzalim terhadap
beliau.
3. Yaitu mereka yang mengutamakan Ali dari Utsman Radhiyallahu 'anhuma.
4. Syi'ah adalah nama untuk setiap yang mengutamakan Ali dari al-Khulafa
ar-Rasyidin yang sebelum beliau Radhiyallahu 'anhum Jami'a, dan berpendapat
bahwa ahlul bait paling berhak mendapatkan kekhilafahan, dan bahwa kekhalifahan
selain mereka adalah bathil.
Namun semua definisi tersebut di atas tidak
sempurna kecuali yang terakhir.
Perbandingan definisi-definisi diatas:
Adapun definisi yang pertama tidaklah benar,
karena Ahlu Sunnah juga berwala' kepada Ali dan ahli bait-nya, dan mereka
menentang syi'ah.
Adapun definisi yang kedua digugurkan
dengan pendapat sebagian Syi'ah yang membenarkan kekhilafahan Abu Bakar dan
Umar, dan tidak membenarkan terhadap kekhilafahan Utsman, dan sebagian mereka
juga membenarkan kekhilafahan beliau seperti sebagian Zaidiyah sebagaimana yang
disebutkan oleh Ibnu Hazm.[21]
Kemudian juga seperti yang terlihat hanya
mencukupkan kekhilafahan sampai Ali saja tanpa menyebutkan ahlu bait-nya.
Dan definisi yang ketiga juga tidak benar,
karena bertentangan dengan pendapat sebagian Syi'ah yang berbara' terhadap
Utsman, sebagaimana perkataan Katsir 'Azzah:
برأت إلى
الإله من ابن أروى ومن دين
الخوارج أجمعينا
ومن عمر برئت
ومن عتيق غداة دعي أمير
المؤمنينا
Dan yang Rajih adalah definisi yang keempat,
karena ketepatannya sebagai definisi syi'ah sebagaimana sebuah kelompok yang
memiliki pemikiran, pendapat dan keyakinan.[22]
Kapan Munculnya Tasyayyu’?
Para Ulama berbeda pendapat dalam
menetapkan kapan Tasyayyu' mulai muncul sesuai dengan Ijtihad mereka, yang penulis
ringkaskan sebagai berikut:
1. Bahwa syi'ah sudah muncul pada masa Rasulullah Shallallahu 'alaihi
wasallam yang saat itu Rasulullah mendakwahkan Tauhid sedangkan pengikut Ali
bin Abu Thalib mulai ada sedikit demi sedikit.
Dan yang memiliki pendapat ini adalah Muhammad Husain az-Zain dari ulama
syi'ah dan yang lainnya[23],
juga sebagaimana yang disebutkan oleh an-Nubakhtiy di dalam buku Firaq as-Syi'ah-nya[24],
dan yang ditekankan oleh Khumaeni[25]
pada masa kita sekarang, bahkan Hasan as-Syiraziy mengikuti perkataan:
"sesungguhnya bukanlah Islam itu melainkan Tasyayyu' dan bukanlah
Tasyayyu' itu melainkan Islam, Islam dan tasyayyu' adalah dua nama yang sama
untuk suatu hakekat yang satu yang diturunkan Allah dan disebarkan oleh
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam".[26]
2. Ada juga yang mengatakan bahwa syi'ah muncul pada saat peperangan Jamal
yang dihadapi Ali, Thalhah dan az-Zubair Radhiyallahu 'anhum, dan yang mengakui
pendapat ini adalah Ibn an-Nadim yang mengatakan bahwa orang-orang yang
berjalan bersama Ali dan mengikuti beliau Radhiyallahu 'anhu dinamakan Syi'ah
sejak saat itu.[27]
3. Pendapat yang lain mengatakan bahwa syi'ah muncul pada hari peperangan Shiffin,
ini pendapat beberapa ulama syi'ah seperti al-Khounsariy, Abu Hamzah dan Abu
Hatim, juga pendapat sebagian ulama diluar mereka, seperti Ibn Hazm dan Ahmad
Amin.[28]
4. Pendapat yang lain mengatakan munculnya setelah terbunuhnya al-Husain
Radhiyallahu 'anhu, dan ini adalah pendapat Kamil Mustafa as-Syaibiy seorang
syi'ah, yang mengaku bahwa tasyayyu' setelah pembunuhan al-Husain menjadi suatu
tabi'at khusus baginya.[29]
5. Pendapat yang lain mengatakan telah muncul pada masa Utsman dan menguat
pada masa Ali Radhiyallahu 'anhuma.[30]
Pada realitanya bahwa pendapat yang pertama
yang dikatakan oleh orang syi'ah adalah palsu dan jelas dusta belaka yang tidak
masuk akal bahkan secara mantiq, karena Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam
diutus untuk mengeluarkan manusia dari kegelapan jahiliyah menuju cahaya Islam,
dari menyembah berhala kepada Tauhid, dan kepada menyatukan kalimat tanpa
berpartai atau berkelompok-kelompok, Al-Qur'an dan As-Sunnah didalamnya penuh
dengan dakwah kepada Allah dan larangan berpecah belah.
Muhammad Mahdi al-Husainiy as-Syiraziy
berkata: "sungguh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam telah menamai
mereka dengan nama ini pada saat beliau berkata seraya menunjuk kepada Ali
Radhiyallahu 'anhu: "ini dan syi'ah-nya (pengikutnya) mereka adalah
orang-orang yang beruntung"".[31]
Tapi perkataan ini bathil.
Adapun yang Rajih dari
beberapa pendapat diatas adalah pendapat yang ketiga yaitu setelah peperangan
Shiffin ketika Khawarij terbelah dan berpartai-partai di Nahrawan, kemudian
muncul sebagai gantinya pengikut dan pendukung Ali yang mana disitu bermula
pemikiran tasyayyu' yang semakin menguat sedikit demi sedikit. Walaupun
sepertinya tidak mengapa jika ada tasyayyu' yang berarti al-mayl (yang
condong), munasharah (pendukung), dan mahabbah (kecintaan) kepada
Imam Ali dan Ahlu Baitnya sebelum itu (itupun jika penamaan tasyayyu' saat itu
dibolehkan) dan tidak sebagai tasyayyu' yang berarti politik dalam syi'ah, maka
sesungguhnya mereka bukanlah pendukung dan penolong ahlul bait akan tetapi
mereka adalah musuh ahlul bait dan yang melanggar perjanjian dalam banyak
kesempatan.
Periode-periode Paham Tasyayyu'
Pemahaman tasyayyu' pada awal mulanya adalah
fitnah yang terjadi pada masa khalifah Ali Radhiyallahu 'anhu yang berarti
mendukung dan berdiri memihak kepada Ali Radhiyallahu 'anhu untuk mengambil
haknya sebagai Khalifah setelah Khalifah Utsman, dan bahwa yang menentangnya
maka dia salah dan harus dikembalikan kepada yang benar walaupun dengan
kekuatan.
Dan pendapat seperti ini dulu banyak dari
kalangan Shahabat dan Tabi'in, yang mana mereka berpendapat bahwa Ali bin Abu
Thalib lebih berhak menjabat kekhilafahan dari pada Mu'awiyah karena bersatunya
orang-orang yang membai'atnya, dan tidak dibenarkan kalau difahami bahwa mereka
adalah tonggak awalnya Syi'ah, yang mana mereka adalah Syi'ahnya Ali
yang berarti pembela dan pendukungnya.
Dan dari yang disebutkan disini tentang
mereka bahwa mereka tidak sampai menyakiti terhadap orang-orang yang berbeda
pendapat dengan mereka dan tidak sampai mengkafirkan juga tidak memperlakukan
mereka seperti orang-orang kafir bahkan mereka masih mengakui mereka sebagai
orang Islam, adapun perbedaan antara mereka tidaklah semata karena masalah
politik tentang kekhilafahan, ada yang mengatakan tentang hal ini: ‘bahwa Ali
bin Abu Thalib suatu saat setelah peperangan melawan pasukan Mu’awiyah bin Abu
Sufyan, beliau menguburkan siapa saja yang gugur yang ditemuinya dari dua pasukan
tanpa membedakan antara keduanya’.
Sikap Khalifah Ali bin Abu Thalib ini
berbuah di hari kemudian, ketika al-Hasan mengalah dan memberikan jabatan
kekhilafahan kepada Mu'awiyah Radhiyallahu 'anhu sebagai realisasi dari sikap
baik yang diperlihatkan oleh ayahnya Radhiyallahu 'anhuma.
Tidak berhenti sampai disitu pemahaman dari
kecondongan kepada Ali Radhiyallahu 'anhu dan pembelaan terhadap beliau, ketika
sekali lagi orang-orang mengutamakan Ali Radhiyallahu ‘anhu dari seluruh
Shahabat, dan ketika Ali mengetahui hal tersebut beliau marah dan mengancam
bagi siapa saja yang mengutamakan beliau dari Syaikhain (Abu Bakar dan
Umar Radhiyallahu ‘anhuma) dengan hukuman, dan menegakkan hukuman bagi para pedusta.[32]
Pada periode ini para pendukung Ali masih
lurus-lurus saja, belum mengkafirkan orang yang menentang Ali Radhiyallahu
‘anhu tidak juga dari kalangan Shahabat, dan tidak pula mencela para Shahabat,
hanya saja saat itu kecondongan mereka terhadap Ali sekedar loyalitas dan rasa
sayang terhadap beliau.
Sikap seperti ini diakui oleh beberapa
pendukung Ali seperti Abu al-Aswad ad-Du'aliy, Abu Sa'id Yahya bin Ya'mar, dan
Salim bin Abu Hafshah, begitu juga Abdurrazzaq pemilik buku karangan dalam
hadits dan Ibnu as-Sakit berpendapat sama.[33]
Kemudian periode selanjutnya Tasyayyu'
mulai melenceng dan keluar dari yang haq, dan penentangan mulai tampak,
pemikiran Ibnu Saba' juga memberikan hasilnya yang buruk sehingga mereka mulai
memperlihatkan keburukan, seperti mulai mencela para Shahabat, mengkafirkan dan
berlepas diri dari mereka kecuali beberapa seperti Salman al-Farisiy, Abu Dzar,
al-Miqdad, Ammar bin Yasir dan Hudzaifah.
Begitu juga menghukumi bagi siapa saja yang
hadir di Ghadir khum sebagai kafir murtad karena tidak memenuhi
kesepakatan –seperti yang mereka sangkakan- untuk membai'at Ali sebagai
pelaksanaan wasiyat Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam terhadap Ali di Ghadir
Khum.
Abdullah bin Saba' adalah yang bertanggung
jawab atas dakwah sesat dan menyesatkan ini, kemudaian Khalifah Ali bin Abu
Thalib mengasingkannya di Madain (nama sebuah kampung di Hijaz/tepat
pengasingan) dan berkata: "jangan kau tinggal bersamaku di negeri ini
selamanya".
Dan pada akhirnya Tasyayyu' sampai pada
puncak ghuluw (melampaui batas) sehingga keluar dari Islam, yang mana
mereka meng-Ilah-kan Ali. Pada periode ini Ibnu Saba' sebagai pencetus
sekaligus panglima dan mendapatkan banyak pengikut dari orang-orang bodoh dan
yang sangat membenci Islam. Dan kemudian Khalifah Ali Radhiyallahu 'anhu
membakar siapa saja yang mengatakan perkataan kufur ini[34],
beliau juga bersikap tegas terhadap Ibnu Saba'.[35]
Sikap Khalifah Ali bin Abu Thalib
Radhiyallahu 'anhu terhadap Abdullah bin Saba' al-Mal'un:
Ada perbedaan riwayat tentang sikap
Khalifah Ali bin Abu Thalib terhadap Abdullah bin Saba' ketika meng-Ilah-kan
Ali bin Abu Thalib:
1. Sebagian riwayat menyebutkan bahwa Ali bin Abu Thalib meminta Abdullah
bin Saba' untuk bertaubat selama tiga hari, tapi dia tidak bertaubat juga maka
Ali bin Abu Thalib membakarnya dan bersamanya tujuh puluh orang.[36]
2. Sebagian riwayat yang lain
menyebutkan bahwa Abdullah bin Saba' tidak secara terang-terangan menyatakan
ke-Ilah-an Ali bin Abu Thalib kecuali setelah wafatnya beliau Radhiyallahu
'anhu, dan ini mendukung riwayat yang menyebutkan mengasingan Abdullah bin
Saba' keluar ketika Ali bin Abu Thalib mengetahui sebagian pendapat dan
ke-keterlaluannya, karena jika Ali bin Abu Thalib tahu perkataan Abdullah bin
Saba' tentang peng-Ilah-an beliau semasa hidupnya maka beliau akan membunuhnya.[37]
3. Sebagian riwayat lain menyebutkan bahwa Ali bin Abu Thalib mengetahui
dakwaan Abdullah bin Saba' tentang peng-Ilah-an beliau, akan tetapi beliau
cukup hanya mengasingkan karena takut akan fitnah dan pertentangan para
Shahabat terhadap beliau, dan juga khawatir dari celaan penduduk Syam.
Ini adalah pendapat Abdullah bin Abbas
Radhiyallahu 'anhuma, atau Rafidhah sebagaimana yang dikatakan di dalam riwayat
ini.[38]
Dan kenyataannya bahwa riwayat yang
menyebutkan bahwa Ali bin Abu Thalib hanya mengasingkan Abdullah bin Saba',
tidak membakarnya sementara dakwaannya yang buruk dan berbahaya ini perlu
dilihat lebih jelas, bahkan tidak ada riwayat yang benar, yang mana
bertentangan seperti yang terlihat, bagaimana mungkin Ali bin Abu Thalib
sekedar mengasingkannya, membiarkannya melakukan kerusakan di bumi,
mendakwahkan ke-Ilah-an beliau, atau kenabiannya, atau penunjukannya secara
Nash oleh Allah sebagai Nabi, atau berlepas-dirinya dari para Shahabat
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam, kemudian cukup sekedar mengasingkannya
ke daerah terpencil? Sementara Beliau Radhiyallahu 'anhu mengetahui bahwa
makhluk terlaknat ini tetap pada sikap berlebihannya, dan akan membuat
kerusakan di setiap tempat yang dia datangi?.
Mungkin bisa dikatakan (dengan kemungkinan
paling kecil): bahwa khalifah Ali bin Abu Thalib membiarkannya karena menurut
beliau kabar tersebut tidak pasti, karena Abdullah bin Saba' menyerang dari
balik tabir (sembunyi-sembunyi).
Atau karena tuduhan peng-Ilah-an belum
terdengar kecuali setelah wafatnya khalifah Ali bin Abu Thalib Radhiyallahu
'anhu sebagaimana pendapat sebagian riwayat, dan bahwa ketika pengasingannya di
tempat terpencil tuduhan Abdullah bin Saba' belum sampai meng-Ilah-kan Ali bin
Abu Thalib Radhiyallahu 'anhu. Kemudian dakwa peng-Ilah-an ini semakin berani
dan meluas kepada Aalul Bait dahkan orang lain di luar Aalul Bait.
Dan yang harus diperhatikan di sini adalah
kesalahan yang terjadi tentang profil Abdullah bin Saba', yang diriwayatkan
oleh sebagian Ulama sebagai berikut:
1. Sebagaian ulama syi'ah, juga sebagain orientalis berusaha mengingkarai
adanya sosok Abdullah bin Saba', dan mereka mengatakan bahwa dia hanya sebuah
dongeng yang tidak nyata. Ini sangat berbahaya karena menimbulkan keraguan
orang Islam terhadap kebenaran sejarah yang ditulis para ulama, jika ada keraguan
pada sosok ini terjadi maka kemungkinan keraguan juga ada pada sosok-sosok lain
dalam sejarah.[39]
2. Terjadi kerancuan pada sebagian ulama antara Abdullah bin Saba' dan
Abdullah bin Wahb ar-Rasibiy[40],
sebagai dua nama untuk orang yang satu, dan ini merupakan kesalahan. Karena
ar-Rasibiy adalah pemuka awal pemerintahan, sedangkan Ibnu Saba' adalah pemuka
gerakan Sabaiyah.
3. Terdapat perkataan sebagian ulama yang membedakan antara Ibnu as-Sauda'
dan Ibnu Saba'.[41]
Dan yang benar adalah bahwa milik orang yang sama sebagaimana sebagian mereka
menamakannya.
Adapun bantahan atas dakwa peng-Ilah-an Ali
bin Abu Thalib, jelas itu bathil, karena meng-Ilah-kan siapa saja itu merupakan
sesuatu yang berbahaya yang menunjukkan niat jahat dan keyakinan buruk atau
kegilaan.
Hal ini seperti perkataan bahwa Ali bin Abu
Thalib tidak terbunuh dan beliau tidak boleh mati. Al-Baghdadiy menyangkal hal
ini di dalam bukunya Al-Farqu baina Al-Firaq,[42]
begitu juga Ibnu Hazm[43]
dan yang lainnya atas perkataan Abdullah bin Saba' bahwa Ali bin Abu Thalib
tidak mati, dengan beberapa dalil secara akal diantaranya:
1. Jika yang dibunuh Abdurrahman bin Muljim adalah setan dan bukan Ali bin
Abu Thalib (kalau beliau tidak bisa mati karena sebagai Ilah), kenapa kalian
melaknat Ibnu Muljim yang telah membunuh setan?
2. Kalian bilang: bahwa petir adalah suara Ali bin Abu Thalib, dan kilat
adalah senyumnya, maka itu bathil karena petir dan kilat sudah ada sejak dahulu
kala, dan para filosof sebelum islam berbeda pendapat dalam sebab bagaimana
keduanya ada.
3. Nabi Musa dan Nabi Harun juga Yusya' kedudukan mereka lebih tinggi dari
pada Ali bin Abu Thalib pada keyakinan Yahudi dan Ibnu Saba', tapi kenapa
kalian mempercayai kematian mereka dan tidak mempercayai kematian Ali?
4. Kalian mengakui bahwa para Imam kalian bisa mengeluarkan madu dan mentega
dari dalam bumi,[44]
tapi kenapa al-Husain dan para sahabatnya terbunuh kehasusan di Karbala, dan
tidak bisa mengeluarkan untuk mereka air, apalagi madu dan mentega?[45]
5. Kalian mengatakan bahwa Ali bin Abu Thalib berada di awan seperti yang
dikatakan oleh Ishaq bin Suwaid:[46]
برئت من الخوارج لست منهم من
الغزال منهم وابن باب
ومن قوم إذا ذكروا عليا يردون
السلام على السحاب
Tentu saja perkataan ini bathil karena awan terberai di atas bumi,
muncul dan hilang dalam gerakan panjang atau terputus-putus, maka di awan yang
mana keberadaan Ali bin Abu Thalib? Dan di bumi sebelah mana beliau menetap?
Walaupun hinanya dakwaan mereka terhadap
Ali bin Abu Thalib Radhiyallahu 'anhu, tetapi tetap didapati pembela dan
penyokong, sungguh benar kata Allah Ta'ala ketika mensifati manusia ketika
tersesat dari jalan yang lurus:
((أولئك كالأنعام بل هم أضل أولئك هم الغافلون))
Beberapa Nama Syi'ah
Syi'ah memiliki beberapa nama lain, yaitu:
1. Syi'ah: nama ini yang paling masyhur, mencakup semua dari golongan-golongan
yang terpecah darinya, dan tidak ada perbedaan para ulama' dalam menamakannya
sebagai isim 'alam (dalam ilmu nahwu yaitu sebuah nama yang telah
dibakukan dan tidak memerlukan ciri-ciri untuk mengetahuinya).
2. Rafidhah: sebagian ulama juga menetapkan nama ini dan menjadikannya sebuah nama
menyeluruh untuk semua kalangan syi'ah.
Tiga nama tersebut yang terdapat pada
tulisan para ulama tentang golongan-golongan syi'ah, dan pemilihan nama
bukanlah sebuah ittifaq (kesepakatan) atau karena nama-nama tersebut
muncul secara berurutan.
Realitanya bahwa penetapan nama Rafidhah
untuk syi’ah pada umumnya, termasuk golongan-golongan di dalamnya seperti Zaidiyah,
yang berkembang pada akhir abad pertama Hijriyah tidaklah benar, karena
penamaan Rafidhah diambil dari perkataan Zaid bin Ali Radhiyallahu 'anhuma
kepada sebagian syi'ah: ((رفضتموني))[48]
yang artinya "kalian menentangku", maka kemudian mereka dinamakan
Rafidhah.
Ini bukan berarti mereka saat itu belum
ber-aqidah Rafidhah, akan tetapi sebelumnya pun mereka sudah berkeyakinan
begitu karena mereka mencela dan melaknat Abu Bakar dan Umar Radhiyallahu
'anhuma, karena itu mereka meminta Zaid bin Ali untuk melaknat Shahabat Abu
Bakar dan Umar akan tetapi beliau menolaknya. Hanya saja nama ini belum dikenal
sebelumnya, yang ini berarti syi'ah sudah ada wujudnya dibawah nama lain
seperti Sabaiyah yang dinisbatkan kepada Abdullah bin Saba' si Yahudi
terlaknat, dan Kisaniyah yang dinisbatkan kepada Muhammad bin Abu Thalib
yang dikenal dengan Muhammad bin al-Hanafiyyah.
Begitu juga pemutlakan nama Zaidiyah untuk
syi’ah secara umum[49] ada
pertentangan, karena syi'ah sudah ada sebelum Zaid yang kemudian dinisbatkan
kepada beliau sebagai Zaidiyah, seperti kelompok Sabaiyyah dan Kisaniyyah.
Zaidiyah-pun tidak mengambil semua perkataan Syi'ah yang melampaui batas, tapi
di antara keduanya ada banyak perbedaan pendapat, juga diantara keduanya saling
mencela seperti yang dikatakan oleh al-Baghdadiy.
Dan masih banyak nama lain yang masuk ke
dalam kategori syi'ah seperti Mukhtariyah, Imamiyah, Itsna 'Asyariyah,
Ja'fariyah, dan masih banyak yang lainnya.
Ini menjelaskan bahwa penamaan Syi'ah untuk
semua kalangan Tasyayyu' tidak ada pertentangan jika yang dimaksudkan adalah isim
'alam, mengabaikan kebenaran nama tersebut atau tidaknya, karena terkadang
seseorang memiliki nama Islam tetapi ternyata dia kafir begitu juga sebaliknya,
maka dalam hal ini nama tidak berpengaruh pada hakekat dan kenyataan.
Beberapa Penyebab Perselisihan antara Sahabat Setelah Meninggalnya
Khalifah Utsman bin Affan Radhiyallahu ‘anhum Ajma’in
Yang masyhur : bahwa Thalhah dan az-Zubair dan Aisyah mereka keluar
untuk membalaskan dendam atas terbunuhnya Khalifah Utsman Radhiyallahu ‘anhu wa
‘anhum ajma’in.
Adapun Mu’awiyah: ketika Sahabat Ali bin Abu Thalib mengambil
posisi kekhilafahan setelah terbunuhnya Khalifah Utsman bin Affan, beliau menarik
sebagian gubernur-gubernur yang diangkat oleh Khalifah Utsman, dan diantara
mereka adalah Khalid bin Sa’id bin al-‘Ash, dan Mu’awiyah bin Abu Sufyan, dan
ketika kabar penarikan jabatan tersebut sampai kepada Mu’awiyah, beliau menolak
dan dia berkata: “siapakah mencabut jabatanku?”, orang-orang mengatakan: “Ali
bin Abu Thalib”. Mu’awiyah berkata: “dan dimanakah pembunuh putra pamanku,
dimanakah pembunuh Utsman berada?”, mereka mengatakan: “Bai’atlah Ali, baru
kemudaian carilah siapa yang membunuh Utsman”, Mu’awiyah berkata: “tidak, tapi
Ali harus menyerahkan kepadaku pembunuh Utsman, dan baru kemudian aku
membai’atnya”.
Dan itulah pada saat itu Mu’awiyah melihat bahwasan dia sedang
berada dalam puncak kekuatannya di Syam, dan tidak akan menyia-nyiakannya untuk
membalas dedam kepada pembunuh Khalifah Utsman bin Affan. Beliau berkata: “Aku
tidak akan membai’at sehingga yang membunuh Khalifah Utsman dibunuh”, dan
Khalifah Ali berkata: “Bai’atlah baru kemudian membahas tentang pembunuhan
Khalifah Utsman”.
Maka dalam hal ini perselisihan antara sahabat Ali dan Mu’awiyah
Radhiyallahu ‘anhuma adalah mana yang harus didahulukan antara bai’at atau
mencari dan mengqishash pembunuh Khalifah Utsman Radhiyallahu ‘anhu.
Sahabat Ali berpendapat bahwa yang harus diutamakan adalah bai’at,
baru setelah itu melihat permasalahan tentang pembunuhan Khalifah Utsman ketika
semua perkara mulai tenang dan keamanan negara pulih.
Sedangkan sahabat Mu’awiyah berpendapat sebaliknya yaitu bahwa yang
seharusnya mereka lakukan adalah membunuh pembunuh khalifah Utsman dan baru
setelah itu baru melihat ke perkara tentang kekhilafahan selanjutnya.
Dan pada saat itu sahabat Thalhah dan az-Zubair berpendapat
sebagaimana pendapat Mu’awiyah, yaitu menyegerakan pencarian dan qishash
terhadap pembunuh khalifah Utsman, hanya saja Thalhah dan az-Zubair berbeda
dengan Mu’awiyah dari sisi lain, yaitu mereka berdua telah membai’at Ali
sedangkan Mu’awiyah belum membai’at.
Sikap para Sahabat Radhiyallahu ‘anhum mengenai perkara ini
Dalam hal ini ada tiga kelompok:
Yang pertama:
Thalhah, az-Zubair, ‘Aisyah dan Mu’awiyah mereka berpendapat harus menyegerakan
pencarian dan qishash terhadap pembunuh khalifah Utsman.
Yang kedua: Ali
bin Abu Thalib dan yang bersamanya, berpendapat bahwa yang harus didahulukan
dan disegerakan adalah pengangkatan khalifah baru, dan menunda perkara tentang
pembunuhan Khalifah Utsman bin Affan.
Yang ketiga:
Sa’ad, Ibnu Umar, Abu Hurairah, Muhammad bin Maslamah, al-Ahnaf, Usamah dan Abu
Bakar ats-Tsaqafy, dan jajaran Shahabat yang lain, mereka berpendapat tak memihak
keduanya.
Dan sebab perselisihan ini adalah bahwa perkara-perkaranya saat itu
meragukan, dan saat itu adalah masa fitnah, maka dari itu tak seorangpun pada
saat itu bisa mengurus masalah ini dan mencari hakekatnya dengan jelas.
Al-Hafidz Ibnu Hajar berkata: “bahwasannya at-Thabary mengeluarkan
kabar dengan sanad yang shahih dari al-Ahnaf bin Qais Radhiyallahu ‘anhu dia
berkata: “aku telah bertemu Thalhah dan az-Zubair setelah terbunuhnya khalifah
Utsman dan aku berkata: “apa yang kalian berdua perintahkan padaku dan aku
telah melihat Utsman terbunuh?” mereka menjawab: “bai’atlah Ali”. Kemudian aku bertemu
‘Aisyah setelah terbunuhnya Utsman di Makkah dan aku berkata: “apa yang engkau
perintahkan untukku?” ‘Aisyah menjawab: “Bai’at Ali”.[50]
Dan ketika para Shahabat tersebut keluar dalam peperangan Jamal
al-Ahnaf menemui mereka dan berkata kepada mereka: “demi Allah, aku tidak akan
memerangi kalian sedangkan Ummul Mukminin bersama kalian, dan aku tidak
memerangi seseorang yang kalian telah menyuruhku untuk membai’atnya”.[51]
Dan sungguh telah lama berselang waktu Rosululla Shallallahu
‘alaihi wasallam berkata kepada Ali: “wahai Ali sesungguhnya akan terjadi di
antara kamu dan ‘Aisyah permasalahan maka lemah lembutlah kepadanya”, Ali
berkata: “apakah aku akan menyakiti mereka wahai Rasulullah?” Rasulullah
berkata: “jangan, tapi jika itu terjadi maka kembalikanlah dia (Aisyah) ke
tempatnya yang aman (Al Madinah)”.[52]
Sikap Ahlu Sunnah terhadap Abdurrahman bin Muljim, dan pembunuhan
Utsman, pembunuh az-Zubair, pembunuhan al-Husain dan yang lainnya:
Imam Dzahabi berkata: “Ibnu Muljim adalah orang yang kita mengharapkannya
masuk Neraka, tapi barangkali Allah mengampuni dia, dan vonis dia sebagaimana
vonis pembunuh Utsman, dan pembunuh az-Zubair, dan pembunuh Thalhah, dan
pembunuh Sa’id bin Jubair, dan pembunuh Ammar, dan pembunuh Kharijah, dan
pembunuh al-Husain,[53] maka
mereka semua tidak ada hubungan apa-apa dengan kita, dan kita membenci mereka
karena Allah dan kita serahkan semua perkara mereka kepada Allah Tabaraka wa
Ta’ala”.[54]
Manakah yang lebih mendekati kebenaran antara Ali bin Abu Thalib
dan Mu’awiyah bin Abu Sufyan?
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam telah berkata tentang Ammar:
“sebuah jama’ah dzolim akan membunuhnya”.[55]
Dan Beliau berkata tentang Khawarij: “mereka keluar disaat kaum
muslimin sedang berselisih, dan yang akan membunuh mereka adalah salah satu dari
dua kubu kaum muslimin yang lebih dekat pada kebenaran”.[56]
Dua Hadits diatas menjelaskan bahwa yang benar atau yang mendekati
kebenaran adalah pihak Ali Radhiyallahu ‘anhu, dan menjelaskan bahwa Ali bin
Abu Thalib saat itu yang lebih dekat kepada kebenaran dari pada orang-orang
yang menyelisihinya dalam perang jamal, begitu juga dalam perang shiffin, akan
tetapi beliau tidak sepenuhnya benar, karena Rasulullah telah berkata: “yang
paling dekat dengan kebenaran, lebih utama untuk dibenarkan, dan bukanlah
sepenuhnya benar”. Dan hal ini bukan sebagai celaan terhadap Ali, tetapi untuk
menjelaskan bahwa orang-orang yang tidak ikut berperan dalam fitnah saat itu
mereka adalah yang berada dalam posisi kebenaran sepenuhnya, maka benarnya Ali
saat itu adalah dalam menahan dari peperangan, maka dari itu beliau menyesal
ketika melihat Thalhah terbunuh, dan berkata: “andaikan aku telah mati dua
puluh tahun yang lalu”.[57]
Dan ketika al-Hasan bin Ali Radhiyallahu ‘anhuma datang setelah
pertempuran Shiffin, dan berkata kepada Ali dari apa yang telah terjadi: “demi
Allah aku tidak mengira perkara ini akan samapi seperti itu”.[58]
Dan semua yang berperan dalam pertempuran tersebut menyesal.
Rasulullah telah memuji al-Hasan, dan Beliau berkata: “sesungguhnya
cucuku ini adalah Sayyid dan semoga Allah mendamaikan dengan perantara dia dua
kubu kaum muslimin yang berselisih”.[59] Dan
Rasulullah memujinya karena perdamaian, dan Beliau tidak memuji Ali, karena
beliau ikut memerangi mereka.
Adapun pujian Rasulullah kepada Ali adalah perannya dalam perang
an-Nahrawan, dalam hal ini Ali benar sepenuhnya dengan memerangi Khawarij, maka
dari itu tak satupun yang bersedih dan menyesal dalam memerangi mereka, bahkan
kaum muslimin senang dengan memerangi penduduk an-Nahrawan.
Dan kemudian Ali bin Abu Thalib bersujud syukur kepada Allah
setelah memerangi penduduk an-Nahrawan, akan tetapi dia menangis ketika
memerangi Ahlu Jamal, dan sedih ketika memerangi Ahlu Shiffin.
Kisah Singkat dan Kejadian penting Pada Masa Al-Hasan bin Ali, Mu’awiyah
bin Abu Sufyan, Yazid bin Mu’awiyah, dan Al-Husain bin Ali Radhiyallahu ‘anhum
Ajma’iin:
Al-Hasan bin Ali bin Abu Thalib Radhiyallahu ‘anhuma
Lahir pada pertengahan Ramadhan pada tahun 3 H.
Istri-istri beliau:
Khaulah bintu Mandzur, Ummu Bisyr bintu Abi Mas’ud, Ummu Ishaq bintu Thalhah
bin Ubaidillah, dan yang terkenal tentang beliau adalah bahwasannya beliau sering menikah dan juga sering
mentalaq Radhiyallahu ‘anhu.
Anak-anak:
Laki-laki:
al-Hasan, Zaid, Thalhah, Husain, Andullah, Abu Bakar, Abdurrahman, al-Qasim,
Amr, Muhammad.
Perempuan:
Ummu al-Hasan dan Ummu Abdillah.
Keutamaan-keutamaan
beliau:
Dari Abu Bakrah berkata: “aku telah mendengan Rasulullah berkata
diatas mimbar dan al-Hasan di sebelah Beliau sekalli-kali melihat kepada
orang-orang dan sekali-kali kepada Rasulullah, dan suatu saat Rasulullah
berkata tentangnya: “Cucuku ini adalah Sayyid dan semoga dengannya Allah
mendamaikan dua kubu dari kaum muslimin yang berselisih”.[60]
Dari Usamah bin Zaid bahwasannya Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam
pernah membawanya dan al-Hasan, dan beliau berkata: “Ya Allah sesungguhnya aku
mencintai mereka berdua, maka cintailah mereka”.[61]
Dari Uqbah bin al-Harits berkata: “aku telah melihat Abu Bakar
Radhiyallahu ‘anhu dan dia membawa al-Hasan dan dia berkata: “aduhai… anak ini
mirip dengan Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam bukan mirip dengan Ali”. Dan Ali
tertawa.[62]
Wafatnya:
beliau wafat sekitar masa kepemimpinan Mu’awiyah pada tahun 49 Hijriah. Dan
beliau meninggal karena diracuni dalam minumannya.
Umair bin Ishaq berkata: “aku dan sahabatku datang menjenguh
al-Hasan, kemudian beliau berkata kepada sahabat saya: “wahai kisanak, mintalah
sesuatu padaku!” dia menjawab: “aku tidak mau meminta sesuatu kepadamu”.
Kemudian Beliau bangun dari kami dan masuk ke kamar kecil kemudian keluar dan
berkata: “wahai kisanak mintalah sesuatu padaku sebelum kamu tidak akan bisa melakukannya,
sesungguhnya aku telah memuntahkan bagian dari hatiku (kabid) waktu di kamar
kecil dan kemudian aku aduk-aduk (ingin mengetahui apakah yang keluar ini)
dengan sebatang kayu kecil, dan bahwa aku telah diberi minum yang beracum
berkali-kali, belum pernah aku diracuni seperti ini, maka mintalah sesuatu!”,
dia menjawab: “aku tidak mau meminta sesuatu padamu, semoga Allah
menyembuhkanmu Insya Allah”. Kemudian kami keluar, dan ketika hari kemudian aku
mendatanginya dan beliau sedang berbaring, dan kemudian al-Husain datang dan
duduk dekat kepalanya kemudian berkata: “wahai Saudaraku, katakan padaku siapa yang
meracunimu”, beliau menjawab: “kenapa? Apa kamu akan membunuhnya?”, al-Husain
menjawab: “ya”, Beliau berkata: “aku tidak akan mengatakan padamu kalau begitu,
jika yang melakukannya adalah orang yang kukira sahabatku maka Allah adalah
pemilik balasan yang paling dahsyat, dan jika bukan, maka demi Allah seseorang
yang tidak bersalah tidak akan dibunuh demi aku”.[63] Ada
pendapat bahwa yang meracuni beiau adalah istrinya Ja’dah bintu al-Asy’ats,
akan tetapi hal ini tidak terbukti. Imam Dzahabi dan Imam Ibnu Katsir
berpendapat ini tidak benar.[64]
Bai’at kekhilafahan kepada al-Hasan
Setelah terbunuhnya Khalifah Ali Radhiyallahu ‘anhu wa Ardhahu
penduduk Kufah membai’at al-Hasan bin Ali dan keluar setelah disahkan bai’atnya
oleh penduduk Kufah sampai perbatasan Syam, karena penduduk Syam hingga kini
mereka tidak mau untuk mentaati Amirul Mukminin Ali bin Abu Thalib.
Al-Hasan bin Ali mendamaikan Mu’awiyah dan menyatukan perkara kaum
muslimin
Al-Hasan bin Ali pergi dengan maksud untuk perdamaian, dan beliau
adalah orang yang tidak suka peperangan bahkan beliau menolak keluarnya Ali bin
Abu Thalib untuk memerangi penduduk Syam.[65]
Dan tanda dari keinginannya untuk berdamai adalah bahwasannya beliau
memberhentikan jabatan Qais bin Sa’ad bin Ubadah dari kepemimpinan, dan
menggantikannya dengan Abdullah bin Abbas.
Diriwayatkan dari Hasan al-Basry berkata: ketika al-Hasan pergi
kepada Mu’awiyah dengan membawa pasukan, Amr bin Ash berkata kepada Mu’awiyah:
“aku melihat pasukan, jangan kau hentikan perang hingga selesai”.
Hasan al-Basry berkata: “sesungguhnya aku telah mendengar Abu
Bakrah berkata: “ketika Rasulullah berkhutbah datanglah al-Hasan, maka Nabi
Shallallahu ‘alaihi wasallam berkata: “Cucuku ini adalah Sayyid, dan semoga
dengannya Allah mendamaikan dua kubu kaum muslimin yang berselisih”.[66]
Dan diriwayatkan dari az-Zuhri dia berkata: “Mu’awiyah mengutus
kepada al-Hasan surat-surat yang disetempel dibawahnya ‘tulislah didalamnya apa
saja yang kau inginkan, ini milikmu dan aku akan menurutinya”. Amr bin Ash
berkata: “tapi perangilah dia!”, Mu’awiyah berkata: (az-Zuhri berkata: saat itu
Mu’awiyah lebih baik dari Amr bin Ash) “tunggu dulu wahai Abu Abdillah,
sesungguhnya kamu tidak berhenti membunuh mereka sehingga penduduk Syam juga
terbunuh dengan jumlah yang sama, maka apa kebaikan dari hidup setelah itu?
Adapun aku demi Allah aku tidak akan berperang sehingga aku melihat ada
keharusan untuk berperang”.
Kemudian Mu’awiyah bertemu dengan al-Hasan setelah itu, dan
al-Hasan mengalah dan menyerahkan jabatan kekhalifahan kepada Mu’awiyah, dan
jadilah Mu’awiyah sebagai Amirul Mukminin, dan tahun ini disebut sebagai Al-’Aam
Al-Jama’ah. Dan al-Hasan saat itu menjabat sebagai Khalifah selama enam
bulan.
Mu’awiyah bin Abu Sufyan Radhiyallahu ‘anhuma
Mu’awiyah bin Abu Sufyan masuk islam sebelum ayahnya pada waktu Umrah
Qadha’ pada tahun 7 Hijrah, dan dia mengumumkan keislamannya pada tahun
al-Fatah (penaklukan Makkah).[67]
Para istri dan anak-anaknya:
1.
Maysun binti Bahdal al-Kalbiyah, dengan beliau memiliki anak
bernama Zaid
2.
Fakhitah binti Qurdzah al-Munafiyah, dengan beliau memiliki anak
bernama Abdurrahman dan Abdullah
3.
Nailah binti Umarah al-Kalbiyah, dengan beliau tidak memiliki anak
Keutamaan-keutamaan beliau:
1.
Rosulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam berkata: “Ya Allah
jadikanlan dia (Mu’awiyah) orang yang mendapatkan petunjuk dan memberikan
petunjuk kepada manusia”.[68]
2.
Sabda Beliau juga: “Ya Allah ajarkanlah kepada Mu’awiyah Al-Kitab,
Hisab (hitungan) dan jagalah dia dari adzab”.[69]
3.
Dalam riwayat yang panjang dari Ummu Haram binti Milhan, Rasulullah
mengatakan bahwa Mu’awiyah adalah sahabat yang pertama kali berperang dan
membawa pasukannya menaiki kapal.[70]
4.
Ibnu Abbas berkata bahwa Mu’awiyah adalah seorang yang Faqih.[71]
Dsb.
Wafatnya Mu’awiyah:
Beliau menjabat sebagai Amirul Mukminin selama 20 tahun kira-kira
sampai tahun 60 Hijrah, dan beliau wafat pada tahun yang sama. Dan pada masa
beliau adalah masa penaklukan dan ketenangan.
Kejadian-kejadian penting pada masa Khalifah Mu’awiyah:
Kekhilafahan Mu’awiyah adalah suatu kebaikan bagi kaum muslimin
saat itu, yang pada masa beliau segala kekacauan reda, dan peperangan antar
kaum muslimin berhenti, dan pengembalian harta rampasan perang kepada musuh,
karena pada masa beliau kaum muslimin bersatu padu pada kata yang satu, mereka
mengarahkan kekuatan mereka keluar ketika bendera jihad diangkat dan pada masa
beliau adalah masa-masa penaklukan, dan beliau memiliki sejarah yang baik
diantara kaum muslimin, dan mendekatkan yang jauh, dan tidak ada orang yang
menyelisihinya pada masanya bahkan semua muslimin berperan dalam ketaatan
kepada beliau kecuali beberapa kelompok kecil seperti Khawarij, dan pada masa
beliau terkenal dengan sebutan As-Shawaif dan As-Syawaty yang berarti
peperangan musim panas dan musim dingin.
Dan adapun hal-hal yang tercapai dan kejadian penting pada masa
beliau diantaranya;
1.
Pembangunan lembaga untuk pembuatan kapal di Mesir pada tahun 54
Hijriyah
2.
Peperangan Konstantinopel tahun 50 Hijriyah, dan pada peperangan
ini Mu’awiyah membawa pasukannya menaiki kapal laut.[72]
Beliau memeranginya kembali pada tahun 54 Hijriyah dan berhasil menaklukannya
pada tahun 57 Hijriyah. Begitu juga penaklukan-penaklukan yang terlah berhasil
seperti penaklukan Tikrit, Rodes, Benzert, Susah, Sijistan, Kuhistan, dan Negara-negara
Sanad.
3.
Pembangunan Qayruwan.[73]
4.
Perubahan dari masa Khalifah menjadi Kerajaan, Safinah Abu
Abdirrahman budak Rosulullah berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam
bersabda: “Kekhilafahan Nubuwah adalah tiga puluh tahun, kemudian Allah
memberikan kerajaannya kepada siapa saja yang dikehendakinya”, Safinah berkata:
“kekhilafahan Abu Bakar selama 2 tahun, dan kekhilafahan Umar selama 10 tahun,
dan kekhilafahan Utsman selama 12 tahun dan kekhilafahan Ali selama 6 tahun”.[74]
Dan jika kita melihat pada buku-buku sejarah para pakar sejarah menyebutkan
bahwa Abu Bakar menjadi Khalifah selama 2 tahun 3 bulan, Umar selama 10 tahun 2
bulan, Utsman selama 12 tahun 4 bulan, Ali selama 4 tahun 9 bulan dan al-Hasan
selama 6 bulan, dan jumlah keseluruhan adalah 30 tahun. Ibnu Katsir mengatakan
bahwa al-Hasan menyerahkan kekhalifahan kepada Mu’awiyah pada bulan Rabi’ul
Awwal tahun 41 Hijriyah, dan dengan demikian sempurna 30 tahun setelah
meninggalnya Rasulullah shallallahu ‘alahi wasallam.[75]
Abu Ubaidah Amir bin al-Jarrah meriwayatkan, Rasulullah bersabda: “awal Din
kalian adalah Nubuwah dan Rahmah, kemudian kerajaan dan Rahmah, kemudian
kerajaan a’far (keruh), kemudian kerajaan dan jabarut (thaghut)”.[76]
5.
Wafatnya al-Hasan bin Ali, yaitu pada masa kekhalifahan Mu’awiyah
pada tahun 49 Hijriyah.
6.
Bai’at terhadap Yazid bin Mu’awiyah, Mu’awiyah telah memerintah
kaumnya untuk membai’at Yazid pada tahun 56 H,
dalam hal ini mu’awiyah keluar dari koridor sebagaimana yang dilakukan
oleh Rasulullah Shallallahu ‘alalihi wasallam, Abu Bakar, Umar, Utsman dan Ali
Radhiyallahu ‘anhum ajma’in, yang mana mereka memberikan kepemimpinan kepada
yang bukan kerabatnya (keturunan langsung). Akan tetapi saat itu Mu’awiyah
melihat keamanan, ketaatan dan kenyamanan kaum muslimin di daerah Yazid berada.[77] Dan
inilah yang terjadi walaupun ini tidak benar, karena yang benar adalah
pengangkatan kepemimpinan selanjutnya lewat Syura.
Sikap Ahlussunnah wal Jama’ah tentang bai’at kepada Yazid bin
Mu’awiyah:
Ahlus Sunnah wal Jama’ah mengatakan: sesungguhnya bai’at terhadap
Yazid shahih (benar), akan tetapi mereka mencela hal tersebut dari dua segi:
1.
Bahwa hal ini adalah suatu penemuan baru, yaitu menjadikan
kepemimpinan selanjutnya kepada anaknya seolah-olah kepemimpinan adalah
warisan, setelah yang pada saat sebelumnya kekhilafahan diangkat melalui Syura,
atau Tanshish (khalifah sebelumnya menunjuk orang lain untuk menggantikannya)
kepada yang bukan kerabat, sementara yang dilakukan Mu’awiyah adalah menunjuk
kerabatnya sekaligus anak kandungnya sendiri, dan dengan kejadian ini Ahlus
Sunnah wal Jama’ah tidak membenarkan keputusan ini, dan mereka menentang asas
kepemimpinan ini sebagai warisan.
2.
Bahwa pada saat itu ada banyak dari kalangan shahabat yang lebih
berhak dan lebih baik untuk diangkat sebagai Amirul Mukminin dari pada Yazid,
seperti Ibnu Umar, Ibnu az-Zubair, Ibnu Abbas, dan al-Husain, dan yang lainnya.
Adapun orang-orang syi’ah mereka berpendapat bahwa yang berhak
untuk menjabat kekhalifahan hanya Ali bin Abu Thalib dan keturunannya sampai
hari kamat, maka dari itu mereka tidak mencela karena bai’at terhadap Yazid
tersebut, akan tetapi mereka mencela bai’at kepada siapa saja selain kepada Ali
bin Abu Thalib dan keturunannya, maka dengan dasar ini mereka juga mencela
bai’at kekhalifahan Abu Bakar, Umar, Utsman, dan Mu’awiyah.
Apakah Yazid pantas untuk menjabat kekhalifahan?
Ibnu Katsir[78]
dalam Al-Bidayah wan Nihayah menyebutkan tentang kisah Abdullah bin Muthi’ dan
teman-temannya, bahwa mereka mendatangi Muhammad bin al-Hanafiyyah bin Ali bin
Abu Thalib, al-Hanafiyyah adalah saudara al-Hasan dan al-Husain, mereka
menginginkan pencabutan jabatan Yazid, maka Muhammad enggan terhadap mereka,
Ibnu Muthi’ berkata: “sesungguhnya Yazid bin Mu’awiyah minum khamr, dan
meninggalkan shalat”, Muhammad berkata: “aku tidak melihatnya seperti yang
kalian sebutkan, dan sungguh aku telah menjenguknya dan tinggal di rumahnya dan
aku melihat beliau menjaga shalatnya, dan selalu berbuat baik, dan bertanya
tentang masalah fiqih, juga berpegang teguh pada Sunnah Rasulullah”, mereka
berkata: “itu hanya dibuat-buat didepanmu”, Muhammad bin al-Hanafiyyah
menjawab: “apa yang dia takutkan dan harapkan dariku? apakah kalian melihat apa
yang kalian katakan bahwa dia minum khamr? Jika saat itu dia memperlihatkan
kepada kalian maka sesungguhnya kalian adalah sekutunya, dan jika tidak maka
kalian tidak boleh bersaksi pada sesuatu yang kalian tidak mengetahuinya”,
mereka berkata: “tapi menurut kami itu benar, walupun kami tidak melihatnya”,
Muhammad bin al-Hanafiyyah berkata: “Allah enggan terhadap orang yang bersaksi
seperti itu”, kemudian beliau membaca:
الزخرف: 86 ((إِلاَّ مَن شَهِدَ بِالْحَقِّ وَهُمْ يَعْلَمُون))
Maka kefasikan yang dituduhkan kepada Yazid seperti minum khamr, memainkan
kera betina, ataupun melakukan hal yang keji atau yang semacamnya itu tidaklah
terbukti secara benar, maka hal ini kita tidak boleh memercayainya, dan kembali
hendaknya kepada hukum asal yaitu As-Salaamah (benar dan sah), dan hanya
Allah yang tahu. Akan tetapi dzahir dari riwayat Muhammad bin al-Hanafiyyah
tersebut bahwasannya tidak ada hal-hal yang disebutkan diatas, maka wallahu
a’laa wa a’lam bisshawab tentang Yazid dan hal itu bukanlah urusan kita.
Walaupun seandanya kita terima tuduhan tersebut dan benar demikian, walaupun
seorang pemimpin itu fasiq bukan berarti kita boleh untuk keluar kepadanya
dengan cara seperti ini.
Yazid bin Mu’awiyah bin Abu Sufyan Radhiyallahu ‘anhum
Yazid bin Mu’awiyah bin Abi Sufyan
lahir pada tahun 25 H, juga ada perbedaan pendapat tentangnya, ada yang mengatakan
tahun 26 H, atau 27 H. Dan beliau meninggal pada tahun 64 H.
Al-Husain bin Ali bin Abu Thalib Radhiyallahu ‘anhuma
Lahir pada
tahun 4 H, istri-istri beliau adalah: Laila binti Urwah, Syah Zenan
binti Yazdajrad, Rabab binti Imru’u Qais, dan wanita dari kabilah Baliy.
Putra-putri
beliau: Ali As-Sajjad yang dikenal dengan Zainal Abidin, Ali Al-Akbar, Ja’far,
Ali Al-Ashghar, Sakinah dan Fathimah.
Keutamaan
beliau: beliau adalah Sayyid pemuda penghuni syurga, beliau adalah permata hati
Rasulullah di Dunia, dan Rasulullah telah berkata dan menunjuk kepada al-Hasan
dan al-Husain: “barang siapa yang mencintai dua cucu saya ini maka dia
mencintaiku”.
Beliau wafat pada tahun 61 H.
Bai’at kepada Yazid dan penolakan al-Husain untuk membai’atnya dan
keluarnya beliau dari Makkah ke Kufah[79]
Yazid dibai’at menjadi Amirul
Mukminin pada tahu 60 H, pada usianya yang ke 34 tahun, akan tetapi al-Husain
dan Abdullah bin az-Zubair tidak mau membai’atnya pada saat itu mereka berdua
berada di Al-Madinah, ketika mereka berdua diminta untuk membai’at beliau
Abdullah bin az-Zubair berkata: “akan kulihat malam ini kemudian aku beritahu
kalian pendapatku”, mereka menjawab: “ya”, ketika malam tiba Abdullah bin
az-Zubair kabur menuju ke Makkah. Begitu al-Husain mengatakan: “aku tidak
membai’at secara sembunyi-sembunyi, tapi dengan terang-terangan di depan orang
banyak”, dan setelah malam tiba beliau menyusul Ibnu az-Zubair ke Makkah.
Penduduk Iraq menyurati al-Husain
Setelah kabar bahwa al-Husain tidak
membai’at Yazid bin Mu’awiyah sampai kepada penduduk Iraq, dan mereka tdak
menghendaki Yazid bahkan juga Mu’awiyah, karena mereka beranggapan kekhalifahan
hanya berhak diberikan kepada Ali bin Abu Thalib dan keturunannya saja, maka
mereka menyurati kepada al-Husain bin Ali yang didalamnya berisi perkataan
mereka: “sesungguhnya kami telah membai’at Anda, dan kami tidak mau membai’at
kecuali kepada Anda saja, juga tidak ada dalam nadi kami untuk membai’at kepada
Yazid”.
Dan surat-surat tersebut semakin
banyak hingga mencapa kira-kira 500 pucuk yang semuanya datang dari penduduk Kufah
yang mana mereka mengundang kedatangan al-Husain kepada mereka.
Al-Husain mengirim Muslim bin ‘Aqil
Melihat keadaan ini al-Husain
mengirim sepupunya Muslim bin ‘Aqil untuk pergi ke Kufah, untuk mencari tahu
dan memastikan kebenaran perkara ini. Maka ketika Muslim bin ‘Aqil sampai di Kufah
dan menanyai penduduknya tentang perihal tersebut sehingga beliau mengetahui
bahwa penduduk Kufah tidak menginginkan bai’at terhadap Yazid, kemudian beliau
singgah di rumah Hani’ bin ‘Urwah dan datanglah orang-orang penduduk sekitar
untuk menemui beliau dan membai’atnya untuk al-Husain.
Pada saat itu Nu’man bin Basyir
adalah gubernur Kufah dari pihak Yazid bin Mu’awiyah, ketika kabar ini sampai
kepada beliau, beliau bersikap seolah-olah tidak mendengarnya dan tidak
berusaha untuk menyelesaikan perkara sehingga beberapa orangnya pergi menemui
Yazid di Syam dan menyampaikan kabar perihal tersebut bahwa Muslim bin ‘Aqil
dibai’at penduduk Kufah untuk al-Husain bin Ali, sementara Nu’man bin Basyir
tidak peduli pada hal ini.
Mengetahui hal ini Yazid bin
Mu’awiyah memerintahkan untuk menurunkan jabatan Nu’man bin Basyir, dan mengangkat
Ubaidullah bin Ziyad menjadi gubernur Kufah menggantikannya, yang sebelumnya
Ubaidullah sebagai gubernur Basrah kemudian menuju Kufah dengan tujuan
membereskan kekacauan. Ketika Ubaidullah sampai di Kufah dengan tudung muka
melewati penduduk mereka mengatakan: “wa’alaikassalam wahai putra dari
putri Rasulullah”, mereka mengira bahwa yang bertudung tersebut adalah
al-Husain, dan dia masuk Kufah diam-diam pada malam hari. Dengan hal ini
Ubaidullah mengetahui bahwa masalah ini serius dan bahwa penduduk sedang
menantikan al-Husain bin Ali, kemudian dia mengutus Ma’qil (budak yang dia bawa
dari Basrah) untuk menginvestigasi permasalahan dan mencari siapa oknum di
belakang permasalahan ini?
Ma’qil melaksanakannya dan menyamar
sebagai seseorang berasal dari Himsha dan membawa 3000 dinar untuk
membantu al-Husain bin Ali yang kemudian bertanya pada penduduk sekitar tentang
kejadian yang sedang berlangsung sampai dia diberi tahu keberadaan rumah Hani’
bin Urwan, ketika masuk ke rumah Urwah dia mendapati Muslim bin ‘Aqil di sana
yang kemudian membai’atnya seperti yang dilakukan penduduk Kufah dan memberinya
3000 dinar tersebut sehingga Ma’qil sering mondar-mandir terjun ke penduduk dan
ke istana pemerintahan menemui ke Ubaidillah untuk mengkabarkan perkembangan
yang terjadi.
Al-Husain bin Ali berangkat Menuju Kufah
Setelah keadaan Kufah stabil (yaitu
mayoritas penduduknya membai’at al-Husain), Muslim bin ‘Aqil mengirim surat
kepada al-Husain yang mengatakan didalamnya meminta beliau datang ke Kufah
karena perkara telah terlaksana. Maka al-Husain bin Ali pergi pada hari
Tarwiyah, sementara Ubaidullah
mengetahui apa yang dilakukan Muslim bin ‘Aqil dan berkata: “aku harus menemui
Hani’ bin ‘Urwah”, kemudian dia mendatanginya dan bertanya: “dimana Muslim bin
‘Aqil?” Hani’ menjawab: “aku tak tahu”. Kemudian Ubaidullah memanggil budaknya
(Ma’qil) dan berkata: “apakah kau mengenalnya?” Hani menjawab: “ya”, maka
terbongkarlah yang sebenarnya dan Hani’ tahu bahwa masalah ini adalah tipu daya
Ubaidullah bin Ziyad, dan Ma’qil adalah suruhannya sebagai mata-mata untuknya,
Ubaidullah berkata sekali lagi: “dimana Muslim bin ‘Aqil?” Hani menjawab:
“walaupun dia di bawah kakiku aku tidak akan mengangkatnya dan menyerahkannya
padamu”. Kemudian Ubaidullah memukulnya dan memerintahkan untuk memenjarakan
Hani’ bin ‘Urwah.
Penduduk Kufah Menelantarkan Muslim bin ‘Aqil
Setelah Muslim mengetahui kabar
penahanan Hani’ bin Urwah beliau membawa 4000 penduduk Kufah keluar menuntut
Ubaidullah, sedangkan saat itu Ubaidullah bersama para pembesar penduduk
setempat dan mempengaruhi mereka supaya mereka mempengaruhi orang-orang yang
bersama Muslim bin ‘Aqil agar mereka tidak mempercayai Muslim dan meninggalkannya,
maka satu demi satu orang-orang meninggalkannya sehingga tinggal 40 dari 4000
orang yang tertinggal, dan ketika matahari tenggelam tidak satupun yang menetap
bersama Muslim sehingga beliau sendirian dan berjalan tidak tahu mau ke mana,
pada akhirnya beliau mengetuk rumah seorang wanita dari Kindah dan
berkata: “saya minta air!” maka heranlah wanita tersebut dan bertanya:
“siapakah gerangan engkau ini?” beliau menjawab: “aku Muslim bin ‘Aqil”, dan
seraya memberitahu si wanita tentang apa yang terjadi, bahwa semua orang telah
menelantarkan dan meninggalkannya sendirian, dan bahwa al-Husain akan datang
karena dia telah memintanya datang, dipersilahkanlah Muslim masuk dan diberinya
minuman dan makanan.
Sayangnya anak laki-laki si wanita
diam-diam pergi ke Ubaidullah dan memberitahunya tentang keberadaan Muslim,
maka kemudian Ubaidullah mengirim 70 pasukan untuk mengepung Muslim, beliau
bereaksi dengan melawan mereka sendrian yang berakhir dengan menyerahkan diri
ketika mereka mengamankan beliau dan dibawa ke istana pemerintahan yang
Ubaidullah berada disana.
Sampainya di istana Ubaidullah
bertanya kepada Muslim tentang apa gerangan yang membuat Muslim keluar seraya
berkata: “bai’at kami hanya untuk al-Husain bin Ali”, beliau berkata: “apakah
kalian tidak membai’at Yazid bin Mu’awiyah?” Ubaidullah menjawab: “aku akan
membunuhmu”. Muslim berkata: “biarkan aku memberi wasiyat kalau begitu!” “ya
silahkan!”, kemudian Muslim menoleh dan melihat Umar bin Sa’ad bin Abi Waqash
dan berkata padanya: “kamu orang yang paling mengasihiku daripada orang lain,
maka kemarilah aku beri wasiyat!”, maka diajaknya kebagian samping ruangan
untuk memberinya wasiyat yang intinya Muslim meminta Umar bin Sa’ad bin Abi
Waqash untuk mengirim seseorang untuk memberi tahu al-Husain untuk kembali ke
Makkah dan bahwa penduduk Kufah telah menelantarkannya, dan bunyi pesan Muslim
yang terkenal untuk disampaikan kepada al-Husain yaitu “Kembalilah kepada
keluargamu, jangan sampai penduduk Kufah memperdayamu karena sesungguhnya
mereka telah membohongimu dan aku, dan tidaklah pembohong itu memiliki
pandangan baik”.
Muslim bin ‘Aqil dibunuh pada hari
Arafah sementara al-Husain bin Ali telah pergi pada hari Tarwiyah sehari sebelum
beliau dibunuh.
Penentangan para Shahabat karena Keluarnya al-Husain bin Ali ke
Iraq
Banyak dari kalangan Shahabat yang berusaha untuk menahan dan
melarang al-Husain bin Ali keluar, diantara mereka adalah Abdullah bin Umar,
Abdullah bin Abbas, Abdullah bin Amr bin al-Ash, Abu Sa’id al-Khudry, Abdullah
bin az-Zubair, dan saudaranya Muhammad bin al-Hanafiyyah. Diantara perkataan
mereka yaitu:
1.
Abdullah bin Abbas berkata ketika melihat al-Husain akan keluar:
“seandainya orang-orang tidak menghina aku dan kamu sungguh aku akan
melingkarkan tanganku di kepalamu dan tidak akan aku biarkan kau pergi”.[80]
2.
Abdullan bin Umar; as-Sya’by mengatakan bahwa saat itu Ibnu Umar
berada di Makkah dan menerima kabar bahwa al-Husain berangkat menuju Iraq, maka
dia mengejarnya selama 3 malam, setelah berhasil mengejarnya beliau berkata:
“mau kemana kau?” al-Husain menjawab: “mau ke Iraq”, seraya menunjukkan
surat-surat yang dia terima dari Iraq yang menyatakan bahwa mereka membai’atnya
dan berkata: “ini surat-surat dan ba’at mereka”. (mereka telah memperdayanya).
Ibnu Umar berkata: “jangan mendatangi mereka”, maka al-Husain enggan kecuali
akan tetap pergi, dan beliau melanjutkan perkataannya: “sesungguhnya aku
mengkabarimu sebuah hadits bahwasannya Jibril datang kepada Nabi Shallallahu
‘alaihi wasallam dan memberinya pilihan antara dunia dan akhirat maka beliau
memilih akhirat dan tidak menginginkan dunia, dan bahwa kamu sebagian darinya,
dan Allah tidak menghendaki salah satu dari kalian mengikuti duna selamanya,
dan Allah tidak menerimanya dari kalian kecuali kecuali yang baik bagi kalian”,
dan al-Husain tetap enggan untuk kembali maka Abdullah bin Umar memeluknya dan
menangis seraya berkata: “aku percayakan kau pada Allah dari kematian”.[81]
3.
Abdullah bin az-Zubair bertanya kepada al-Husain: “mau kemana kau?
Apa mau pergi kepada kaum yang telah membunuh ayahmu dan men-Tha’n (mencela)
saudaramu, jangan pergi!”, maka al-Husain enggan dan tetap keluar.[82]
4.
Abu Sa’id al-Khudry berkata kepada al-Husain: “wahai Abu Abdillah
sesungguhnya aku menasehatimu dan aku kasihan padamu, telah sampai padaku bahwa
sebuah kaum pendukungmu di Kufah mengirimimu surat-surat dan memintamu keluar
kepada mereka, maka jangan keluar! Sesungguhnya aku telah mendengar ayahmu
berkata saat di Kufah: “Demi Allah aku telah bosan pada mereka dan membenci
mereka, mereka juga telah bosan dan benci padaku, dan mereka tidak pernah
menepati sama sekali, dan siapa yang beruntung dengan mereka maka dia beruntung
dari as-sahm al-akhyab, demi Allah mereka tidak punya niat baik tidak
juga tekad pada suatu perkara tidak juga sabar terhadap pedang””.[83]
Adapun dari kalangan bukan Shahabat yang melarang al-Husain bin Ali
keluar diantaranya yaitu:
1.
Al-Farazdaq sang Penyair, yang saat itu setelah keluarnya al-Husain
yang bertemu dengannya di perjalanannya maka al-Husain berkata: “dari mana
kau?” “dari iraq”, katanya, “bagaimana keadaan penduduk iraq?”, “hati mereka
bersamamu dan pedang mereka bersama Bani Umayyah”. Dan al-Husain tetap enggan
kecuali tetap keluar, maka al-Farazdaq berkata: “Allahul musta’aan”.[84]
Sampainya Al-Husain di Qadisiyah
Ketika wasiat Muslim bin Aqil sampai
kepada al-Husain bin Ali lewat utusan yang dikirim oleh Umar bin Sa’ad,
al-Husain berniat akan kembali maka beliau menanyakan perihal ini kepada
anak-anak Muslim, mereka menjawab: “tidak, demi Allah kami tidak akan pulang
sehingga kami menuntut balas atas ayah kami”, maka beliau mengambil pendapat
mereka.
Ketika Ubaidullah bin Ziyad
mengetahui perihal keluarnya al-Husain dia memerintah al-Hurr bin Yazid
at-Tamimy untuk keluar bersama seribu pasukan maju untuk menemui al-Husain di
jalan, maka mereka menemukan dan bertemu al-Husain dekat Qadisiyah. Al-Hurr
berkata kepada al-Husain: “mau kemana engkau wahai putra dari putri
Rasulullah?”, “ke Iraq”, “sesungguhnya aku memerintahmu untuk kembali, supaya
Allah tidak mencelakakan kami dengan kehadiranmu, kembalilah ke tempat asalmu
atau pergilah ke Syam dimana Yazid bin Mu’awiyah berada dan jangan datang ke Kufah!”,
Al-Husain enggan dengan perintah itu kemudian tetap berjalan menuju Iraq yang
membuat al-Hurr melawannya dan menahannya, maka al-Husain berkata padanya:
“menjauhlah dariku, tsakalatka ummuk (umpatan; semoga ibumu membunuhmu)!”,
al-Hurr menjawab: “demi Allah seandainya yang mengatakannya orang lain dari
kalangan Arab sungguh aku akan membalasnya dan ibunya, akan tetapi apa yang
akan aku katakan sementara Ibumu adalah Sayyidah para wanita di dunia!”.
Pembunuhan Al-Husain bin Ali Radhiyallahu ‘anhuma
Sampainya Al-Husain di Karbala’
Perjalanan al-Husain bin Ali sampai
pada suatu tempat yang dinyatakan sebagai Karbala, dan beliau bertanya pada
orang sekitar bahwa tempat apa ini? Mereka menjawab “karbala”, maka beliau
berkata: “Karb wa Balaa’”. Dan ketika pasukan Umar bin Sa’ad yang
berjumlah empat ribu sampai Umar berbicara kepada al-Husain dan memintanya
untuk pergi ke Iraq bersamanya dimana Ubaidullah bin Ziyad berada dan beliaupun
enggan. Dan ketika beliau melihat bahwa perkara ini serius beliau berkata
kepada Umar: “aku memberimu tiga pilihan maka pilihlah salah satunya!”, “dan
apa itu?”, “kau membiarkan aku kembali, atau pergi ke salah satu celah kaum
muslimin, atau aku akan pergi ke Yazid bin Mu’awiyah sehingga aku menyerahkan
diriku dibawah kekuasaannya di Syam”, maka Umar berkata: “ok, kirimkan utusanmu
ke Yazid dan aku kirimkan utusanku ke Ubaidullah dan kemudian kita lihat
bagaimana selanjutya”, al-Husain tidak mengirimkan utusan kepada Yazid bin
Mu’awiyah tetapi Umar mengirimkan utusannya kepada Ubaidullah.
Ketika utusan Umar bin Sa’ad datang
ke Ubaidullah dan menyampaikan tentang al-Husain yang berkata (aku berikan
pilihan kepada kalian antara tiga perkara ini), Ibn Ziyad rela terhadap yang
manapun yang dipilih oleh al-Husain, dan ketika itu Ubaidullah memiliki
seseorang yang bersamanya yang bernama Syamr bin Dzy al-Jausyan dan dia
termasuk kerabatnya, maka Syamr berkata: “tidak demi Allah sehingga dia tunduk
pada hukummu”, terpengaruhlah Ubaidullah dengan perkataan Syamr, maka dia berkata:
“ya, hingga dia tunduk pada hukumku”. Maka kemudian Ubaidullah mengirim Syamr dan
berkata: “pergilah sehingga al-Husain tunduk pada hukumku, itu jika Umar bin
Sa’ad rela dan jika tidak maka kau akan menggantikan kedudukannya sebagai
panglima”.
Dan padahal pada saat itu Ubaidullah
telah menyiapkan Umar bin Sa’ad dengan empat ribu tentara pergi ke ar-Ray, dan
berkata kepadanya: “selesaikan perkara al-Husain kemudian pergilah ke ar-Ray”,
dan dia telah menjanjikannya kedudukan di ar-Ray.
Setelah Syamr keluar dan kabar
sampai pada al-Husain bahwa beliau harus tunduk pada hukum Ubaidullah meka
beliau menolaknya dan berkata: “tidak demi Allah aku tidak mau tunduk pada
hukumnya selamanya”.
Al-Husain mengingatkan Pasukan Kufah atas Nama Allah
Al-Husain ditemani oleh tujuh puluh
dua pasukan berkuda, sementara itu pasukan Kufah sebanyak lima ribu, dan ketika
kedua pasukan ini berhadapan al-Husain berkata kepada pasukan Ibn Ziyad: “apa
pantas bagi kalian berperang melawanku? Sedangkan aku adalah putra dari putri
Nabi kalian, dan tidak ada lagi di atas bumi ini anak dari putri Nabi selainku,
dan sungguh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam telah berkata tentangku dan
saudaraku: “dua cucuku ini adalah Sayyid pemuda penghuni syurga””.[85]
Beliau mulai menganjurkan mereka
untuk meninggalkan urusan Ubaidullah bin Ziyad dan berpihak kepadanya, maka
berpihaklah tiga puluh orang dari mereka, dan diantara mereka adalah al-Hurr
bin Yazid at-Tamimy yang sebelumnya adalah panglima pasukan Ubaidullah, maka ada
yang berkata kepada al-Hurr: “kamu datang bersama kami sebagai pimpinan
panglima dan sekarang kamu berpihak kepada al-Husain?”, maka al-Hurr menjawab:
“celakalah kalian, demi Allah sesungguhnya aku memberi pilihan diriku antara
syurga dan nereka, ikut kalian berarti nereka, demi Allah aku memilih syurga
walupun aku terpotong-potong dan terbakar”.
Kemudian al-Husain melaksanakan
shalat Dzuhur dan Ashr pada hari kamis, mengimami kedua belah pasukan, dan
bahwa sebelumnya beliau berkata kepada mereka: “dari kalian seorang imam, dan
dari kami seorang imam”, mereka berkata: “tidak, tapi kita shalat di
belakangmu”, maka mereka berjama’ah di belakang al-Husain.
Ketika mendekati waktu Maghrib
mereka maju dengan kuda-kuda mereka ke arah al-Husain sementara saat itu beliau
sedang duduk memeluk pedangnya dan tertidur sebentar, ketika beliau melihat
mereka beliau berkata: “apa ini?” “mereka telah maju”, “pergilah kepada mereka
dan bicaralah pada mereka katakan apa mau mereka!”. Maka pergilah dua puluh
penunggang kuda diantara mereka adalah al-Abbas bin Ali bin Abu Thalib saudara
al-Husain, maka mereka berbincang dan bertanya pada mereka apa maunya, mereka
berkata: “Dia tunduk pada hukum Ubaidullah bin Ziyad atau dia berperang melawan
kami!” utusan al-Husain menjawab: “sampai kami menyampaikan kepada Abu
Abdillah”, kembalilah mereka kepada al-Husain dan memberi tahunya hasil
perbincangan, maka beliau berkata: “katakan kepada mereka, tinggalkan kami
malam ini dan besok kami kabari kalian seingga aku shalat dasn berdo’a kepada
Rabbku, maka sesungguhnya aku suka shalat dan berdo’a kepada Rabbku”, maka
beliau bermalam malam itu dan melakukan shalat dan beristighfar dan berdo’a
kepada Allah dan mendo’akan orang-orang yang bersamanya.
Serangan At-Thaf (61 H)
Pada pagi hari jum’at terjadilah
peperangan antara dua pasukan ketika al-Husain menolak untuk menyerahkan diri
kepada Ubaidullah bin Ziyad, padahal saat itu dua pasukan tersebut tidak
seimbang, maka pasukan al-Husain melihat bahwa mereka tidak mampu untuk melawan
pasukan musuh dan keinginan mereka hanya satu yaitu mati bersama al-Husain bin
Ali Radhiyallahu ‘anhuma, dan gugurlah mereka satu persatu hingga tak tersisa
dari pasukan al-Husain kecuali beliau sendiri, dan saat itu anaknya Ali bin al-Husain
bin Ali sakit.
Dan tinggallah al-Husain setelah itu
di hari yang panjang, dan tak satupun yang berani maju sehingga beliau kembali
karena mereka takut membunuhnya, hal ini berlanjut hingga datanglah Syamr bin
Dzy al-Jausyan dan berteriak kepada pasukannya: “celakalah kalian, semoga ibu
kalian membunuh kalian, kepung dia dan bunuh!”, maka datanglah mereka dan
mengepung beliau, sehingga beliau berjalan diantara mereka dengan pedangnya dan
membunuh beberapa dari mereka dan pada saat itu beliau bagaikan binatang buas,
akan tetapi pasukan yang banyak itu mengalahkan keberanian al-Husain. Dan
berteriaklah Syamr: “celakalah kelian, apa yang kalian tunggu?! Majulah!”. Maka
mereka maju kepada beliau dan membunuhnya, dan yang membunuh beliau secara
langsung adalah Sinan bin Anas an-Nakh’iy dan memenggal kepala beliau, dan
pendapat lain mengatakan: Syamr, Qabbachahumallah.
Setelah al-Husain bin Ali terbunuh
kepalanya dibawa kepada Ubaidullah di Kufah dan dia mengeluarkan tongkat dan menusuk-nusukkannya
ke mulut al-Husain, maka Anas bin Malik berdiri dan berkata: “demi Allah, aku
akan mengataimu sesuatu yang buruk, dan sungguh aku telah melihat Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wasallam mencium tempat kau menusuk-nusukkan tongkatmu dari
mulutnya”.[86]
Ibrahim an-Nakh’iy berkata: “jika aku berada diantara orang yang membunuh
al-Husain kemudian aku dimasukkan ke syurga maka aku akan malu untuk lewat di
depan Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam dan beliau melihat ke wajahku”.[87]
Siapakah yang terbunuh bersama al-Husain dari keluarganya?
Yang terbunuh dari putra-putra Ali bin Abu Thalib adalah, al-Husain
sendiri, Ja’far, al-‘Abbas, Abu Bakar, Muhammad dan Utsman.
Dan dari putra-putra al-Husain adalah, Abdullah dan Ali al-Akbar
(bukan Ali Zainal Abidin)
Dan dari putra-putra al-Hasan adalah, Abdullah, al-Qasim dan Abu
Bakar.
Dan dari putra-putra Aqil adalah, Ja’far, Abdullah, Abdurrahman,
Abdullah bin Muslim bin Aqil, dan Muslim bin Aqil yang terbunuh di Kufah.
Dan dari putra-putra Abdullah bin Ja’far adalah, ‘Aun, dan
Muhammad.[88]
Delapan belas orang yang semuanya termasuk Aalu Bait Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wasallam terbunuh di pertempuran yang tidak seimbang ini.
Tanda-tanda prediksi terbunuhnya al-Husain Radhiyallahu ‘anhu:
Dari Ummu Salamah berkata: “saat itu
Jibril bersama Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam dan al-Husain bersamaku,
kemudian al-Husain menangis dan aku tinggalkan dia, maka dia masuk dan mendekat
kepada Nabi Syallallahu ‘alaihi wasallam, kemudian Jibril berkata: apakah kamu
mencintainya wahai Muhammad?, Beliau menjawab: ya, Jibril berkata: sesungguhnya
ummatmu akan membunuhnya, dan jika kamu berkehendak aku akan memperlihatkan
kepadamu belahan bumi tempat dia akan dibunuh, kemudian Jibril memperlihatkan
kepada Rasulullah yaitu sebuah tempat yang dinamakan Karbala”.[89]
Dan dari Ummu Salamah dia berkata:
“aku mendengar Jin meratapi kematian al-Husain”.[90]
Dan adapun yang diriwayatkan bahwa langit menurunkan hujan darah, atau bahwa
dinding-dinding terbercak dengan darah, atau tidaklah setiap batu diangkat
kecuali dibawahnya ada darah, atau tidaklah ketika menyembelih onta kecuali
semua menjadi darah, semua riwayat ini adalah bohong dan omong kosong yang
tidak memiliki sanad yang shahih kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam atau
seorangpun yang menyaksikan kejadian, dan hal tersebut adalah dusta yang
desebutkan untuk menyentuh perasaan, atau riwayat-riwayat yang terputus dari
orang yang tidak sejaman dengan kejadian.[91]
Dan dari Ibnu Abbas, beliau berkata:
“aku telah melihat Naabi Shallallahu ‘alaihi wasallam dalam mimpi di tengah
siang dengan penampilan berantakan dan berdebu dan beliau membawa sebuah botol
yang di dalamnya adalah darah yang diambilnya, aku bertanya: apa ini wahai
Rasulullah?, beliau menjawab: ini darah al-Husain dan para sahabatnya dan aku masih
mengikutinya sejak hari ini”. Ammar periwayat hadits ini berkata: “dan ketika
terbangun kami menemukan al-Husain terbunuh pada hari itu”.[92]
Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam telah berkata: “barang siapa yang melihatku
dalam mimpinya maka sungguh dia telah melihatku”.[93]
Dan Ibnu Abbas adalah orang yang paling tahu tentang sifat Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wasallam.
Adzab dunia dan akhirat
Oknum yang menyuruh untuk membunuh
al-Husain adalah Ubaidullah bin Ziyad, akan tetapi tidak lama setelah
tebunuhnya al-Husain, Ubaidullah dibunuh oleh Mukhtar bin Abu Ubaid sebagai
balas dendan untuk al-Husain, dan Mukhtar termasuk orang yang menelantarkan
Muslim bin Aqil.
Maka keadaan penduduk Kufah saat itu,
mereka ingin membalas dendam pada mereka sendiri, karena mereka; pertama,
memperdaya Muslim bin Aqil hingga terbunuh dan tak satupun diantara mereka
bergerak menolongnya, kedua, ketika al-Husain keluar tidak satupun
membela beliau kecuali terbilang al-Hurr bin Yazid at-Tamimiy dan orang-orang
yang bersamanya, adapun penduduk Kufah sesungguhnya mereka menelantarkan
al-Husain dan maka dari itu kita mendapati mereka memukuli dada (tubuh) mereka
sendiri dan melakukan apa yang mereka anggap sebagai penghapusan kesalahan yang
dilakukan para pendahulu mereka seperti yang mereka yakini.[94]
Dari Umarah bin Umair berkata:
“ketika kepala Ubaidullah bin Ziyad dan para pendukungnya didatangkan kemudian
ditata di dalam masjid di Rahbah, dan Umarah berkata: aku telah sampai pada
mereka, dan mereka berkata: telah datang, telah datang, maka tiba-tiba seekor
ular datang menyusup-nyusup diantara kepala-kepala sehingga masuk pada lobang
hidung Ubaidullah bin Ziyad dan diam sebentar kemudian keluar dan pergi hingga
menghilang, kemudian mereka berkata: telah datang, telah datang, kemudian hal
tersebut terulang dua atau tiga kali”.[95]
Hal ini merupakan balasan dari Allah
Ta’ala untuk orang ini yang telah memiliki peran besar dalam pembunuhan
al-Husain Radhiyallahu ‘anhu. Dari Abu Raja’ al-Atharidiy berkata: “janganlah kalian
mencela Ali dan jangan pula kepada Ahlu Bait ini”, kemudian tetangga kami dari Balhujain
(sebuah kabilah dari Arab) berkata: ‘tidakkah kalian lihat orang fasiq ini
–al-Huain bin Ali- Allah telah membunuhnya’, maka Allah menimpakan orang ini pada
matanya warna putih yang menyerang matanya dan Allah mencabut penglihatannya”.[96]
Siapa yang membunuh Al-Husain bin Ali Radhiyallahu ‘anhu?
Sebelum kita mengenal pembunuh al-Husain perkenankan penulis
mengajak untuk flash-back sejenak ke masa Ali dan al-Hasan dan beberapa perkataan
dari kalangan Shahabat, Shahabiyat, dan Tabi’in Radhiyallahu ‘anhum:
1.
Ali Radhiyallahu ‘anhu
Beliau mengeluhkan para pengikutnya
(ahlu Kufah), beliau berkata: “sungguh ummat-ummat menjadi takut dari
kedzaliman para pemimpinnya dan aku menjadi takut terhadap kedzaliman rakyatku.
Aku telah meminta kalian pergi berjihad dan kalian tidak pergi, aku berbicara
pada kalian tapi kalian tidak mendengarkan, aku mengajak kalian secara sembunyi-sembunyi
dan terang-terangan dan kalian tidak menjawabnya, aku nasehati kalian dan tidak
kalian terima, apakah yang terlihat seperti yang tidak terlihat, dan hamba
seperti tuan? Aku sampaikan hikmah tapi kalian lari darinya, dan aku berikan kata-kata
nasehat yang baik tapi kalian bercerai berai, aku anjurkan kalian memerangi thaghut
dan belum selesai aku bicara kalian telah pergi ayaadiya sabaa>>[97],
kalian kembali ke majlis kalian dan berpura-pura dengan nasehat, aku bangunkan
kalian waktu pagi dan kalian kembali padaku bagaikan punggung ular (dengan
wajah berbeda), aku tak mampu mengajak kalian, dan kalian membuatku sakit,
kalian yang memberikan bencana kepada pemimpin-pemimpin kalian. Imam kalian
ta’at kepada Allah sementara kalian maksiyat kepada-Nya, demi Allah, aku menginginkan
jka Mu’awiyah bin Abu Sufyan mau menukarkan seorang rakyatnya dengan sepuluh
dari kalian. Wahai penduduk Kufah, aku telah diberi tiga pasang hal dari
kalian: ketulian yang memiliki pendengaran, bisu yang bisa berbicara, dan buta
yang memiliki penglihatan, kalian bukanlah orang-orang yang jujur ketika dalam
pertemuan, bukan pula sebagai teman sejati ketika dalam musibah, taribat
aydiikum (celakalah tangan-tangan kalian) wahai yang menyerupai onta-onta
yang kehilangan penggembalanya, ketika dikumpulkan di suatu tempat mereka
berpencar-pencar tak karuan”.[98]
Tidak hanya sampai di situ saja
kelakuan penduduk Kufah, bahkan mereka menuduh khalifah Ali bin Abu Thalib wal
‘iyaadzu billah sebagai pembohong:
As-Syrif Radhiy meriwayatkan dari
Amirul Mukminin Ali Radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata: “amma ba’du,
wahai penduduk Iraq, kalian bagaikan wanita yang hamil, ketika sempurna
kehamilannya yang sebelumnya perut membesar kemudian menjadi kecil, dan yang
suaminya meninggal, kemudian hidup panjang sebagai janda, dan kerabat jauh yang
mewarisinya, demi Allah aku tidak mendatangi kalian dengan senang hati, tetapi
aku datang pada kalian karena paksaan, dan sesungguhnya aku telah mendengar
kalian berkata: ‘Ali pembohong, qaatalakumullaah ! kepada siapa aku
berbohong?’.[99]
2.
Al-Hasan Radhiyallahu ‘anhu
Beliau Radhiyallahu ‘anhu berkata:
“aku melihat, demi Allah bahwa bagiku Mu’awiyah lebih baik dari mereka semua
(ahlu Kufah), mereka mengaku sebagai pendukungku. mereka menginginkan
membunuhku, merampasa barangku, dan mengambil hartaku, demi Allah jika
Mu’awiyah mengambil perjanjianku maka aku akan menahannya dengan darahku, dan
kuamankan dia di keluargaku lebih baik dari pada mereka membunuhku, maka akan
hilang ahlu bait-ku dan keluargaku, walaupun aku memerengi Mu’awiyah
sungguh mereka akan tetap menebas leherku sehingga mereka memaksaku tunduk”.[100]
Juga beliau berkata kepada para
pengikutnya: ”wahai penduduk iraq, bahwasannya kalian telah mengambil dengan
paksa dari kemurahan hatiku kepada kalian tiga hal, kalian membunuh ayahku,
kalian mencemarkan nama baikku, dan kalian merampas barang-barangku”.[101]
Pengkhianatan Ahlu Iraq dan mereka adalah Pembunuh Al-Husain
Sesungguhnya Muhammad bin Ali bin
Abu Thalib yang dikenal dengan Ibnu al-Hanafiyyah telah menasehati saudaranya
al-Husain: “wahai saudaraku, sesungguhnya ahlu Kufah telah kau ketahui pengkhianatan
mereka terhadap ayahmu dan saudaramu, dan sungguh aku takut kamu akan seperti
mereka yang telah lalu”.[102]
Sang Penya’ir al-Farazdaq berkata
kepada al-Husain ketika dia ditanya tentang pendukung al-Husain yang beliau
sedang menuju kepada mereka: “hati mereka bersamamu dan pedang-pedang mereka
melawanmu dan suatu perkara itu turun dari langin dan Allah melakukan sesuatu
sekehendakNya”, maka al-Husain berkata: “kamu benar, segala perkara adalah milik
Allah, setiap hari Dia dalam kesibukan, jika turun ketetapan-Nya yang kita suka
dan ridha maka kita memuji Allah atas ni’mat-ni’matnya, dan Dia tempat minta
pertolongan untuk bersyukur, dan jika terjadi ketetapan yang tidak diinginkan,
maka tidaklah menjauh dari siapa yang benar niatnya dan taqwa sebagai rahasianya”.[103]
Dan ketika al-Husain berorasi
didepan ahlu Kufah beliau menunjukkan pendahulu mereka dan perbuatan mereka
terhadap ayahnya dan saudaranya, berliau berkata dalam orasinya: “dan jika
kalian tidak melakukan dan melanggar perjanjian, dan kalian mencabut bai’at
terhadapku, maka rugilah aku jika aku menuruti kalian, sungguh kalian telah
melakukannya terhadap ayahku dan Muslim putra pamanku, maka kerugian yang akan
didapatkan bagi yang menuruti kalian”.[104]
3.
Ali bin al-Husain yang dikenal dengan Zainal Abidin
Beliau berkata mencela kepada
pendukungnya yang mereka telah menelantarkan dan membunuh ayahnya: “wahai
orang-orang! aku menyeru kalian dengan nama Allah apakah kalian tahu bahwa
kalian telah menulis kepada ayahku dan kalian telah menipunya, dan kalian telah
memberikan pada ayahku perjanjian dan bai’at kemudian kalian membunuh beliau
dan menelantarkannya, maka celakalah apa yang telah kalian lakukan, dan
buruklah pandangan kalian, dengan mata apa kalian melihat kepada Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wasallam ketika berkata kepada kalian: “telah kalian bunuh
sanak keluargaku, dan kalian telah melanggar kehormatanku, maka kalian bukanlah
ummatku”.
Suara-suara wanita meninggi dengan
tangisan di setiap penjuru, dan mereka berkata kepada sebagian mereka: kalian
celaka dan kalian tidak mengetahui. Maka Ali bin al-Husain berkata: “Allah
merahmati orang yang menerima nasehatku, dan menjaga wasiyatku dijalan Allah
dan Rasul-Nya dan Ahlu Bait Rasulullah, maka sesungguhnya dalam diri Rasulullah
terdapat tauladan yang baik bagi kami”, mereka semua berkata: ‘kami semua
mendengar dan ta’at dan berjaga untuk melindungimu tidak meninggalkanmu dan
tidak membencimu, maka perintahlah kami dengan perintahmu semoga Allah
merahmatimu, kami marah untuk kemarahanmu, damai untuk perdamaianmu, sungguh
kami membai’at Yazid dan berlepas dari orang yang mendzalimimu dan mendzalimi
kami’. Maka Ali bin al-Husain berkata: “menjauhlah, menjauhlah wahai
pengkhiatat penipu, pisahkan antara kalian dan syahwat kalian, apakah kalian
ingin datang kepadaku seperti kelian telah mendatangi ayah-ayahku sebelumnya?
Tidak, demi Allah sengguh luka ini belum sembuh, ayahku terbunuh kemaren dan
juga ahlu bait-nya yang bersamanya, belum membuatku lupa kematian Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wasallam dan keluarganya, serta kematian ayahku dan
putra-putranya, kemarahannya di antara lidahku, dan rasa pahitannya di
tenggorokanku sehingga aku tersedak dan dadaku penuh sesak”.[105]
Dan ketika Imam Zainal Abidin leewat
dan beliau melihat penduduk Kufah meratap dan menangis, beliau membentak
mereka: “kalian meratap dan menangis demi kami, tapi siapa yang telah membunuh
kami?”.[106]
4.
Ummu Kultsum binti Ali Radhiyallahu ‘anhuma
Beliau berkata: “wahai penduduk Kufah,
keburukan bagi kalian, mengapa kalian menelantarkan dan membunuh al-Husain,
kalian rampas hartanya, kalian tawan istri-istrinya, dan menimpakan bencana
kepadanya, celaka dan hinalah kalian, musibah apa yang menimpa kalian, beban
apa yang kalian pikul di pundak kalian, darah apa yang kalian tumpahkan, wanita
mulia mana yang kalian celakai, anak perempuan mana yang kalian rampas, dan
harta apa yang kalian rampas? Kalian telah membunuh orang-orang terbaik setelah
Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam, dan rasa kasih sayang telah dicabut dari
hati kalian”.[107]
5.
Zainab bintu Ali Radhiyallahu ‘anhuma
Beliau berkata kepada semua yang
ditemuinya sedang menangis dan meratap: “apakah kalian menangis dan meratap
pilu?! Demi Allah menangislah kalian lebih banyak dan tertawalah sedikit, sungguh
kalian telah pergi dengan aib dan cela dari tangisan itu, dan kalian tidak akan
pernah mencucinya selamanya, dan bagaimana kalian akan membersihkan pembunuhan
keturunan Nabi terakhir”.[108]
Dan dalam suatu riwayat: “bahwasannya beliau (Zainab) melongokkan kepalanya
dari kereta diatas punggung onta, dan beliau berkata kepada ahlu Kufah:
“diamlah wahai ahlu Kufah, orang-orang kalian membunuh kami dan wanita-wanita
kalian menangisi kami, dan adapun Hakim antara kami dan kalian di hari
Pembalasan adalah Allah”.[109]
6.
Jawad Muhadditsy
Semua sebab ini membuat khalifah Ali
merasakan dua kepahitan dari mereka, dan Imam al-Hasan menghadapi
pengkhianatan, dan Muslim bin Aqil terbunuh dengan dzalim, dan al-Husain
terbunuh kehausan di Karbala dekat Kufah ditangan pasukan Kufah.[110]
7.
Husain Kurani
Ahlu Kufah bersegera
berbondong-bondong keluar ke Karbala untuk memerangi Imam al-Husain, dan ketika
di Karbala mereka berlomba-lomba melakukan sesuatu yang membuat setan ridho
terhadap mereka, dan membuat Allah ta’ala murka.[111]
8.
Murtadho Muthahhiry
Beliau berkata: “tidak diragukan
lagi bahwa ahlu Kufah dulu adalah pendukung Khalifah Ali, dan bahwa yang
membunuh Imam al-Husain adalah pendukungnya”.[112]
Beliau berkata juga: “adapun kami
telah lama menetapkan bahwa kisah ini penting dari segi yang ini, dan kami
berkata juga: ‘bahwa pembunuhan al-Husain di tangan kaum muslimin bahkan di
tangan pendukungnya hanya lima puluh tahun setelah wafatnya Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wasallam, sungguh perkara yang membingungkan dan teka-teki yang aneh,
dan sangat mengherankan’”.[113]
Dan yang menyuruh untuk membunuh
al-Husain dan senang atas terbunuhnya beliau adalah Ubaidullah bin Ziyad. Dan
yang membunuh secara langsung adalah Syamar bin Dzy al-Jausyan, dan Sinan bin
Anas an-Nakh’iy. Dan mereka bertiga dulunya adalah pengikut shahabat Ali bin
Abu Thalib, dan mereka juga dipihak beliau dalam perang Shiffin.
9.
Kadzim al-Ihsa’iy an-Najafiy
Tentara yang keluar untuk memerangi
Imam al-Husain berjumlah tiga ratus ribu, semuanya penduduk Kufah, tak satupun
dari mereka dari Syam, tidak juga dari Hijaz, atau India, atau Pakistan, atau Sudan,
atau Mesir, dan atau Afrika, akan tetapi mereka semua adalah penduduk Kufah,
yang mereka telah berkumpul dari berbagai kabilah.[114]
10.
Husain bin Ahmad al-Barraqiy an-Najafiy
Al-Qazwaini berkata: “dan dari yang
kami ketahui tentang penduduk Kufah bahwa mereka mencela al-Hasan bin Ali
Radhiyallahu ‘anhuma, dan membunuh al-Husain Radhiyallahu ‘anhu setelah meminta
beliau datang.[115]
11.
Muhsin al-Amin
“Kemudian dua puluh ribu penduduk
Iraq membai’at al-Husain yang pergi bersamanya, kemudian mereka keluar
kepadanya, dan bai’at mereka kepada beliau, kemudian mereka membunuh beliau”.[116]
Siapa yang bertanggung jawab atas pembunuhan al-Husain Radhiyallahu
‘anhu?
Yang masyhur didalam buku-buku ahli
sejarah dan biografi bahwa yang bertanggungjawab atas pembunuhan al-Husain
adalah dua orang yaitu Sinan bin Anas an-Nakh’iy dan Syamar bin Dzil
Jausyan, dan sebagai pengendali utamanya adalah Ubaidullah bin Ziyad,
dan adapun Ubaidullah dan Syamar keduanya dulu pendukung Ali.
At-Thusiy menyebutkan di dalam
bukunya Fi ar-Rijal tentang Ubaidullah bin Ziyad dan menggolongkannya
termasuk pengikut Ali bin Abu Thalib.[117] An-Namazy
as-Syahrwadiy berkata tentang Syamar bahwa dulu pada perang Shiffin Syamar di
pihak Amirul Mukminin Ali bin Abu Thalib.[118]
Sikap Orang-orang Terhadap Pembunuhan Al-Husain
Tidak diragukan lagi bahwa
pembunuhan al-Husain Radhiyallahu ‘anhu adalah musibah yang besar yang menimpa
kaum muslimin, dan belum ada dimuka bumi ini putra dari putri Nabi Shallallahu
‘alaihi wasallam selain beliau berbunuh secara dzalim, dan pembunuhan beliau
untuk penduduk bumi dari kalangan muslimin adalah musibah yang besar, adapun hak
beliau yaitu syahid dan karomah dan derajat yang tinggi serta dekat kepada
Allah yang mana Allah telah memilih beliau untuk kehidupan akhirat dan untuk
syurga Na’im sebagai ganti dari dunia yang suram ini.
Syaikh Utsman al-Khamis mengatakan: “yah
seandainya beliau tidak keluar, maka dari itu Kibar Shahabat telah melarang
beliau pada waktu itu, bahkan dengan keluarnya ini orang-orang dzalim yang
melampaui batas mendapatkan cucu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam
sehingga mereka membunuhnya dengan kejam dan sebagai syahid, pembunuhan beliau
termasuk kerusakan yang tidak akan terjadi jika beliau tinggal di negara
beliau. Akan tetapi Qadarullah wa maa Syaa’a fa’ala walaupun manusia
tidak menghendakinya.
Dan kasus pembunuhan al-Husain
bukanlah lebih besar daripada kasus pembunuhan para Nabi terdahulu, kepala Nabi
Yahya bin Zakariya ‘Alaihima as-Salaam dihadiahkan kepada penguasa lalim,
terbunuhnya Nabi Zakariya ‘Alaihi as-Salam, begitu juga terbunuhnya Umar,
Utsman dan Ali Radhiyallahi ‘anhum, mereka semua lebih baik dari al-Husain
Radhiyallahu ‘anhu, maka dari itu orang ketika memperingati kematian al-Husain
tidak boleh menganiaya dan melukai diri dan hal-hal yang seperti itu, bahkan semua
itu terlarang, sesungguhnya Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam berkata: “bukan
golongan kami orang yang menampar-nampar pipi, dan merobek-robek pakaian”.[119]
Dan beliau berkata: “aku terlepas dari Shaliqah, dan Haliqah, dan Syaqqah”.[120]
Shaliqah berarti yang meratap, Haliqah adalah yang menggunduli rambut, Syaqqah
adalah yang merobek-robek bajunya. Dan beliau berkata: “sesunggunya orang
yang meratap-ratap jika tidak bertaubat maka pada hari kiamat tubuhnya akan
dipenuhi kudis sehingga menyerupai rompi dan celana dari cairan aspal yang
menyala”.[121]
Yang harus dilakukan oleh seorang
muslim ketika mendapat musibah seperti ini hendaknya mengucapkan sebagaimana
yang dikatakan oleh Allah Ta’ala:
[البقرة:
156]
((الَّذِينَ إِذَا
أَصَابَتْهُم مُّصِيبَةٌ قَالُواْ إِنَّا لِلّهِ وَإِنَّـا إِلَيْهِ رَاجِعونَ ))
Sikap orang-orang terhadap terbunuhnya Al-Husain
Ada tiga kelompok mengenai hal ini:
Pertama: Mereka berpendapat bahwa al-Husain terbunuh secara Haq
(seharusnya) dan bahwa beliau keluar atas Imam dan ingin memecah belah
persatuan kaum muslimin, dan mereka berkata: Rasulullah Shallallahu ‘alaihi
wasallam berkata: “barang siapa yang mendatangi kalian dan kalian adalah satu
di bawah satu kekuasaan, dan dia ingin memecah belah kalian maka bunuhlan dia,
siapapun dia”.[122]
Dan al-Husain ingin memecah belah jama’ah muslimin, sementara Rasulullah
berkata: ‘siapapun itu’, maka bunuhlah dia, dan hal itu dibenarkan. Ini adalah
perkataan an-Nashibah[123] yang membenci
al-Husain bin Ali Radhiyallahu ‘anhuma.
Kedua: mereka mengatakan: ‘dia adalah Imam yang wajib ditaati, dan semua
perkara harus diserahkan kepada beliau’. Dan ini perkataan syi’ah.
Ketiga: yaitu Ahlus Sunnah wal Jama’ah: beliau terbunuh secara dzalim,
dan beliau bukan sebagai Waliul Amr (beliau bukan pemimpin/khalifah), tidak
pula terbunuh karena keluar kepada hakim, akan tetapi terbunuh dengan dzalim
dan sebagai syahid, sebagaimana perkataan Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam:
“al-Hasan dan al-Husain adalah dua Sayyid pemuda penghuni syurga”.[124]
Dan padahal saat itu
beliau ingin pergi kepada Yazid bin Mu’awiyah (bukan untuk memerangi atau
menentang), akan tetapi penduduk Kufah menahannya dan menawannya kepada Ibnu
Ziyad.
Dua Bid’ah yang Terjadi dengan Terbunuhnya Al-Husain
bin Ali Radhiyallahu ‘anhu
Syaikhul Islam Ibnu
Taimiyyah berkata: ‘terjadi dua bid’ah pada manusia setelah terbunuhnya
al-Husain:
Pertama: bid’ah kesedihan dan meratap pada hari ‘Asyura dengan demo
memukul tubuh, berteriak, menangis, berhaus-hausan, dan menyanyikan lagu mars, lebih
dari itu mereka sampai mencela para Shahabat dan melaknat mereka, dan
menggolongkan mereka yang tak berdosa bersama para pendosa sehingga mencela
para As-Sabiquna Al-Awwalun, dan menyampaikan cerita-cerita dusta
pergulatan di antara mereka. Dan tujuan mereka dengan melakukan ini semua untuk
membuka fitnah dan perpecahan di antara ummat, jika bukan itu tujuannya, maka
apa artinya mereka mengulang peringatan setiap tahun dengan menumpahkan darah,
mengagungkan dan bergantung pada masa lalu, dan bertaut dengan kuburan.
Kedua: bid’ah kebahagiaan dan membagikan halwa (makanan-makanan ringan
yang manis) kepada keluarga pada hari terbunuhnya al-Husain.
Kufah pada saat itu ada
sebuah kaum yang membela Alu al-Bait yang petinggi mereka adalah Mukhtar bin
Abu Ubaid al-Mutanabbi’ al-Kadzdzab (pembohong yang mengaku nabi), dan ada juga
sebuah kaum yang membenci Alu al-Bait di antara mereka adalah Hajjaj bin Yusuf
ats-Tsaqafiy, yang tidak melawan bid’ah dengan kebid’ahan yang lain, akan
tetapi melawannya dengan menegakkan sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi
wasallam yang sesuai dengan kata Allah Ta’ala:
[125][البقرة:
156]((الَّذِينَ إِذَا أَصَابَتْهُم مُّصِيبَةٌ قَالُواْ إِنَّا لِلّهِ
وَإِنَّـا إِلَيْهِ رَاجِعونَ ))
Sikap Ahlus Sunnah wal Jama’ah terhadapa Yazid bin
Mu’awiyah
Yazid bin Mu’awiyah
tidak pernah membunuh al-Husain, tidak pula memiliki peran dalam pembunuhan
beliau, ini bukan membela Yazid tapi kebenaran yang harus kita ungkap dan bela.
Sebagaimana yang telah dijelaskan di atas tentang konspirasi pembunuhan al-Husain
bin Ali, bahwa Yazid bin Mu’awiyah mengirim Ubaidullah bin Ziyad untuk
menghalangi al-Husain pergi ke Kufah dan tidak menyuruh Ibnu Ziyad untuk
membunuh al-Husain, bahkan al-Husain sendiri berprasangka baik terhadap Yazid
bin Mu’awiyah ketika mengatakan: “biarkan aku pergi ke Yazid agar aku
menyerahkan perkaraku kepadanya”.
Syaikul Islam Ibnu Taimiyah berkata: “sesuai kesepakatan
Ahlul ‘Ilm sesungguhnya Yazid bin Mu’awiyah tidak memerintahkan pembunuhan
al-Husain, akan tetapi menyuruh Ibnu Ziyad untuk menahan al-Husain menjadi
Waliyul Amr di Iraq, ketika sampai kepada Yazid bin Mu’awiyah kabar tentang
pembunuhan al-Husain beliau merasa kesakitan dengan kabar tersebut dan menangis
di rumahnya, dan tidak pernah menawan wanita, bahkan beliau sangat menghormati
Ahlu Baitnya al-Husain bahkan memberikan mereka tempat tinggal dan keamanan
sampai mengembalikan mereka ke negara mereka.
Adapun riwayat yang
mengatakan para wanita Alul Bait Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam
dihinakan, dan bahwa mereka ditawan dan dibawa dengan paksa ke Syam serta
dihinakan di sana, semua ini bathil, karena saat itu Bani Umayyah menghormati
dan mengagungkan Bani Hasyim, dan dari itu ketika Hajjaj bin Yusuf menikahi
Fathimah binti Abdullah bin Ja’far, Abdul Malik bin Marwan tidak menerima hal
ini, dan memerintah Hajjaj untuk menceraikan dan meninggalkan Fathimah, itu
karena mereka sangat menghormati Bani Hasyim, dan tidak pernah menawan mereka”.[126]
Itulah bahwa para wanita
Bani Hasyim adalah wanita yang mulia dan terhormat pada waktu itu. Dan adapun
riwayat yang menyebutkan bahwa kepala al-Husain bin Ali dikirimkan ke Yazid bin
Mu’awiyah ini tidak benar dan tidak terbukti, akan tetapi kepala beliau
Radhiyallahu ‘anhu tetap berada pada Ubaidullan bin Ziyad di Kufah, dan tidak
seorangpun tahu dimana kepala beliau dikuburkan, tapi yang masyhur bahwasannya
kepala beliau dikuburkan di Karbala tempat beliau Radhiyallahu ‘anhu terbunuh.
Sikap Orang-orang terhadap Yazid bin Mu’awiyah
Syaikhul Islam Ibnu
Taimiyah berkata: “ada dua kelompok yang ghuluw menyikapi Yazid, dan ada yang
bersikap menengahinya;
Kelompok pertama: fanatik terhadap Yazid dan mencintainya bahkan
menyatakan kenabian beliau dan ma’shum.
Kelompok kedua: fanatik tidak suka kepada Yazid, membenci beliau
bahkan mengkafirkan beliau dan mengatakan bahwa Yazid seorang munafiq, yang
memperlihatkan keislaman beliau dan menyembunyikan kemunafikan, juga membenci
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam.
Adapun kasus pembunuhan
al-Husain, hal ini tidak diragukan lagi bahwa beliau Radhiyallahu ‘anhu
terbunuh dengan keji dan sebagai syahid, sebagaiman syuhada’ yang lainnya yang
terbunuh secara keji. Dan pembunuhan al-Husain (yang memprakarsainya, atau yang
menyuruhnya, atau yang membunuhnya secara langsung, juga yang ridha terhadap
pembunuhan beliau) merupakan suatu ma’siat kepada Allah dan Rasulullah. Dan ini
merupakan musibah besar yang menimpa ummat Islam baik keluarga al-Husain maupun
yang bukan. Dan hak beliau adalah syahid, derajat yang tinggi serta kedudukan
yang tinggi”.[127]
Larangan Mencela dan Melaknat Yazid bin Mu’awiyah
Mungkin hal terpenting
yang terjadi pada masa Yazid bin Mu’awiyah adalah waq’atul Harrah (ini
ketika penduduk Madinah keluar kepada Yazid sehigga Yazid membolehkan
peperangan di Madinah selama tiga hari), peperangan Abdullah bin az-Zubair dan
pembunuhan al-Husain bin Ali. Dan karena sebab tersebut ada yang membolehkan
untuk melaknat Yazid bin Mu’awiyah, ada juga yang melarangnya. Adapun yang
membolehkan maka mereka harus membuktikan tiga hal:
1.
Membuktikan bahwa Yazid bin Mu’awiyah adalah orang
fasiq,
2.
Membuktikan bahwa beliau tidak bertaubat dari
kefasikannya, kalau seorang kafir ketika bertaubat maka Allah akan
mengampuninya, maka apalagi hanya sekedar fasiq!
3.
Membuktikan bolehnya melaknat Yazid bin Mu’awiyah.
Tidak boleh melaknat orang yang sudah meninggal yang
Allah dan Rasulullah tidak melaknatnya, karena Rasulullah Shallallahu ‘alaihi
wasallam telah berkata:
(( لاتسبوا الأموات فإنهم قد أفضوا إلى ما
قدموا )).[128]
Din
Allah tidak tegak dengan saling mencela, akan tetapi denga akhlaq yang mulia,
maka sabb (mencela) bukanlah termasuk Din Allah Tabaraka wa Ta’ala, bahkan
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam berkata:
(( سباب المسلم فسوق وقتاله كفر ))[129]
Maka
mencela seorang muslim adalah fasiq, dan tidak satupun yang mengatakan bahwa
Yazid bin Mu’awiyah keluar dari Islam, tapi yang banyak mengatakan yaitu bahwa
beliau fasiq. Dan ini seperti yang telah disampaikan di atas bahwa pendapat ini
dibangun diatas bukti yang mereka sebutkan tentang kefasikan beliau, dan tentu
saja hanya Allah yang tahu.
Padahal telah tsabit dari Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wasallam:
Tentara pertama yang memerangi kota Kaisar diampuni
dosa-dosanya, dan saat itu tentara yang memerangi kota Kaisar ini di bawah
panglima Yazid bin Mu’awiyah, dan disebutkan disana bahwa beliau juga bersama
kibar Shahabat seperti Abdullah bin Umar, Abdullah bin az-Zubair, Abdullah bin
Abbas, dan Abu Ayyub, dan kejadian ini terjadi pada tahun 49H.
Ibnu
Katsir mengatakan: ‘sungguh Yazid bin Mu’awiyah telah melakukan kesalahan besar
dalam kepemimpinannya yang memerintahkan Muslim bin Uqbah dalam peperangan al-Harrah,
yang mana beliau membolehkan menyerang kota Madinah dalam tiga hari, juga
bersamaan dengan itu terbunuhlah banyak dari kalangan Shahabat dan putra-putra
mereka’.[131]
Intinya:
bahwa perkara ini kita kembalikan kepada Allah Tabaraka wa Ta’ala, sebagaimana
yang dikatakan oleh adz-Dzahabi: ‘kita tidak mencelanya, dan tidak
menyukainya’.[132]
Penutup
Tidak
akan baik akhir ummat ini jika awalnya sudah tidak baik. Maka dari itu penulis
mengajak para pembaca untuk lebih bersungguh-sungguh untuk mengetahui hakekat
perpecahan ummat Islam ini, dan waspada menghadapi perpecahan ummat ini dan
bahaya dari perpecahan tersebut. Maka dari itu mari kita satukan kata, kembali
kepada A-Qur’an dan As-Sunnah setiap menghadapi perbedaan dan problematika
kehidupan.
Tidak
kalah penting setelah membaca pembahasan di atas, bahwa penulis mengharapkan
para pembaca memiliki sikap tegas terhadap kelompok-kelompok yang keluar dari Aqidah
Islam, lebih bisa membedakan mana Al-Firqah An-Najiyah dan mana Al-Firaq
Adh-Dhaallah, tidak mengikuti ataupun mencontoh perangai, kebiasaan dan
kata-kata mereka. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “barang
siapa yang menyerupai sebuah kaum, maka dia termasuk dari mereka”. Begitu
juga dihrapakan kita lebih bijaksana menyikapi kesalahan yang dilakukan para
Shahabat, sebagaimana yang telah terjadi seperti yang telah tertulis di atas.
Kemudian
penulis memohon ampun kepada Allah Ta’ala dari segala khilaf dan salah dalam
menuangkan tulisan ini, Astaghfirullahal ‘Adziim, Astaghfirullahal ‘Adziim,
Astaghfirullahal ‘Adziim wa Atuubu Ilaih. Dan memohon koreksi dari pembaca
semua jika mendapati kesalahan dalam risalah singkat ini. Wallahu A’laa wa
A’lam Bishshawaab, Subchaanakallaahumma wa Bichamdika Asyhadu Allaa Ilaaha Illa
Anta Astaghfiruka wa Atuubu Ilaiik.
[1] Seperti pengkultusan akal, dan menjadikannya sebagai hukum final
pada setiap perkara, juga lebih mengutamakannya dari pada akal.
[2] Seperti mengitlakkan kata al-‘isyqu (cinta yang sangat)
kepada Allah atau Rasulullah, seperti perkataan mereka: ‘aasyiqu an-nabiy
yushalliy ‘alaihi’.
[3] Seperti mengkultuskan angaka 19.
[4] Seperti menta’wilkan ayat Al-Qur’an denga hawa nafsu.
[5] Seperti mengkafirkan masyarakat islam.
[6] Seperti kebencian mereka terhadap para Shahabat, dan seperti
penantian Muhammad bin Hasan al-‘Askariy, juga seperti kecintaan yang melampaui
batas terhadap al-Husain, dan sebagainya.
[7] Lihat: buku Muqaddimatun fii Asbaabi Ikhtilaafi al-Muslimiin wa
Tafaaruqihim, karangan Muhammad al-Abdat, dan Thariq Abdul Hakim hal. 27,
juga halaman 36-38.
[8] Dikeluarkan oleh Imam Ad-Darimiy dalam Musnadnya, dan tidak
diragukan lagi bahwa hadits ini sangat sejalan dengan golongan-golongan yang
keluar dari al-Haq, yang sesungguhnya di atas kepala pada setiap golongan ada
setan-setan yang menyeru kepada jalan mereka, dan berjalan di jalan mereka.
[9] Dikeluarkan oleh Imam Tirmidziy 4/209, dan Imam Abu Daud 2/506 dan
lafadz dari beliau.
[10] Muttafaq ‘alaih; Shahih Bukhari 13/35, dan Shahih Muslim 4/514
[11] Dikeluarkan oleh Imam Abu Daud dalam kitab As-Sunnah 2/503, dan
Imam Tirmidziy 5/25,26, dan Imam Ibnu Majah 2/1321,1322, dan Imam Ahmad 2/322,
3/120, 145.
[12] Dikeluarkan yang seperti ini oleh Imam Abu Daud dari Shahabat Abu
Hurairah 2/503.
[13] Tahdzib al-Lughah 3/61
[14] Lihat Taj al-‘Arus 5/405
[15] Lihat Tafsir Al-Qur’an Al-Adzim 3/131
[16] Tafsir Al-Qur’an Al-hakim-Tafsir Al-Manaar 8/214
[17] Jami’ Al-Bayaan 27/112.
[18] Fath Al-Qadiir 4/163.
[19] Lihat Tahdzib Al-Lughah 3/63.
[20] Al-Qamus Al-Muhith 3/49, Tahdzib Al-Lughah 3/61.
[21] Lihat; Al-Fashl 4/92
[22] Lihat; Al-Adyan wa Al-Firaq wa Al-Madzahib Al-Mu’ashirah,
hal. 145.
[23] Asy-Syi’ah wa At-Tasyayyu’ hal. 19.
[24] Firaq Asy-Syi’ah karangan An-Nubakhtiy hal. 39.
[25] Al-Hukumah Al-Islamiyyah hal. 136.
[26] Asy-Sya’air Al-Husainiyyah hal. 11.
[27] Al-Fahrasat karangan Ibnu An-Nadim hal. 249
[28] Asy-Syi’ah wa At-Tasyayyu’ hal. 25.
[29] Lihat; As-Shilatu Baina At-Tashawwuf wa At-Tasyayyu’ hal.
23.
[30] Lihat; Risalah fii Ar-Raddi ‘Alaa Ar-Raafidhah hal. 42.
[31] Qadhiyyah Asy-Syi’ah hal. 3.
[32] Lihat; Mukhtashar At-Tuhfah Al-Itsnay Asyariyyah hal. 5-6.
[33] Lihat; Mukhtashar At-Tuhfah Al-Itsnay Asyariyyah hal. 5, dan mereka adalah orang-orang yang Tsiqqah
sebagaimana dalam Taqrib At-Tahdzib kecuali Salim bin Abu Hafshah, telah
dikatakan tentangnya: dia Shaduq dalam hadits kecuali bahwa dia syi’iy
ghalin, lihat; 1/279, dan tentang Aburrazzaq bin Al-Hammam: Tsiqah
Hafidz… dulu pernah menjadi syi’ah, 1/505.
[34] Meskipun dikatakan mereka dibakar dengan api, tapi Ali bin Abu
Thalib tidak membakar dengan api secara langsung, tetapi beliau membuat tiga
lobang besar, kemudian beliau menyalakan api di kedua lobang tersebut dan
meletakkan orang-orang itu di lobang yang ketiga, yang membuat asap meresap ke
arah mereka sehingga mereka tercekik dengan asap dan kemudian mereka mati,
ketika mereka melihat bahwa Ali bin Abu Thalib akan membakar mereka,
bertambahlah keras kepala mereka dan kesombongan mereka dan manjadikan
keinginan Ali bin Abu Thalib membakar mereka sebagai bukti ke-Ilah-an beliau,
karena seperti alasan yang mereka buat untuk itu, bahwa tidaklah membakar
dengan api kecuali Rabb api.
[35] Lihat Lihat; Mukhtashar At-Tuhfah Al-Itsnay Asyariyyah hal.
3-9, dan Asy-Syi’ah wa At Tasyayyu’ hal. 40-41.
[36] Manhaj Al-Maqal karangan Al-Isterabadiy hal. 203,
sebagaimana juga yang dikatakan oleh seorang syi’ah Hasan bin Ali di dalam
bukunya Ar-Rijaliy hal. 469 yang menukil dari Asy-Syi’ah wa
At-Tasyayyu’ hal. 56-57.
[37] Syarah Nahjul Balaghah 2/309, dan lihat Al-Milal wa
An-Nihal karangan Syahrustaniy hal. 157.
[38] Lihat Al-Farqu Baina Al-Firaq hal. 235.
[39] Lihat; Ibnu Saba’ Haqiqah Laa Khayaal hal. 7-24.
[40] Lihat; buku Abdullah bin Saba’ wa Atsaruhu fii Ihdaatsi
al-Fitnah fii Shadri Al-Islam hal. 39-42.
[41] Lihat; buku Abdullah bin Saba’ wa Atsaruhu fii Ihdaatsi
al-Fitnah fii Shadri Al-Islam hal. 42.
[42] Al-Farqu baina Al-Firaq hal. 236.
[43] Al-Fashl karangan Ibnu Hazm hal. 4/180.
[44] Ini menunjukkan kepada perkataan Ibnu Saba’ ketika sampai kepadanya
kematian Ali bin Abu Thalib: “demi Allah akan keluar dua mata air di masjid
Kufah untuk Ali yang satunya memancarkan madu dan yang lainnya memancarkan
mentega yang pengikutnya akan menciduk darinya”.
[45] Lihat; Al-Farqu baina Al-Firaq hal. 236.
[46] Lihat; Al-Farqu baina Al-Firaq
[47] Lihat; Al-Adyan wa Al-Firaq wa Al-Madzahib Al-Mu’ashirah
hal. 146
[48] Lihat; Al-Adyan wa Al-Firaq wa Al-Madzahib Al-Mu’ashirah
hal. 146
[49] Lihat; Al-Adyan wa Al-Firaq wa Al-Madzahib Al-Mu’ashirah
hal. 146
[50] Dari yang terlihat dari riwayat ini bahwa (Thalhah, az-Zubair, dan
‘Aisyah) tidak pernah membenci pengangkatan Ali bin Abu Thalib sebagai
Khalifah, yang mereka juga membai’at kekhilafahan Ali dan menyuruh al-Ahnaf
untuk membai’at beliau. Dan mengenai semua perkara ini bahwa mereka berijtihad
untuk mengetahui mana yang harus mereka lakukan terlebih dahulu.
[51] Fathul Baariy 13/38, dan lihat Tarikh At-Thabariy.
[52] Diriwayatkan oleh Imam Ahmad 6/393, Al-Hafidz Ibnu Hajar mengatakan
dalam Fathul Baariy 13/60 sanadnya Hasan.
[53] Keputusan hukum mereka semua satu; mereka tidak keluar dari Islam,
akan tetapi tidak diragukan lagi mereka fasiq para penjahat kecuali yang
bertaubat.
[54] Tarikh Al-Islam hal. 645, masa Al-Khulafa’ Ar-Rasyidun tentang
biografi Abdurrahman bin Muljim.
[55] Muttafaq ‘Alaih; Shahih Al-Bukhariy, Kitab Shalat, Bab At-Ta’awun
fii Binaai Al-Masjid, hadits 447, Shahih Muslim, Kitab Fitnah,
Bab Laa Taquumu As-Saa’ah Hattaa Yamurra Ar-Rajulu Biqabri Ar-Rajuli…,
hadits 2915.
[57] Tarikh Dimasyq karangan Ibnu
‘Asakir -mukhtashar- 11/207, Asadul
Ghabah 3/88 Al-Bushairiy berkata: orang-orang sanadnya Tsiqah. Ibnu Hajar
menukil darinya dalam Al-Mathalib Al-‘Aliyah 4/302 beserta perbedaan kecil
dalam lafadznya.
[58] Lihat Mushannaf Ibnu Abu Ayaibah bab Maa Jaa-a fii
Shiffiin.
[59] Shahih Al-Bukhariy, kitab Fadhail As-Shahabah, bab Manaqib
Al-Hasan wa Al-Husain, hadits ke 3746.
[60] Shahih Al-Bukhariy, kitab Fadhail As-Shahabah, bab Manaqib
Al-Hasan wa Al-Husain, hadits ke 3746, dan lihat Al-Bidayah wa
An-Nihayah 7/245.
[61] Shahih Al-Bukhariy, kitab Fadhail As-Shahabah, bab Dzikru
Usamah, hadits ke 3735.
[62] Shahih Al-Bukhariy, kitab Fadhail As-Shahabah, bab Manaqib
Al-Hasan wa Al-Husain, hadits ke 3750, dan pada bab Shifat An-Nabiy
Shallallahu ‘alaihi wasallam 3542.
[63] At-Thabaqat Al-Kubra hal. 335 no. 294, At-Thabaqah
Al-Khamisah min As-Shahabah, tahqiq Muhammad bin Shamil As-Salmiy.
[64] Tarikh Al-Islam, ‘Ahdu Mu’awiyah, hal.40, Al-Bidayah wa
An-Nihayah 8/44.
[65] Mushannaf Abdurrazzaq, 5/462.
[66] Shahih Al-Bukhariy, kitab Fadhail As-Shahabah, bab Manaqib
Al-Hasan wa Al-Husain, hadits ke 3746.
[67] Tarikh Al-Islam, karangan Adz-Dzahabiy, ‘Ahdu Mu’awiyah 308.
[68] Dikeluarkan oleh Imam Tirmidziy, Kitab Al-Manaqib, bab Manaqib
Mu’awiyah 4113.
[69] Dikeluarkan oleh Imam Ahmad 4/127.
[70] Fathul Baariy, 6/120.
[71] Shahih Al-Bukhariy, kitab Fadhail As-Shahabah, bab Manaqib
Al-Hasan wa Al-Husain hadits ke 4765.
[72] Shahih Al-Bukhariy, kitab Al-Jihad, bab Maa Qiila fii
Qitaali Ar-Ruum, 2924.
[73] Tarikh At-Thabariy 5/240.
[74] Sunan Abi Daud, kitab As-Sunnah, bab fii Al-Khulafa’, 4646, Musnad
Ahmad, 4/273, dengan sanad yang shahih.
[75] Al-Bidayah wa An-Nihayah 8/17.
[76] Sunan Ad-Darimiy, kitab Al-Asyribah, bab Maa Qiila Fi
Al-Muskir 2/114, orang-orang dalam sanadnya Tsiqah kecuali Mak-hul yang
tidak mendengar riwayat dari Abu Tsa’labah Al-Khusyanniy yang meriwayatkan dari
Abu Ubaidah.
[77] Lihat; Muqaddima Ibnu Khaldun, pasal fii Wilayati
Al-‘Ahdi, hal. 166.
[78] Al-Bidayah wa An-Nihayah 8/236.
[79] Lihat; Al-Bidayah wa An-Nihayah, hawadits sanah 60H.
[80] Al-Bidayah wa An-Nihayah 8/161.
[81] Al-Bidayah wa An-Nihayah 8/162.
[82] Al-Bidayah wa An-Nihayah 8/163.
[83] Al-Bidayah wa An-Nihayah 8/163.
[84] Al-Bidayah wa An-Nihayah 8/168.
[85] Dikeluarkan oleh Imam Tirmidziy, kitab Al-Manaqib, bab Manaqib
Al-Hasan wa Al-Husain, 3768. Dha’if dari riwayat al-Husain, tapi Shahih dari
riwayat Hudzaifah dan Abu Sa’id dan yang lainnya.
[86] Al-Mu’jam Al-Kabir, karangan Imam Thabrani 5/206 no. 5107,
dan lihat; Shahih Al-Bukhariy, kitab Fadhail As-Shahabah, bab Manaqib
Al-Hasan wa Al-Husain, no. 3748.
[87] Al-Mu’jam Al-Kabir, 3/112 no. 2729, dan sanadnya shahih.
[88] Tarikh, karangan Khalifah bin Khiyath, hal. 234.
[89] Fadhail As-Shahabah, 2/782 no. 1391, dan hadits ini masyhur
tapi dha’if dari semua jalan dari Ummu Salamah.
[90] Fadhail As-Shahabah, 2/766 no. 1373, dan sanadnya hasan.
[91] Lihat; Al-Bidayah wa An-Nihayah, Ahdaats Sanah 61H.
[92] Fadhail As-Shahabah, 2/778 no. 1380, Isnadnya shahih.
[93] Muttafaq ‘Alaih: Shahih Al-Bukhariy, kitab At-Ta’bir, bab Man
Ra-a An-Nabiy Shallallahu ‘alaihi wasallam fii Al-Manaam, no. hadits 7994,
Shahih Muslim, kitab Ar-Ru’ya, bab Qauli An-Nabiy Shallallahu
‘alaihi wasallam Man Ra-aniy fii Al-Manaam faqad Ra’any, no. hadits 2266.
[94] Pasukan Mukhtar yang balas dendam terhadap Al-Husain menamakan diri
mereka ‘pasukan yang bertaubat’ sebagai pengakuan mereka karena kelalaian
terhadap Al-Husain, dan ini merupakan awal munculnya Syi’ah sebagai madzhab
politik, adapun syi’ah sebagai madzab Aqidah dan Fiqih muncul di kahir-akhir lama
setelah runtuhnya Daulah Bani Umayyah.
[95] Sunan Tirmidziy, kitab Manaqib, bab Manaqib Al-Hasan wa
Al-Husain, no. hadits 3780, Imam Tirmidziy berkata: ‘hadits ini hasan shahih’.
[96] Al-Mu’jam Al-Kabir, 3/12, no. 2830, sanadnya shahih.
[98] Nahj Al-Balaghah, 1/187-189.
[99] Nahj Al-Balaghah, 1/118-119.
[100] An-Nadwah, 3/208, dan Fii Rihaabi Ahli Al-Bait, hal. 270.
[101] Laqad Syayya’aniy Al-Husainu, hal. 283.
[102] Al-Luhuf karangan Ibnu Thawus, hal. 39, ‘Asyura karangan
Ihsaniy, hal. 115, Al-Majalis Al-Fakhirah karangan Abdul Husain hal. 75,
Muntaha Al-Aamaal 1/454, ‘Ala Khutha Al-Husain hal. 96.
[103] Al-Majalis Al-Fakhirah hal. 79, ‘Ala Khutha Al-Husain hal.
100, Lawa’ij Al-Asyjaan karangan Al-Amin hal. 60, Ma’alim
Al-Madrasatain 3/62.
[104] Ma’alim Al-Madrasatain 3/71-72, Ma’ali As-Sabthin 1/275, Bahrul
‘Ulum 194, Nafsul Mahmum 172, Khairul Ash-hab 39, Tudzlamu Az-Zahra’ hal. 170.
[105] Thubrusiy menyebutkan khutbah ini dalam bukunya Al-Ihtijaj
2/32, Ibnu Thawus dalam Al-Malhuf hal. 92, Al-Amin dalam Lawa’ij
Al-Asyjaan hal. 158, Abbas Al-Qumiy dalam Muntaha Al-Aamaal 1/572,
Husain Kuraniy dalam Rihab Karbala’ hal. 183, Abdurrazzaq Al-Muqrim
dalam Maqtal Al-Husain hal. 217, Murtadha ‘Iyad dalam Maqtal Al-Husain
hal. 87 dan diulangi oleh Abbas Al-Qumiy dalam Nafs Al-Mahmum hal. 360,
dan Ridha Al-Quzwainiy menyebutkan dalam Tudzlamu Az-Zahra hal. 262.
[106] Al-Malhuf hal. 86, Nafs Al-Mahmum 367, Maqtal
Al-Husain karangan Murtadha ‘Iyad hal. 83 cetakan ke-4 th. 1996 M, Tudzlamu
Az-Zahra hal. 257.
[107] Al-Malhuf hal. 91, Nafs Al-Mahmum 363, Maqtal
Al-Husain karangan Al-Muqrim hal. 316, Lawa’ij Al-Asyjaan 157, Maqtal
Al-Husain karangan Murtadha ‘Iyad hal. 86, Tudzlamu Az-Zahra
karangan Ridha Al-Quzqaini hal. 261.
[108] Ma’a Al-Husain fii Nahdhatihi hal. 295 dan setelahnya.
[109] Dinukil oleh Abbas Al-Qumiy dalam Nafs Al-Mahmum hal. 365,
dan disebutkan Syaikh Ridha Al-Quzwainiy dalam Tudzlamu Az-Zahra hal.
274.
[110] Mausu’ah ‘Asyura hal. 59.
[111] Fii Rihab Karbala’ hal. 60-61.
[112] Al-Malhamah Al-Husainiyah 1/129.
[113] Al-Malhamah Al-Husainiyah 3/94.
[114] ‘Asyura hal. 89.
[115] Tarikh Al-Kufah hal. 113.
[116] A’yan As-Syi’ah 1/26.
[117] Ar-Rijal hal. 45, Tarjamah 120, setakan ke-1 percetakan
al-Haidariyah-Najef th. 1961 M, Tahqiq: Muhammad Shadiq Bahrul Ulum.
[118] Mustadrakat Ilm Rijal Al-Hadits, karangan Ali An-Namaziy
Asy-Syahrwadiy. Mu’assasah An-Nasyr Al-Islamiy-Qom 1325 H, 4/220 Tarjamah 6899.
[119] Shahih Al-Bukhariy: kitab Al-Janaiz, bab Laisa
Minna Man Syaqqa Al-Juyuub, no. hadits 1294, Shahih Muslim: kitab Al-Iman,
bab Tahrim Dharb Al-Khudud 103.
[120] Shahih Al-Bukhariy: kitab Al-Janaiz, bab Maa Yunha
Min Al-Halqi ‘inda Al-Mushibah 1296, Shahih Muslim: kitab Al-Iman,
bab Tahrim Dharb Al-Khudud wa Syaqqi Al-juyub wa Ad-Du’aa bi Da’wa
Al-Jahiliyah, no. hadits 140/167.
[121] Shahih Muslim: kitab Al-Janaiz, bab At-Tasydid fii
An-Niyaahah, no. hadits 934.
[122] Shahih Muslim: kitab Al-Imarah, bab Hukmu Man
Farraqa Amra Al-Muslimin wa Huwa Mujtami’un no. 1852.
[123] An-Nashibah: mereka adalah orang yang memusuhi Ali bin Abu
Thalib dan Ahlu Bait-nya.
[124] Dikeluarkan oleh Imam Tirmidziy, kitab Al-Manaqib, bab Manaqib
Al-Hasan wa Al-Husain, no. 3768.
[126] Minhaj As-Sunnah 4/557, 559. Penukilan dengan cara menyimpulkan.
[127] Mukhtashar Minhaj As-Sunnah 1/346.
[128] Shahih Al-Bukhariy, kitab Al-Janaiz, bab Maa Yunha
‘an Sabab Al-Amwat, no. 1393.
[129] Muttafaq ‘Alaih; Shahih Al-Bukhariy: kitab Al-Iman,
bab Khauful Mukmin An Yuhbatha ‘Amaluhu, no. 48, Shahih Muslim:
kitab Al-Iman, bab Bayan Qauli An-Nabiy Shallallahu ‘alaihi wasallam
Sibaabi Al-Muslimi Fusuq wa Qitaaluhu Kufr, no. 64.
[130] Shahih Al-Bukhariy: kitab Al-Jihad, bab Maa Qiila
fii Qitaali Ar-Ruum, no. 2924.
[131] Al-Bidayah wa An-Nihayah 8/225.
[132] Siyar A’laam An-Nubalaa’ 4/36.
No comments:
Post a Comment
silahkan berkomentar sebagai saran dan kritik, terimakasih