MAKALAH FIQIH
“POLIGAMI”
Dosen Pembimbing:
Ust. Sudarno Hadi
Penyusun:
Humam Afrodli
Idam Kholid
Mahmud Noor Biyadli
SEKOLAH TINGGI ILMU DA’WAH
MUHAMMAD NATSIR
SURABAYA
2013/2014
BAB I
PEMBAHASAN
A.
Pengertian
Poligami
Kata Monogamy dapat dipasangkan
dengan Poligami sebagai antonim,
Monogamy adalah perkawinan dengan istri tunggal
yang artinya seorang laki-laki
menikah dengan seorang perempuan saja, sedangkan kata Poligami yaitu perkawinan
dengan dua orang perempuan atau lebih dalam waktu yang sama. Dengan demikian
makna ini mempunyai dua kemungkinan pengertian; Seorang laki-laki menikah dengan
banyak perempuan kemungkinan pertama disebut Polygini dan kemungkinan yang
kedua disebut Polyandry.
Hanya saja yang berkembang pengertian itu mengalami
pergeseran sehinggah poligami dipakai untuk makna laki-laki beristri banyak,
sedangkan kata poligyni sendiri tidak lazim dipakai.[1]
Poligami berarti ikatan perkawinan yang salah
satu pihak (suami) mengawini lebih dari satu istri dalam waktu yang bersamaan,
bukan saat ijab qabul melainkan dalam menjalani hidup berkeluarga,
sedangkan monogamy berarti perkawinan yang hanya membolehkan suami mempunyai
satu istri pada jangka waktu tertentu.[2]
Poligami adalah suatu bentuk perkawinan di mana
seorang pria dalam waktu yang sama mempunyai istri lebih dari seorang wanita.
Yang asli didalam perkawinan adalah monogamy, sedangkan poligami datang
belakangan sesuai dengan perkembangan akal pikiran manusia dari zaman ke zaman.
Menurut para ahli sejarah poligami mula-mula
dilakukan oleh raja-raja pembesar Negara dan orang-orang kaya. Mereka mengambil
beberapa wanita, ada yang dikawini dan ada pula yang hanya dipergunakan untuk
melampiaskan hawa nafsunya akibat perang, dan banyak anak gadis yang
diperjualbelikan, diambil sebagai pelayan kemudian dijadikan gundik dan
sebagainya. Makin kaya seseorang makin tinggi kedudukanya, makin banyak
mengumpulkan wanita. Dengan demikian poligami itu adalah sisa-sisa pada
waktu peninggalan zaman perbudakan yang mana hal ini sudah ada dan jauh
sebelum masehi.[3]
Poligami adalah salah satu bentuk masalah yang
dilontarkan oleh orang-orang yang memfitnah Islam dan seolah-olah
memperlihatkan semangat pembelaan terhadap hak-hak perempuan. Poligami itu
merupakan tema besar bagi mereka, bahwa kondisi perempuan dalam masyarakat
Islam sangat memprihatinkan dan dalam hal kesulitan, karena tidak adanya
persamaan antara laki-laki dan perempuan.
Sebagaimana dikemukakan oleh banyak penulis,
bahwa poligami itu berasal dari bahasa Yunani, kata ini merupakan penggalan
kata Poli atau Polus yang artinya banyak, dan
kata Gamein atau Gamos yang
berarti kawin atau perkawinan. Maka jikalau kata ini digabungkan akan berarti
kata ini menjadi sah untuk mengatakan bahwa arti poligami adalah perkawinan
banyak dan bisa jadi dalam jumlah yang tidak terbatas.
Namun dalam Islam, poligami mempunyai arti
perkawinan yang lebih dari satu dengan batasan. Umumnya dibolehkan hanya sampai
empat wanita saja.[4]
B.
Dasar
Hukum Poligami
Yaitu terletak
dalam surat An-Nisa` ayat 3
÷bÎ)ur ÷LäêøÿÅz wr& (#qäÜÅ¡ø)è? Îû 4uK»tGuø9$# (#qßsÅ3R$$sù $tB z>$sÛ Nä3s9 z`ÏiB Ïä!$|¡ÏiY9$# 4Óo_÷WtB y]»n=èOur yì»t/âur ( ÷bÎ*sù óOçFøÿÅz wr& (#qä9Ï÷ès? ¸oyÏnºuqsù ÷rr& $tB ôMs3n=tB öNä3ãY»yJ÷r& 4 y7Ï9ºs #oT÷r& wr& (#qä9qãès? ÇÌÈ
3. Dan jika kamu
takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim
(bilamana kamu mengawininya), Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu
senangi : dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat
berlaku adil[5],
Maka (kawinilah) seorang saja[6],
atau budak-budak yang kamu miliki. yang demikian itu adalah lebih dekat kepada
tidak berbuat aniaya.
Dan demikian juga disebutkan dalam surat
An-Nisa` ayat 129, Allah SWT berfirman:
`s9ur (#þqãèÏÜtFó¡n@ br& (#qä9Ï÷ès? tû÷üt/ Ïä!$|¡ÏiY9$# öqs9ur öNçFô¹tym ( xsù (#qè=ÏJs? ¨@à2 È@øyJø9$# $ydrâxtGsù Ïps)¯=yèßJø9$$x. 4 bÎ)ur (#qßsÎ=óÁè? (#qà)Gs?ur cÎ*sù ©!$# tb%x. #Yqàÿxî $VJÏm§ ÇÊËÒÈ
129. Dan
kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil di antara isteri-isteri(mu),
walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian, Karena itu janganlah kamu terlalu
cenderung (kepada yang kamu cintai), sehingga kamu biarkan yang lain
terkatung-katung. dan jika kamu mengadakan perbaikan dan memelihara diri (dari
kecurangan), Maka Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
Sejak masa Rasulullah SAW , Sahabat, Tabi`in,
periode Ijtihad dan setelahnya sebagian besar kaum Muslimin memahami dua
ayat Akhkam itu sebagai berikut:
1.
Perintah Allah SWT, “maka kawinilah
wanita-wanita (lain) yang kamu senangi”, difahami sebagai perintah ibahah
(boleh), bukan perintah wajib. Seorang muslim dapat memilih untuk bermonogami
(istri satu) atau berpoligami (lebih dari satu). Demikianlah kesepakatan
pendapat mayoritas pendapat mujtahid dalam berbagai kurun waktu yang berbeda.
2.
Larangan mempersunting istri lebih dari empat
dalam waktu yang bersamaan, sebagaimana dalam firman Allah “maka
kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi; dua, tiga atau empat”.
Menurut alqurtuki, pendapat yang memperkenankan poligami lebih dari empat
dengan pijakan nash di atas, adalah pendapat yang muncul karena yang
bersangkutan tidak memahami gaya bahasa dalam al-qur`an dan retorika bahasa
arab.
3.
Poligami harus berlandaskan asas keadilan,
sebagaimana firman Allah, “kemudian jika kamu takut tidak akan
berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu
miliki.“ (qs. An-nisa`: 3) seseorang tidak dibolehkan menikahi lebih
dari seorang istri jika mereka merasa tidak yakin akan mampu untuk berpoligami.
Walaupun dia menikah maka akad tetap sah, tetapi dia berdosa terhadap
tindakannya itu.
4.
Juga sebagaimana termaktub dalam ayat yang
berbunyi, “dan kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil diantara
istri-istri (mu), walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian”. adil dalam
cinta diantara istri-istri adalah suatu hal yang mustahil dilakukan karena dia
berada di luar batas kemampuan manusia. Namun, suami seyogyanya tidak berlaku
dzolim terhadap istri-istri yang lain karena kecintaannya terhadap istrinya.
5.
Sebagian ulama` penganut madzhab syafi`I
mensyaratkan mampu member nafkah bagi orang ayaang akan berpoligami.
Persyaratan ini berdasarkan pemahaman imam syafi`I terhadap teks
al`qur`an, “yang demikian itu adalah lebih cddekat kepada tidak berbuat
aniaya”. Yang artinya agar tidak memperbanyak anggota keluarga. Di dalam
kitab “akhkam al-qur`an”, imam baihaqi juga mendasarkan
keputusannya terhadap pendapat ini serta pendapat yang lain. Dalam pemahaman
madzhab syafi`I jaminan yang mensyaratkan kemampuan memmberi nafkah sebagai
syarat poligami ini adalah syarat diyanah (agama) maksudnya bahwa jika yang
bersangkutan tahu bahwa dia tidak mampu member nafkah bukan syarat putusan
hukum.[7]
Dan adalagi yang menyebutkan bahwa poligami itu
mubah (dibolehkan) selama seorang mu`min tidak akan khawatir akan aniaya.
Dilarang poligami untuk menyelamatkan dirinya dari dosa. Dan terang pula bahwa
boleh berpoligami itu tidak bergantung kepada sesuatu selain anaiaya (tidak
jujur), jadi tidak bersangkutan dengan mandul istri atau sakit yang
menghalanginya ketika tidur dengan suaminya dan tidak pula karena banyak jumlah
wanita.[8]
C.
Alasan Poligami
Pada dasarnya seorang pria
hanya boleh mempunyai seorang istri. Seorang suami yang beristri lebih dari
seorang dapat diperbolehkan bila dikendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan
dan Pengadilan Agama telah memberi izin (Pasal 3 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1
Tahun 1974). Dasar pemberian izin poligami oleh Pengadilan Agama diatur dalam
Pasal 4 ayat (2) Undang-Undang Perkawinan (UUP) dan juga dalam Bab IX KHI
Pasal 57 seperti dijelaskan sebagai
berikut:
a.
Isteri tidak dapat menjalankan kewajibannya
sebagai isteri;
b.
Isteri mendapat cacat badan atau penyakit yang
tidak dapat disembuhkan;
c.
Isteri tidak dapat melahirkan keturunan.
Apabila
diperhatikan alasan pemberian izin melakukan poligami di atas, dapat dipahami
bahwa alasannya mengacu kepada tujuan pokok pelaksanaan perkawinan, yaitu
membentuk rumah tangga yang bahagia dan kekal (istilah KHI disebut sakinah,
mawaddah, dan rahmah ) berdasarkan Ketuhanan Yang
Maha Esa. Apabila tiga alasan yang disebutkan di atas menimpa suami-istri maka
dapat dianggap rumah tangga tersebut tidak akan mampu menciptakan keluarga
bahagia (mawaddah dan rahmah).
D.
Syarat-syarat Poligami
Pasal 5 Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1974 memberikan persyaratan terhadap seorang suami yang akan
beristri lebih dari seorang sebagai berikut:
A.
Untuk dapat mengajukan permohonan kepada Pengadilan Agama sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang ini harus dipenuhi syarat-syarat
sebagai berikut:
a)
Adanya persetujuan dari istri/ isteri-isteri;
b)
Adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin
keperluan hidup isteri-isteri dan anak-anak mereka;
c)
Adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil
terhadap isteri-isteri dan anak-anak mereka.
B.
Persetujuan yang dimaksud pada ayat (1) huruf a pasal ini tidak diperlukan
bagi seorang suami apabila istri/istri-istrinya tidak mungkin dimintai
persetujuannya dan tidak dapat menjadi pihak dalam perjanjian, atau apabila
tidak ada kabar dari istrinya selama sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun, karena
sebab-sebab lainnya yang perlu mendapat penilaian dari hakim Pengadilan Agama.[9]
E.
Prosedur Poligami
Prosedur poligami menurut
Pasal 40 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1974 menyebutkan bahwa apabila
seorang suami bermaksud untuk beristri lebih dari seorang, maka ia wajib
mengajukan permohonan secara tertulis kepada pengadilan. Hal ini diatur lebih
lanjut dalam Pasal 56, 57, dan 58 Kompilasi Hukum Islam sebagai berikut:
Ø Pasal 56 KHI
1)
Suami yang hendak beristeri lebih dari satu
orang harus mendapat izin dari Pengadilan Agama.
2)
Pengajuan permohonan izin
dimaksud pada ayat (1) dilakukan menurut tata cara sebagaimana diatur
dalam Bab VIII Peraturan Pemerintah Nomor 9
Tahun 1975.
3)
Perkawinan yang dilakukan dengan isteri kedua,
ketiga atau ke empat tanpa izin dari Pengadilan Agama, tidak mempunyai kekuatan hukum.
Ø Pasal 57 KHI
Pengadilan Agama hanya
memberikan izin kepada suami yang akan beristri lebih dari seorang apabila:
a.
Isteri tidak dapat menjalankan kewajibannya
sebagai isteri;
b.
Isteri mendapat cacat badan atau penyakit yang
tidak dapat disembuhkan;
c.
Isteri tidak dapat melahirkan keturunan.
Kalau
Pengadilan Agama sudah menerima permohonan izin poligami, kemudian ia memriksa
berdasarkan
Ø Pasal 57 KHI :
a.
Ada atau tidaknya alasan yang memugkinkan seorang suami kawin lagi;
b.
Ada atau tidaknya persetujuan dari istri, baik persetujuan lisan maupun
tulisan, apabila persetujuan itu merupakan persetujuan lisan, persetujuan itu
harus diucapkan di depan sidang pengadilan;
c.
Ada atau tidaknya kemampuan suami untuk menjamin keperluan hidup
istri-istri dan anak-anak, dengan memperlihatkan:
i.
Surat keterangan mengenai penghasilan suami yang ditandatangani oleh
bendahara tempat bekerja, atau
ii.
Surat keterangan pajak penghasilan, atau
iii.
Surat keterangan lain yang dapat diterima oleh pengadilan.
Ø Pasal 58 ayat (2) KHI
Dengan
tidak mengurangi ketentuan Pasal 41 huruf b Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun
1975, persetujuan istri atau istri-istri dapat diberikan secara tertulis atau
dengan lisan, tetapi sekalipun telah ada persetujuan tertulis, persetujuan ini
dipertegas dengan persetujuan lisan istri pada sidang Pengadilan Agama.
Adapun
tata cara teknis pemeriksaan menurut Pasal 42 PP Nomor 9 Tahun 1975 adlah
sebagai berikut:
1)
Dalam melakukan pemeriksaan mengenai hal-hal pada Pasal 40 dan 41,
Pengadilan harus memanggil dan mendengar istri yang bersangkutan.
2)
Pemeriksaan pengadilan untuk itu dilakukan oleh hakim selambat-lambatnya 30
(tiga puluh) hari setelah diterimanya surat permohonan beserta
lampiran-lampirannya.
Apabila terjadi sesuatu
dan lain hal, istri atau istri-istri tidak mungkin diminta persetujuannya atau
tidak dapat menjadi pihak dalam perjanjian, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
Pasal 5 ayat (2) menegaskan:
Persetujuan yang dimaksud
pada ayat (1) huruf a pasal ini tidak diperlukan bagi seorang suami apabila
istri/istri-istrinya tidak mengkin dimintai persetujuannya, dan tidak dapat
menjadi pihak dalam perjanjian, atau apabila tidak ada kabar dari
istri-istrinya selama sekurang-sekurangnya 2 (dua) tahun atau karena
sebab-sebab lainnya yang perlu mendapat penilaian dari hakim Pengadilan (bandingkan juga dengan Pasal 58 KHI). Namun, bila Pengadilan berpendapat
bahwa cukup alasan bagi pemohon untuk beristri lebih dari seorang, maka
pengadilan memberikan putusannya yang berupa izin untuk beristri lebih dari
seorang (Pasal 43 PP Nomor 9 Tahun 1975).
Kalau sang istri tidak mau
memberikan persetujuan, dan permohonan izin untuk beristri lebih dari satu
orang berdasarkan salah satu alasan yang diatur dalam Pasal 55 ayat (2) dan
Pasal 57, Pengadilan Agama dapat menetapkan pemberian izin setelah
memeriksa dan mendengar istri yang bersangkutan di persidangan Pengadilan
Agama, dan terhadap penetapan ini istri atau suami dapat mengajukan banding
atau kasasi (Pasal 59 KHI). Apabila keputusan hakim yang mempunyai kekuatan
hukum tetap, izin pengadilan tidak diperoleh, maka menurut ketentuan Pasal 44
PP Nomor 9 Tahun 1975, Pegawai Pencatat dilarang untuk melakukan pencatatan
perkawinan seorang suami yang akan beristri lebih dari seorang sebelum adanya
izin pengadilan seperti yang dimaksud dalam Pasal 43 PP Nomor 9 Tahun 1975.
Ketentuan hukum yang
mengatur tentang pelaksanaan poligami seperti telah diuraikan di
atas mengikat semua pihak, pihak yang akan melangsungkan poligami dan
pegawai pencatat perkawinan. Apabila mereka melakukan pelanggaran terhadap
ketentuan pasal-pasal di atas, dikenakan sanksi pidana. Persoalan ini diatur
dalam Bab IX Pasal 45 PP Nomor 9 Tahun 1975 :
1)
Kecuali apabila ditentukan lain dalam peraturan perundang-undangan yang
berlaku, maka:
a.
Barang siapa yang melanggar ketentuan yang diatur dalam Pasal 3, Pasal 10
ayat (3), 40 Peraturan Pemerintah akan dihukum dengan hukuman denda
setinggi-tingginya Rp.7.500,00 (tujuh ribu lima ratus rupiah);
b.
Pegawai Pencatat yang melanggar ketentuan yang diatur dalam Pasal 6, 7, 8,
9, 10 ayat (1), 11, 12, dan 44 Peraturan Pemerintah ini dihukum dengan
hukuman kurungan selama-lamanya 3 (tiga) bulan atau denda
setinggi-tingginya Rp.7.500,00 (tujuh ribu lima ratus rupiah).
2)
Tindak pidana yang dimaksud dalam ayat (1) di atas, merupakan pelanggaran.
Ketentuan hukum poligami
yang boleh dilakukan atas kehendak yang bersangkutan melalui izin Pengadilan
Agama, setelah dibuktikan kemaslahatannya. Dengan kemaslahatan dimaksud,
terwujudnya cita-cita dan tujuan perkawinan itu sendiri, yaitu rumah tangga
yang kekal dan abadi atas dasar cinta dan kasih sayang yang diridhai oleh Allah
SWT. Oleh karena itu, segala persoalan yang dimungkinkan akan menjadi
penghalang bagi terwujudnya tujuan perkawinan tersebut, sehingga mesti
dihilangkan atau setidaknya dikurangi
Status hukum poligami
adalah mubah. Mubah dimaksud, sebagai alternatisf untuk beristri hanya sebatas
4 (empat) orang istri. Hal itu ditegaskan oleh Pasal 55 KHI sebagai berikut:
1.
Beristeri lebih dari satu orang dalam waktu
bersamaan, terbatas hanya sampai empat orang isteri.
2.
Syarat utama beristeri lebih dari satu orang,
suami harus mampu berlaku adil terhadap isteri-isteri dan anak-anaknya.
3.
Apabila syarat utama yang disebut pada ayat 2)
tidak mungkin terpenuhi, suami dilarang beristeri lebih dari satu.
Dasar
pertimbangan KHI adalah hadits Nabi Muhammad SAW. yang diriwayatkan oleh Ahmad,
At-Tirmidzi, dan Ibn Hibban yang mengugkapkan bahwa sesungguhnya Gailan Ibn
Salamah masuk Islam dan ia mempunyai 10 (sepuluh) orang istri. Mereka
bersama-sama, dan dia masuk Islam. Maka Nabi Muhammad SAW. memerintahkan kepadanya
agar memilih empat orang saja di antaranya dan menceraikan yang lainnya.[10]
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Poligami adalah
suatu bentuk perkawinan di mana seorang pria dalam waktu yang sama mempunyai
istri lebih dari seorang wanita. Adapun alasan Poligami, pada dasarnya seorang pria hanya boleh mempunyai seorang istri. Seorang
suami yang beristri lebih dari seorang dapat diperbolehkan bila dikendaki oleh
pihak-pihak yang bersangkutan dan Pengadilan Agama telah memberi izin (Pasal 3 ayat
(2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974). Dasar pemberian izin poligami oleh
Pengadilan Agama diatur dalam Pasal 4 ayat (2) Undang-Undang Perkawinan (UUP)
dan juga dalam
Bab IX KHI Pasal 57.
Adapun syarat-syarat poligami, termaktub dalam Pasal 5 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 memberikan
persyaratan terhadap seorang suami yang akan beristri lebih dari seorang.
Prosedur Poligami. Adapun prosedur poligami menurut Pasal 40 Peraturan Pemerintah Nomor 9
Tahun 1974 menyebutkan bahwa apabila seorang suami bermaksud untuk beristri
lebih dari seorang, maka ia wajib mengajukan permohonan secara tertulis kepada
pengadilan. Hal ini diatur lebih lanjut dalam Pasal 56, 57, dan 58 Kompilasi
Hukum Islam.
A. Kesimpulan
Poligamai
adalah perkawinan yang banyak
atau lebih dari seorang, dan poligami itu sendiri adalahadalah syariat
Islam yang merupakan sunnah Rasulallah SAW.
Syarat-syarat
Poligami: 1. Kemampuan Melakukan Poligami 2. Berlaku Adil Terhadap Para
Isteri Dalam Pembahagian Giliran dan Nafkah 3. Seorang lelaki yang menikah
menanggung berbagai kewajiban terhadap isteri dan anaknya termasuk nafkah.
Seorang laki-laki yang melakukan poligami memikul tambahan kewajiban nafkah
dengan sebab bertambah isterinya.
Ternyata
salah satu fungsi poligami itu sendiri justru menguntungkan bagi keseimbangan
kehidupan sosial yang ada di dunia ini dikarnakan tidak berbanding seimbang
dengan kaum peria, yang mana kaum wanita lebih banyak dari kaum peria.
ketentuan
pasal-pasal tentang poligami, sebagaimana diatur pada bab IX KHI, ternyata
syarat-syarat yang diberikan tidak hanya bersifat substansial tetapi juga
syarat-syarat formal
[2] Al-qamar Hamid, Hukum Islam Alternative Terhadap Masalah Fiqh
Kontemporer, (Jakarta: Restu
Ilahi, 2005), hal 19
[4] Khoiruddin Nasution, Riba Dan Poligami, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar Dengan
Academia, 1996) hal. 84
[6] Fada Abdul Razak
Al-Qoshir, Wanita Muslimah Antara
Syari`At Islam Dan Budaya Barat, (Yogyakarta: Darussalam Offset, 2004) hal. 42-45
[1] Achmad
Kuzari, nikah sebagai perikatan, (Jakarta: PT Raja Grafindo, 1995), hal 159
[2] Al-qamar
Hamid, Hukum Islam Alternative Terhadap Masalah Fiqh Kontemporer, (Jakarta:
Restu Ilahi, 2005), hal 19
[3] Aisjah
Dahlan, Membina Rumah Tangga Bahagia, Cet 1. (Jakarta: Jamunu, 1969), hal 69
[4] Khoiruddin
Nasution, Riba Dan Poligami, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar Dengan Academia,
1996) hal. 84
[5] berlaku
adil ialah perlakuan yang adil dalam meladeni isteri seperti pakaian, tempat,
giliran dan lain-lain yang bersifat lahiriyah.
[6] Islam
memperbolehkan poligami dengan syarat-syarat tertentu. sebelum turun ayat Ini
poligami sudah ada, dan pernah pula dijalankan oleh para nabi sebelum nabi
Muhammad s.a.w. ayat Ini membatasi poligami sampai empat orang saja.
[7] Fada
Abdul Razak Al-Qoshir, Wanita Muslimah Antara Syari`At Islam Dan Budaya Barat,
(Yogyakarta: Darussalam Offset, 2004) hal. 42-45
[8] Ibid.
hal 200
[9] Zainuddin
Ali, Hukum Perdata Islam di Indonesia,(Jakarta: Sinar Grafika, 2006), hal. 47.
[10] Ibid.
No comments:
Post a Comment
silahkan berkomentar sebagai saran dan kritik, terimakasih