MAKALAH
POLITIK PENDIDIKAN
“
TANGGUNG JAWAB
NEGARA DALAM PENDIDIKAN “
Dosen
Pembimbing : Drs. Choirul
Mahfudz
Di
Susun Oleh :
Ahmad Alfan Taufiq
Zaim Amaliy
Idam Kholid
Universitas
Muhammadiyah Surabaya 2014
PENDAHLUAN
PENDAHLUAN
A.
Latar Belakang
Para pendahlu bangsa ini sebenarnya punya cita-cita besar.
Cita-cita besar itu
bukan hanya
masalah pembangunan ekonomi. Cita-cita
besar itu sebagaimana termaktub dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 (UUD
1945)yaitu
mencerdaskan kehidupan bangsa.
Alasan yang kuat mengapa cita-cita
mencerdaskan kehidupan bangsa sebegitu pentingnya hingga menjadi salah satu
tujuan Negara. Karena mereka
sadar bahwa bangsa ini ingin
memajukan
kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa.
Lebih dari setahun lalu Mahkamah Konstitusi (MK)
mengeluarkan sebuah putusan penting yang membangkitkan kembali secercah harapan
bagi cita-cita pendidikan bangsa ini. Yaitu Sistem Pendidikan Nasional dan
Badan Hukum Pendidikan. Dua undang-undang tersebut selama ini dianggap sebagai
pembawa roh liberalisasi pendidikan yang berakibat pada lepasnya tanggung jawab
negara terhadap pendidikan dan makin mahalnya biaya pendidikan.
Oleh karena itu dalam makalah ini kami akan membahas
tentang bagaimana tindak lanjut atau tanggng jawab negara terhadap pendidikan.
B.
Rumusan Masalah
·
Bagaimana gambaran problema pendidikan?
·
Bagaimana tanggung jawab Negara dalam Pendidikan?
C.
Tujuan
·
Untuk mengetahui gambaran problema pendidikan.
·
Untuk mengetahui Tanggung Jawab Negara dalam pendidikan.
PEMBAHASAN
A. Gambaran problematika pendidikan
Ujian
Nasional (UNAS) yang menentukan lulus tidaknya siswa mulai dari Sekolah Dasar
(SD) hingga SMA sudah dan akan digelar. Ujian Nasional yang sekarang telah diganti nama menjadi Ujian Akhir Sekolah
Berstandar Nasional (UASBN) Banyak sekali pro – kontra yang mewarnai UASBN ini
pada setiap tahunnya, dari masalah nilai standar kelulusannya yang pada setiap
tahunnya itu naik, dan pada tahun ini nilai standar kelulusanya adalah 5,5.
Selain
masalah standar nilai kelulusan, masalah yang sering mewarnai pelaksanaan Ujian
Nasional ini setiap tahunnya adalah masalah keuangan yang harus dibayar siswa
menjelang pelaksanaan Ujian Nasional ini. Sebagai contoh adalah “seorang ibu
yang bernama Anik Setyowati, yang merupakan seorang buruh cuci yang penghasilannya
hanya Rp. 250.000,- per bulan, harus datang ke SMA PGRI Lawang jum’at (17/4)
dengan menangis dan bahkan bersimpuh depan loket Tata Usaha (TU) untuk memohon
kompenasi dari pihak sekolah, karena putranya, Eko prasetyo, terancam tidak
bisa ikut Ujian Akhir Sekolah Berstandar Nasional (UASBN) disebabkan belum
melunasi uang Ujian Nasional (UNAS) sebesar Rp. 485.000,-“. (Surya/17 April
2009).
Adanya
fakta yang terungkap di atas adalah seperti fenomena gunung es, dimana
sebenarnya masih banyak lagi para siswa yang mengalami nasib yang sama yaitu
mereka terancam untuk tidak bisa ikut Ujian Akhir Nasional (UNAS) disebabkan
karena tidak dapat membayar biaya untuk ujian tersebut.
Sungguh
sangat memilukan bagi kita semua apabila ada siswa yang tidak bisa ikut Ujian
Nasional hanya dikarenakan gara-gara tidak bisa membayar biaya untuk ujian. Dimanakah tanggung jawab Negara.
Bukankah Anggaran Belanja Negara ini mengalokasikan 20% dari anggarannya untuk
biaya pendidikan.
Maka apabila Negara ini benar-benar menganggarkan 20% dari APBN (Anggaran
Pengeluaran Belanja Negara) untuk biaya pendidikan maka masalah seperti ini
mungkin tidak akan terjadi, ataukah memang pihak sekolah yang sengaja tetap
menarik iuran dari para siswanya untuk biaya ujian.
B. Tanggung jawab Negara dalam Pendidikan.
Dalam pembukaan UUD 1945, jelas tertera bahwa tujuan
pendirian negara adalah untuk membentuk suatu pemerintahan negara Indonesia
yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan tumpah darah Indonesia, serta
memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa.
Dari kutipan tersebut,
nampak jelas bahwa pemerintah negara republik adalah pemerintah yang
menurut deklarasi kemerdekaan harus secara aktif melaksanakan misi tersebut. Di
antaranya, dengan memajukan kesejahateraan umum dan mencerdaskan kehidupan
bangsa.
Tanggung jawab Negara dalam Pendidikan sebagaimana
termaktub dalam UUD 1945 yang mengatur masalah pendidikan terdapat dalam Pasal
31 Yang berbunyi:
(1) Tiap-tiap
Warganegara berhak mendapat pengajaran.
(2) Pemerintah
mengusahakan dan menyelenggarakan suatu sistem pengajaran nasional yang diatur
dengan undang-undang.
(3) Pemerintah
mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional, yang
meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, yang
diatur dengan undang-undang.
(4) Negara
memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya dua puluh persen dari
anggaran pendapatan dan belanja negara serta dari anggaran pendapatan dan
belanja daerah untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional.
(5) Pemerintah
memajukan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan menjunjung tinggi nilai-nilai
agama dan persatuan bangsa untuk kemajuan peradaban serta kesejahteraan umat
manusia.
Hal ini menunjukkan bahwa perumus amandemen UUD 1945
tidak menggeser pandangannya yang meyakini bahwa prinsip penting yang dibawa
melalui amandemen adalah negara menegaskan posisinya sebagai aktor yang
berperan aktif dalam memajukan pendidikan. Penegasan hal tersebut dapat dilihat
pada ayat (2) yang mewajibkan warga negara mengikuti pendidikan dan pemerintah
wajib membiayai. Selain itu, di ayat (4) ditegaskan bahwa politik anggaran
dalam UUD 1945 memberikan porsi yang cukup besar bagi pendidikan.
Ayat (4) mengatur bahwa anggaran pendidikan di negara ini
proporsinya sekurang-kurangnya dua puluh persen (20%) dari Anggaran Pendapatan
dan Belanja Negara (APBN) dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD).
Selain ayat (2) dan (4), ayat (1) dan (3) menunjukkan hubungan yang jelas antara warganegara dan pemerintah
dalam suatu sistem pendidikan.
Negara di ayat (1) menjamin bahwa setiap warganegara
berhak mendapatkan pendidikan. Artinya, jangan sampai warganegara kesulitan
mengakses pendidikan apalagi haknya tidak dapat dipenuhi karena ia tidak mampu
membayar. Sedangkan di ayat (3) ditegaskan bahwa pemerintah mengusahakan dan
menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional yang mencerdaskan kehidupan
bangsa.
Dari dua ayat ini dapat disimpulkan bahwa untuk
mencerdaskan kehidupan bangsa maka sistem pendidikan nasional yang diusahakan
dan diselenggarakan sebaiknya adalah sistem yang tidak menghalangi-halangi
warganegara untuk mendapatkan haknya.
Dalam sudut pandang yang lebih emansipatoris, pendidikan
dilihat bukan hanya sebagai upaya mengubah manusia, misalnya dari yang tak
berpengetahuan menjadi berpengetahuan.
Pendidikan juga dilihat sebagai upaya membebaskan manusia
dari penindasan. Melalui pendidikan, kaum tertindas dapat melihat bagaimana
dunia tersebut tertindas dan berkomitmen untuk melakukan transformasi. Dari
sanalah kemerdekaan secarapermanen dapat diraih.
Berdasarkan sudut pandang ini, kita dapat melihat bahwa
cita mencerdaskan kehidupan bangsa dalam konstitusi juga merupakan visi bagi
pencapaian kemerdekaan yang permanen dimana Indonesia yang sebelumnya tertindas
dapat bertransformasi menjadi Indonesia yang merdeka 100%.
Kesadaran akan betapa mulianya pendidikan tampaknya
menyadarkan para pendahulu kita bahwa negara tidak dapat lepas tangan terhadap
pendidikan.
Akhirnya,
pemerintah baru Indonesia tahun 2009-2014, diharapkan dapat benar-benar
melaksanakan ketentuan tentang pendidikan yang
tertulis dalam pasal 31 UUD 1945, sesuai
sumpah jabatan Presiden.
PENUTUP
Kesimpulan
1.
Salah satu problematika pendidikan yang sekarang menjadi
topik yang hangat dibicarakan adalah tentang Biaya pendidikan sekolah.
2.
Pokok dari tanggung jawab Negara dalam pendidikan adalah
yang terdapat dalam UUD Pasal 31.
Memang
banyak sekolah – sekolah yang membebankan biaya untuk para siswa tahap akhir
(siswa kelas 3), tapi memang biasanya bukan biaya untuk UNAS, melainkan
merupakan biaya lainnya, seperti perpisahan dan wisuda para siswa yang lulus
nantinya, serta tanggungan – tangungan lain tentunya. Sebenarnya biaya –biaya
seperti itu (biaya perpisahan dan biaya wisuda) tidak terlalu penting untuk
dilaksanakan, tapi yang jadi masalah adalah bawasannya prosesi – prosesi yang
sering dilakukan itu seakan menjadi tradisi dan ritual wajib yang harus
dilaksanakan bagi para siswa yang lulus dan siswa yang harus menanggung biaya
prosesi – prosesi di atas. Walaupun prosesi – prosesi di atas tidak dilakukan
maka seharusnya tidak berpengaruh apa – apa pada siswa dan tanpa prosesi –
prosesi tersebut ijazah pun masih bisa didapat. Tapi masih tetap ada saja
sekolah yang tetap menarik iuran para siswanya untuk biaya UNAS, karena pihak
sekolah merasa bahwa dana yang diberikan pemerintah untuk pelaksanaan Ujian
Akhir Sekolah Berstandar Nasional (UASBN) tidaklah mencukupi. Dana subsidi
UASBN tahun ini dari pemerintah yaitu sebesar Rp. 25.000,- per siswa untuk
tingkat SMP dan Rp. 30.000,- per siswa untuk tingkat atas (SMA) dirasa oleh
pihak sekolah tidaklah mencukupi, hal ini disebabkan karena selain siswa harus
mengikuti UNAS atau UASBN maka siswa harus juga mengikuti ujian – ujian lain,
seperti ujian sekolah maupun ujain praktik. Dana subsidi UASBN dari pemerintah
itu juga kurang untuk membiayai pelaksanaan UASBN karena sekolah harus
menaggung biaya teknis lain untuk pelaksanaan UNAS ini seperti biaya untuk
konsumsi dan transportasi bagi para pengawas UASBN. Jadi seharusnya pemerintah
harus tanggap dengan keadaan yang terjadi sebenarnya di lapangan, jangan malah
siswa yang dibebankan untuk menanggung biaya tersebut. Bukan hanya untuk biaya
UNAS tapi seharusnya pemerintah bertanggung jawab penuh akan hak dasar yakni
pendidikan bagi setiap warganya. Karena hanya dengan orang –orang yang cerdas
dan berpendidikan bangsa ini bisa maju dan terlepas dari berbagai keterpurukan
yang melanda bangsa selama ini dan Negara ini pun tidak lagi menjadi jongos
para Negara adidaya. Mewujudkan pendidikan yang murah atau bahkan gratis serta
berkualitas harusnya menjadi tanggung jawab Negara, dan Negeri tercinta ini
bisa mewujudkan pendidikan seperti itu, asalkan kekayaan alam yang melimpah
harus dikelola secara mandiri oleh Negara. Seandainya tanbang emas di Papua
(Freport) dan tambang minyak di Blog Cepu dikelola secara mandiri oleh bangsa
ini maka jangankan pendidikan gratis bahkan kesehatanpun bisa digratiskan oleh
Negara.
Jadi tidak akan ada lagi kasus gagal ujian karena terganjal masalah ekonomi dan tidak akan lagi ada anak yang putus sekolah walaupun mereka berasal dari keluarga yang kurang mampu sekalipun, hal ini bisa diwujudkan asalkan Negara benar – benar peduli dengan hak dasar rakyatnya yakni pendidikan. Maka tidak akan ada ibu yang menangis karena dipaksa membayar biaya UNAS atau biaya sekolah.
Jadi tidak akan ada lagi kasus gagal ujian karena terganjal masalah ekonomi dan tidak akan lagi ada anak yang putus sekolah walaupun mereka berasal dari keluarga yang kurang mampu sekalipun, hal ini bisa diwujudkan asalkan Negara benar – benar peduli dengan hak dasar rakyatnya yakni pendidikan. Maka tidak akan ada ibu yang menangis karena dipaksa membayar biaya UNAS atau biaya sekolah.
Dalam putusannya, MK menyatakan Pasal 6 ayat (2) sepanjang frasa, “... bertanggung jawab”
tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat kecuali dimaknai, “... ikut bertanggung
jawab”, Pasal 12 ayat (1) huruf c sepanjang frasa “...yang orang tuanya tidak
mampu membiayai pendidikannya” tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Selain
itu Penjelasan Pasal 53 ayat (1) UU
Sisdiknas dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, sedangkan Pasal
53 ayat (1) sendiri dinyatakan konstitusional sepanjang frasa“badan hukum
pendidikan” dimaknai sebagai sebutan fungsi penyelenggara pendidikan dan bukan
sebagai bentuk badan hukum tertentu. Sedangkan UU BHP dinyatakan oleh MK
bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Dengan putusan tersebut sebenarnya negara ini telah diingatkan bahwa sebenarnya
pendidikan masih merupakan tanggung jawab negara. Pendidikan bukanlah komoditas
yang dapat dilepas begitu saja ke dalam mekanisme pasar yang ganas. Negara perlu memastikan bahwa setiap
warganegara dapat mengakses pendidikan secara mudah dan murah atau bahkan gratis.
Tulisan ini akan mengupas bagaimana seharusnya tanggung jawab negara terhadap
pendidikan jika mengacu pada konstitusi, baik dalam Pembukaan dan Batang Tubuh.
Dengan demikian analisis terhadap putusan MK juga tidak dapat lepas daritulisan
ini pendidikan dilihat bukan hanya sebagai upaya mengubah manusia, misalnya
dari yang tak berpengetahuan menjadi berpengetahuan. Pendidikan juga dilihat
sebagai upaya membebaskan manusia dari penindasan. Melalui pendidikan, kaum
tertindas dapat melihat bagaimana dunia tersebut tertindas dan berkomitmen untuk
melakukan transformasi. Dari sanalah kemerdekaan secarapermanen dapat
diraih.Berdasarkan sudut pandang ini, kita dapat melihat bahwa cita
mencerdaskan kehidupan bangsa dalam konstitusi juga merupakan visi bagi
pencapaian kemerdekaan yang permanen dimana Indonesia yang sebelumnya tertindas
dapat bertransformasimenjadi Indonesia yang merdeka 100%. Kesadaran akan betapa
mulianya pendidikan tampaknya menyadarkanfounding parents bahwa negara tidak
dapat lepas tangan terhadap pendidikan. Namun enam dekade kemudian, perubahan
tatanan global membalikkan anggapan bahwa pendidikan adalah tanggung jawab
negara. Perubahan ini disebabkan dunia telah menjadi sebuah entitas yang
tunggal dimana negara-bangsa mulai pudar. Negara bukan lagi menjadi penentu,
melainkan pasarlah yang justru mempengaruhi bagaimana kebijakan bergerak.
Negara tidak dapat lagi memproteksi dan
mengintervensi setiap sector kehidupan. Terbentuklah negara minimalis dimana
organisasi perdagangan dunia, WTO (World Trade Organization), menjadi
pengarahnya. Dalam kaitannya dengan pendidikan, WTO telah menempatkan
pendidikan sebagai salah satu sektor yang harus bergerak bebas tanpa kendali.
WTO, melalui General Agreement on Trade in Services (GATS), menempatkan
pendidikan sebagai salah satu sektor industri tersier yang perlu
diliberalisasi. Sementara Indonesia sejak 1995 telah menjadi anggota WTO dengan
diratifikasinya semua perjanjian-perjanjian perdagangan multilateral menjadi
Undang-UndangNomor 7 tahun 1994. Perjanjian tersebut mengatur tata-perdagangan barang, jasa dan trade related intellectual
property rights (TRIPS) atau hak atas kepemilikan intelektual yang terkait
dengan perdagangan. Dalam bidang jasa, yang masuk sebagai obyek pengaturan WTO
adalah semua jasa kecuali “jasa non-komersial atau tidak bersaing dengan
penyedia jasa lainnya”.Dengan ditempatkannya pendidikan sebagai sektor yang
diliberalisasi maka tatanan global telah menempatkan pendidikan sebagai sektor
jasa yang bersifat komersial. Penyokong fundamentalisme pasar selalu
berargumen, liberalisasi akansemakin menguntungkan konsumen karena bekerja
berdasarkan mekanisme permintaan dan penawaran yang melahirkan keseimbangan
pasar. Keseimbangan dalam pasar tersebut merupakan titik optimal bagi konsumen
untuk mengakses jasa/barang yang diinginkannya, dalam hal ini harapannya adalah
makin murahnya pendidikan dan semakin mudah diakses. Konsumen pun bebas
menentukan jasa pendidikan mana yang ingin dinikmatinya. Tatanan global abad
21, dengan pandangan neoliberalnya, memang telah menggiring negara menjadi
negara dengan peran pemerintah seminimal mungkin. Semuanya diserahkan pada
fundamentalisme pasar dengan memberikan peran yang lebih besar pada masyarakat
madani yang otonom dan individualisme ekonomi yang kuat.Dalam masyarakat yang
diarahkan makin mandiri dan menjadi masyarakat madani yang kuat, para penganut
neoliberalisme percaya bahwa liberalisasi pendidikan dapat memberikan banyak
pilihan bagi individu dan kebebasan untuk menentukan pendidikan seperti apa
yang ingin dienyamnya.Padahal terdapat beberapa kekeliruan paradigmatis dalam
pandangan neoliberal terhadap pendidikan yang dapat menyebabkan pendidikan
menjadi sesat jalan jika semata-mata diserahkan pada mekanisme pasar. Pertama,pendidikan
dilihat semata-mata sebagai cara untuk mengembangkan individu agar siap
berkompetisi. Konsekuensinya, pendidikan akan menjadi pencetak pelaku-pelaku
yang saling berkompetisi di pasar kerja. Kedua, pendidikan diposisikan sebagai
komoditas yang dapat diperdagangkan di pasar untuk uang atau status. Keahlian
atau pengetahuan yang ditawarkan oleh pendidikan, sebagai komoditas, pun
menjadi cerminan dari pasar itu sendiri. Misal, tingginya kebutuhan pasar akan
tenaga sektor teknologi informasi akan mendorong tingginya penawaran akan
pendidikan berbasis teknologi informasi. Kekeliruan pandangan ini
dilatarbelakangi kekeliruan melihat pendidikan sebagai sektor jasa yang
bersifat komersial. Ketiga, pendidikan disediakan secara umum
namundidistribusikan dan diakses secara privat. Karena didistribusikan dan
diakses secara privat maka yang terjadi adalah persaingan. Baik persaingan
antar para pemakai jasa (calon peserta didik) maupun antar penyedia jasa
(sekolah dan perguruan tinggi).Asumsi-asumsi neoliberal tersebut menunjukkan
bagaimana negaraberusaha untuk dihilangkan peran krusialnya, salah satunya di
bidang pendidikan.Walaupun dalam kenyataannya, negara-negara maju yang turut
menyarankan sistemini justru menunjukkan hal yang sebaliknya.Oleh karena itu,
liberalisasi pendidikan yang telah menjadiskema global melalui paradigma
neoliberalnya seharusnya dilihat secara
lebih kritis karena tidak mungkin sebuah paradigma dibawa ke pendidikan
semata-mata bebas nilai. Namun, skema
liberalisasi tersebut masuk ke negara ini melalui sebuah proses yang legal,
yaitu melalui legislasi nasional.Dalam titik inilah pandangan neoliberal,
globalisasi, dan fundamentalisme pasar telah masuk hingga perguruan tinggi
untuk melanggengkan kepentingan globalisasi itu sendiri. Dalam kondisi
demikian, negara dalam kendalinya atas dunia pendidikan menghadapi dua tekanan.
Tekanan dari tuntutan global yang menyuarakan liberalisasi, privatisasi, dan
pengenalan mekanisme pasar terhadap sektor publik. Semua itu demi
efisiensi,persaingan, dan penyediaan layanan yang berorientasi pada konsumen.
Arus pemikiran ini mendasarkan asumsinya
pada preposisi bahwa adanya lebih banyak kompetisi di pasar akan mengarahkan
pelayanan pada kualitas yang lebih baik, responsivitas yang tinggi, dan tentu
saja itu semua untuk menggapai konsumen dalam jumlah yang lebih besar. Semua asumsi
dan pemikiran tersebut dibawa dalam paradigma pendidikan sehingga pendidikan
benar-benar telah dikomodifikasi sedemikian rupa sesuai selera pasar. Sementara
tuntutan yang lain adalah tuntutan dari
dalam negeri sendiri yang menghendaki dipertahankannya kendali negara terhadap
pendidikandan tidak menyerahkannya pada mekanisme pasar semata. Ales Vlk dalam
penelitiannya menemukan bahwa adanya tuntutan liberalisasi pendidikan di Eropa
melalui GATS telah melemahkan kendali negara terhadap pendidikan. Tuntutan
meliberalisasi pendidikan melalui WTO, GATS, European Commission (lembaga
eksekutif dari Uni Eropa), serta lembaga-lembaga bisnis industri telah
memberikan pengaruh yang besar dalam membawa tuntutan liberalisasi dan
pengenalan mekanisme pasar dalam pendidikan. Kendati demikian, tuntutan
tersebut berbenturan dengan tuntutan di
level nasional yang menyuarakan sebaliknya. Tatanan benturan kepentingan
tersebut digambarkan Ales Vlk dalam skema di bawah ini:
No comments:
Post a Comment
silahkan berkomentar sebagai saran dan kritik, terimakasih