Wednesday, June 4, 2014

MAKALAH POLITIK PENDIDIKAN
TANGGUNG JAWAB NEGARA DALAM PENDIDIKAN


Dosen Pembimbing : Drs. Choirul Mahfudz
Di Susun Oleh :
Ahmad Alfan Taufiq
Zaim Amaliy
Idam Kholid

Universitas Muhammadiyah Surabaya 2014
PENDAHLUAN
A.    Latar Belakang
Para pendahlu bangsa ini sebenarnya punya cita-cita besar. Cita-cita besar itu bukan hanya masalah pembangunan ekonomi. Cita-cita besar itu sebagaimana termaktub dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945)yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa.
Alasan yang kuat mengapa cita-cita mencerdaskan kehidupan bangsa sebegitu pentingnya hingga menjadi salah satu tujuan Negara. Karena mereka sadar bahwa bangsa ini ingin memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa.
Lebih dari setahun lalu Mahkamah Konstitusi (MK) mengeluarkan sebuah putusan penting yang membangkitkan kembali secercah harapan bagi cita-cita pendidikan bangsa ini. Yaitu Sistem Pendidikan Nasional dan Badan Hukum Pendidikan. Dua undang-undang tersebut selama ini dianggap sebagai pembawa roh liberalisasi pendidikan yang berakibat pada lepasnya tanggung jawab negara terhadap pendidikan dan makin mahalnya biaya pendidikan.
Oleh karena itu dalam makalah ini kami akan membahas tentang bagaimana tindak lanjut atau tanggng jawab negara terhadap pendidikan.
B.     Rumusan Masalah
·         Bagaimana gambaran problema pendidikan?
·         Bagaimana tanggung jawab Negara dalam Pendidikan?
C.     Tujuan
·         Untuk mengetahui gambaran problema pendidikan.
·         Untuk mengetahui Tanggung Jawab Negara dalam pendidikan.




PEMBAHASAN
A. Gambaran problematika pendidikan
Ujian Nasional (UNAS) yang menentukan lulus tidaknya siswa mulai dari Sekolah Dasar (SD) hingga SMA sudah dan akan digelar. Ujian Nasional yang sekarang telah diganti nama menjadi Ujian Akhir Sekolah Berstandar Nasional (UASBN) Banyak sekali pro – kontra yang mewarnai UASBN ini pada setiap tahunnya, dari masalah nilai standar kelulusannya yang pada setiap tahunnya itu naik, dan pada tahun ini nilai standar kelulusanya adalah 5,5.
Selain masalah standar nilai kelulusan, masalah yang sering mewarnai pelaksanaan Ujian Nasional ini setiap tahunnya adalah masalah keuangan yang harus dibayar siswa menjelang pelaksanaan Ujian Nasional ini. Sebagai contoh adalah “seorang ibu yang bernama Anik Setyowati, yang merupakan seorang buruh cuci yang penghasilannya hanya Rp. 250.000,- per bulan, harus datang ke SMA PGRI Lawang jum’at (17/4) dengan menangis dan bahkan bersimpuh depan loket Tata Usaha (TU) untuk memohon kompenasi dari pihak sekolah, karena putranya, Eko prasetyo, terancam tidak bisa ikut Ujian Akhir Sekolah Berstandar Nasional (UASBN) disebabkan belum melunasi uang Ujian Nasional (UNAS) sebesar Rp. 485.000,-“. (Surya/17 April 2009).
Adanya fakta yang terungkap di atas adalah seperti fenomena gunung es, dimana sebenarnya masih banyak lagi para siswa yang mengalami nasib yang sama yaitu mereka terancam untuk tidak bisa ikut Ujian Akhir Nasional (UNAS) disebabkan karena tidak dapat membayar biaya untuk ujian tersebut.
Sungguh sangat memilukan bagi kita semua apabila ada siswa yang tidak bisa ikut Ujian Nasional hanya dikarenakan gara-gara tidak bisa membayar biaya untuk ujian. Dimanakah tanggung jawab Negara. Bukankah Anggaran Belanja Negara ini mengalokasikan 20% dari anggarannya untuk biaya pendidikan. Maka apabila Negara ini benar-benar menganggarkan 20% dari APBN (Anggaran Pengeluaran Belanja Negara) untuk biaya pendidikan maka masalah seperti ini mungkin tidak akan terjadi, ataukah memang pihak sekolah yang sengaja tetap menarik iuran dari para siswanya untuk biaya ujian.

B. Tanggung jawab Negara dalam Pendidikan.
Dalam pembukaan UUD 1945, jelas tertera bahwa tujuan pendirian negara adalah untuk membentuk suatu pemerintahan negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan tumpah darah Indonesia, serta memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa.
Dari kutipan tersebut,  nampak jelas bahwa pemerintah negara republik adalah pemerintah yang menurut deklarasi kemerdekaan harus secara aktif melaksanakan misi tersebut. Di antaranya, dengan memajukan kesejahateraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa.
Tanggung jawab Negara dalam Pendidikan sebagaimana termaktub dalam UUD 1945 yang mengatur masalah pendidikan terdapat dalam Pasal 31 Yang berbunyi:
(1)  Tiap-tiap Warganegara berhak mendapat pengajaran.
(2)  Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan suatu sistem pengajaran nasional yang diatur dengan undang-undang.
(3)  Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional, yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam  rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, yang diatur dengan undang-undang.
(4)  Negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya dua puluh persen dari anggaran pendapatan dan belanja negara serta dari anggaran pendapatan dan belanja daerah untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional.
(5)  Pemerintah memajukan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan menjunjung tinggi nilai-nilai agama dan persatuan bangsa untuk kemajuan peradaban serta kesejahteraan umat manusia.
Hal ini menunjukkan bahwa perumus amandemen UUD 1945 tidak menggeser pandangannya yang meyakini bahwa prinsip penting yang dibawa melalui amandemen adalah negara menegaskan posisinya sebagai aktor yang berperan aktif dalam memajukan pendidikan. Penegasan hal tersebut dapat dilihat pada ayat (2) yang mewajibkan warga negara mengikuti pendidikan dan pemerintah wajib membiayai. Selain itu, di ayat (4) ditegaskan bahwa politik anggaran dalam UUD 1945 memberikan porsi yang cukup besar bagi pendidikan.
Ayat (4) mengatur bahwa anggaran pendidikan di negara ini proporsinya sekurang-kurangnya dua puluh persen (20%) dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Selain ayat (2) dan (4), ayat (1) dan (3) menunjukkan hubungan  yang jelas antara warganegara dan pemerintah dalam suatu sistem pendidikan.
Negara di ayat (1) menjamin bahwa setiap warganegara berhak mendapatkan pendidikan. Artinya, jangan sampai warganegara kesulitan mengakses pendidikan apalagi haknya tidak dapat dipenuhi karena ia tidak mampu membayar. Sedangkan di ayat (3) ditegaskan bahwa pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional yang mencerdaskan kehidupan bangsa.
Dari dua ayat ini dapat disimpulkan bahwa untuk mencerdaskan kehidupan bangsa maka sistem pendidikan nasional yang diusahakan dan diselenggarakan sebaiknya adalah sistem yang tidak menghalangi-halangi warganegara untuk mendapatkan haknya.
Dalam sudut pandang yang lebih emansipatoris, pendidikan dilihat bukan hanya sebagai upaya mengubah manusia, misalnya dari yang tak berpengetahuan menjadi berpengetahuan.
Pendidikan juga dilihat sebagai upaya membebaskan manusia dari penindasan. Melalui pendidikan, kaum tertindas dapat melihat bagaimana dunia tersebut tertindas dan berkomitmen untuk melakukan transformasi. Dari sanalah kemerdekaan secarapermanen dapat diraih.
Berdasarkan sudut pandang ini, kita dapat melihat bahwa cita mencerdaskan kehidupan bangsa dalam konstitusi juga merupakan visi bagi pencapaian kemerdekaan yang permanen dimana Indonesia yang sebelumnya tertindas dapat bertransformasi menjadi Indonesia yang merdeka 100%.
Kesadaran akan betapa mulianya pendidikan tampaknya menyadarkan para pendahulu kita bahwa negara tidak dapat lepas tangan terhadap pendidikan.
Akhirnya, pemerintah baru Indonesia tahun 2009-2014, diharapkan dapat benar-benar melaksanakan ketentuan tentang pendidikan yang tertulis dalam pasal 31 UUD 1945, sesuai sumpah jabatan Presiden.




















PENUTUP
Kesimpulan
1.      Salah satu problematika pendidikan yang sekarang menjadi topik yang hangat dibicarakan adalah tentang Biaya pendidikan sekolah.
2.      Pokok dari tanggung jawab Negara dalam pendidikan adalah yang terdapat dalam UUD Pasal 31.


















Memang banyak sekolah – sekolah yang membebankan biaya untuk para siswa tahap akhir (siswa kelas 3), tapi memang biasanya bukan biaya untuk UNAS, melainkan merupakan biaya lainnya, seperti perpisahan dan wisuda para siswa yang lulus nantinya, serta tanggungan – tangungan lain tentunya. Sebenarnya biaya –biaya seperti itu (biaya perpisahan dan biaya wisuda) tidak terlalu penting untuk dilaksanakan, tapi yang jadi masalah adalah bawasannya prosesi – prosesi yang sering dilakukan itu seakan menjadi tradisi dan ritual wajib yang harus dilaksanakan bagi para siswa yang lulus dan siswa yang harus menanggung biaya prosesi – prosesi di atas. Walaupun prosesi – prosesi di atas tidak dilakukan maka seharusnya tidak berpengaruh apa – apa pada siswa dan tanpa prosesi – prosesi tersebut ijazah pun masih bisa didapat. Tapi masih tetap ada saja sekolah yang tetap menarik iuran para siswanya untuk biaya UNAS, karena pihak sekolah merasa bahwa dana yang diberikan pemerintah untuk pelaksanaan Ujian Akhir Sekolah Berstandar Nasional (UASBN) tidaklah mencukupi. Dana subsidi UASBN tahun ini dari pemerintah yaitu sebesar Rp. 25.000,- per siswa untuk tingkat SMP dan Rp. 30.000,- per siswa untuk tingkat atas (SMA) dirasa oleh pihak sekolah tidaklah mencukupi, hal ini disebabkan karena selain siswa harus mengikuti UNAS atau UASBN maka siswa harus juga mengikuti ujian – ujian lain, seperti ujian sekolah maupun ujain praktik. Dana subsidi UASBN dari pemerintah itu juga kurang untuk membiayai pelaksanaan UASBN karena sekolah harus menaggung biaya teknis lain untuk pelaksanaan UNAS ini seperti biaya untuk konsumsi dan transportasi bagi para pengawas UASBN. Jadi seharusnya pemerintah harus tanggap dengan keadaan yang terjadi sebenarnya di lapangan, jangan malah siswa yang dibebankan untuk menanggung biaya tersebut. Bukan hanya untuk biaya UNAS tapi seharusnya pemerintah bertanggung jawab penuh akan hak dasar yakni pendidikan bagi setiap warganya. Karena hanya dengan orang –orang yang cerdas dan berpendidikan bangsa ini bisa maju dan terlepas dari berbagai keterpurukan yang melanda bangsa selama ini dan Negara ini pun tidak lagi menjadi jongos para Negara adidaya. Mewujudkan pendidikan yang murah atau bahkan gratis serta berkualitas harusnya menjadi tanggung jawab Negara, dan Negeri tercinta ini bisa mewujudkan pendidikan seperti itu, asalkan kekayaan alam yang melimpah harus dikelola secara mandiri oleh Negara. Seandainya tanbang emas di Papua (Freport) dan tambang minyak di Blog Cepu dikelola secara mandiri oleh bangsa ini maka jangankan pendidikan gratis bahkan kesehatanpun bisa digratiskan oleh Negara.

Jadi tidak akan ada lagi kasus gagal ujian karena terganjal masalah ekonomi dan tidak akan lagi ada anak yang putus sekolah walaupun mereka berasal dari keluarga yang kurang mampu sekalipun, hal ini bisa diwujudkan asalkan Negara benar – benar peduli dengan hak dasar rakyatnya yakni pendidikan. Maka tidak akan ada ibu yang menangis karena dipaksa membayar biaya UNAS atau biaya sekolah.
















Dalam putusannya, MK menyatakan Pasal 6 ayat  (2) sepanjang frasa, “... bertanggung jawab” tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat kecuali dimaknai, “... ikut bertanggung jawab”, Pasal 12 ayat (1) huruf c sepanjang frasa “...yang orang tuanya tidak mampu membiayai pendidikannya” tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Selain itu Penjelasan  Pasal 53 ayat (1) UU Sisdiknas dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, sedangkan Pasal 53 ayat (1) sendiri dinyatakan konstitusional sepanjang frasa“badan hukum pendidikan” dimaknai sebagai sebutan fungsi penyelenggara pendidikan dan bukan sebagai bentuk badan hukum tertentu. Sedangkan UU BHP dinyatakan oleh MK bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Dengan putusan tersebut sebenarnya negara ini telah diingatkan bahwa sebenarnya pendidikan masih merupakan tanggung jawab negara. Pendidikan bukanlah komoditas yang dapat dilepas begitu saja ke dalam mekanisme pasar yang ganas.  Negara perlu memastikan bahwa setiap warganegara dapat mengakses pendidikan secara mudah dan murah atau bahkan gratis. Tulisan ini akan mengupas bagaimana seharusnya tanggung jawab negara terhadap pendidikan jika mengacu pada konstitusi, baik dalam Pembukaan dan Batang Tubuh. Dengan demikian analisis terhadap putusan MK juga tidak dapat lepas daritulisan ini pendidikan dilihat bukan hanya sebagai upaya mengubah manusia, misalnya dari yang tak berpengetahuan menjadi berpengetahuan. Pendidikan juga dilihat sebagai upaya membebaskan manusia dari penindasan. Melalui pendidikan, kaum tertindas dapat melihat bagaimana dunia tersebut tertindas dan berkomitmen untuk melakukan transformasi. Dari sanalah kemerdekaan secarapermanen dapat diraih.Berdasarkan sudut pandang ini, kita dapat melihat bahwa cita mencerdaskan kehidupan bangsa dalam konstitusi juga merupakan visi bagi pencapaian kemerdekaan yang permanen dimana Indonesia yang sebelumnya tertindas dapat bertransformasimenjadi Indonesia yang merdeka 100%. Kesadaran akan betapa mulianya pendidikan tampaknya menyadarkanfounding parents bahwa negara tidak dapat lepas tangan terhadap pendidikan. Namun enam dekade kemudian, perubahan tatanan global membalikkan anggapan bahwa pendidikan adalah tanggung jawab negara. Perubahan ini disebabkan dunia telah menjadi sebuah entitas yang tunggal dimana negara-bangsa mulai pudar. Negara bukan lagi menjadi penentu, melainkan pasarlah yang justru mempengaruhi bagaimana kebijakan bergerak. Negara tidak dapat lagi  memproteksi dan mengintervensi setiap sector kehidupan. Terbentuklah negara minimalis dimana organisasi perdagangan dunia, WTO (World Trade Organization), menjadi pengarahnya. Dalam kaitannya dengan pendidikan, WTO telah menempatkan pendidikan sebagai salah satu sektor yang harus bergerak bebas tanpa kendali. WTO, melalui General Agreement on Trade in Services (GATS), menempatkan pendidikan sebagai salah satu sektor industri tersier yang perlu diliberalisasi. Sementara Indonesia sejak 1995 telah menjadi anggota WTO dengan diratifikasinya semua perjanjian-perjanjian perdagangan multilateral menjadi Undang-UndangNomor 7 tahun 1994. Perjanjian tersebut mengatur tata-perdagangan  barang, jasa dan trade related intellectual property rights (TRIPS) atau hak atas kepemilikan intelektual yang terkait dengan perdagangan. Dalam bidang jasa, yang masuk sebagai obyek pengaturan WTO adalah semua jasa kecuali “jasa non-komersial atau tidak bersaing dengan penyedia jasa lainnya”.Dengan ditempatkannya pendidikan sebagai sektor yang diliberalisasi maka tatanan global telah menempatkan pendidikan sebagai sektor jasa yang bersifat komersial. Penyokong fundamentalisme pasar selalu berargumen, liberalisasi akansemakin menguntungkan konsumen karena bekerja berdasarkan mekanisme permintaan dan penawaran yang melahirkan keseimbangan pasar. Keseimbangan dalam pasar tersebut merupakan titik optimal bagi konsumen untuk mengakses jasa/barang yang diinginkannya, dalam hal ini harapannya adalah makin murahnya pendidikan dan semakin mudah diakses. Konsumen pun bebas menentukan jasa pendidikan mana yang ingin dinikmatinya. Tatanan global abad 21, dengan pandangan neoliberalnya, memang telah menggiring negara menjadi negara dengan peran pemerintah seminimal mungkin. Semuanya diserahkan pada fundamentalisme pasar dengan memberikan peran yang lebih besar pada masyarakat madani yang otonom dan individualisme ekonomi yang kuat.Dalam masyarakat yang diarahkan makin mandiri dan menjadi masyarakat madani yang kuat, para penganut neoliberalisme percaya bahwa liberalisasi pendidikan dapat memberikan banyak pilihan bagi individu dan kebebasan untuk menentukan pendidikan seperti apa yang ingin dienyamnya.Padahal terdapat beberapa kekeliruan paradigmatis dalam pandangan neoliberal terhadap pendidikan yang dapat menyebabkan pendidikan menjadi sesat jalan jika semata-mata diserahkan pada mekanisme pasar. Pertama,pendidikan dilihat semata-mata sebagai cara untuk mengembangkan individu agar siap berkompetisi. Konsekuensinya, pendidikan akan menjadi pencetak pelaku-pelaku yang saling berkompetisi di pasar kerja. Kedua, pendidikan diposisikan sebagai komoditas yang dapat diperdagangkan di pasar untuk uang atau status. Keahlian atau pengetahuan yang ditawarkan oleh pendidikan, sebagai komoditas, pun menjadi cerminan dari pasar itu sendiri. Misal, tingginya kebutuhan pasar akan tenaga sektor teknologi informasi akan mendorong tingginya penawaran akan pendidikan berbasis teknologi informasi. Kekeliruan pandangan ini dilatarbelakangi kekeliruan melihat pendidikan sebagai sektor jasa yang bersifat komersial. Ketiga, pendidikan disediakan secara umum namundidistribusikan dan diakses secara privat. Karena didistribusikan dan diakses secara privat maka yang terjadi adalah persaingan. Baik persaingan antar para pemakai jasa (calon peserta didik) maupun antar penyedia jasa (sekolah dan perguruan tinggi).Asumsi-asumsi neoliberal tersebut menunjukkan bagaimana negaraberusaha untuk dihilangkan peran krusialnya, salah satunya di bidang pendidikan.Walaupun dalam kenyataannya, negara-negara maju yang turut menyarankan sistemini justru menunjukkan hal yang sebaliknya.Oleh karena itu, liberalisasi pendidikan yang telah menjadiskema global melalui paradigma neoliberalnya seharusnya dilihat secara  lebih kritis karena tidak mungkin sebuah paradigma dibawa ke pendidikan semata-mata bebas nilai.  Namun, skema liberalisasi tersebut masuk ke negara ini melalui sebuah proses yang legal, yaitu melalui legislasi nasional.Dalam titik inilah pandangan neoliberal, globalisasi, dan fundamentalisme pasar telah masuk hingga perguruan tinggi untuk melanggengkan kepentingan globalisasi itu sendiri. Dalam kondisi demikian, negara dalam kendalinya atas dunia pendidikan menghadapi dua tekanan. Tekanan dari tuntutan global yang menyuarakan liberalisasi, privatisasi, dan pengenalan mekanisme pasar terhadap sektor publik. Semua itu demi efisiensi,persaingan, dan penyediaan layanan yang berorientasi pada konsumen. Arus pemikiran  ini mendasarkan asumsinya pada preposisi bahwa adanya lebih banyak kompetisi di pasar akan mengarahkan pelayanan pada kualitas yang lebih baik, responsivitas yang tinggi, dan tentu saja itu semua untuk menggapai konsumen dalam jumlah yang lebih besar. Semua asumsi dan pemikiran tersebut dibawa dalam paradigma pendidikan sehingga pendidikan benar-benar telah dikomodifikasi sedemikian rupa sesuai selera pasar. Sementara tuntutan yang lain adalah  tuntutan dari dalam negeri sendiri yang menghendaki dipertahankannya kendali negara terhadap pendidikandan tidak menyerahkannya pada mekanisme pasar semata. Ales Vlk dalam penelitiannya menemukan bahwa adanya tuntutan liberalisasi pendidikan di Eropa melalui GATS telah melemahkan kendali negara terhadap pendidikan. Tuntutan meliberalisasi pendidikan melalui WTO, GATS, European Commission (lembaga eksekutif dari Uni Eropa), serta lembaga-lembaga bisnis industri telah memberikan pengaruh yang besar dalam membawa tuntutan liberalisasi dan pengenalan mekanisme pasar dalam pendidikan. Kendati demikian, tuntutan tersebut berbenturan dengan tuntutan di  level nasional yang menyuarakan sebaliknya. Tatanan benturan kepentingan tersebut digambarkan Ales Vlk dalam skema di bawah ini:

No comments:

Post a Comment

silahkan berkomentar sebagai saran dan kritik, terimakasih