TUGAS KULIAH
TAFSIR QUR’AN SURAT AT-TIIN
DISUSUN OLEH:
MAHMUD NOOR BIYADLI
NIM : 20111550022
DOSEN : Drs. Abdul Wahab,
MEI.
MATA KULIAH : IBADAH SYAR DI MTs/MA
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURABAYA
2012
KATA PENGANTAR
Alhamdulillahi Rabbil Alamiin, Segala puji bagi Allah
Tuhan semesta alam. Atas berkat rahmat dan petunjuk-Nya lah kami dapat
menyelesaikan makalah ini dengan baik dan lancar.
Makalah ini saya susun guna untuk
memenuhi tugas mata kuliah “IBADAH
SYAR DI MTs/MA” Semester V jurusan P.A.I TARBIYAH (Pendidikan Agama Islam).
Atas
terselesainya makalah ini saya mengucapkan banyak terima kasih kepada bapak Drs. ABDU WAHAB MEI. Selaku dosen pembimbing serta
rekan-rekan yang telah ikut serta dalam memberikan masukan-masukan dalam
makalah ini.
Saya
menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna, oleh sebab itu saran dan
kritik yang membangun selalu kami harapkan demi perbaikan selanjutnya.
Dan semoga makalah ini bermanfaat bagi
kita semua. Aamiin.
SURABAYA,
23 OKTOBER 2013
PENYUSUN
BAB I
- PENDAHULUAN
Sebagai seorang muslim yang beragama
Islam dan taat kepada Allah dan Rosul-Nya kita wajib melaksanakan segala yang
telah diperintahkan-Nya dan menjauhi segala larangan-Nya. Dengan mengkaji
Al-Qur’an yang telah diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW.
Dalam
tafsir Surat At-Tiin ini terdiri dari dua sub bab, yang akan saya sampaikan
adalah ayat 1-3. Yang menggunakan buah tiin, zaitun, dan Bukit thursina sebagai
sumpah.
Sebagai
umat islam kita harus memikirkannya dan mengetahuinya. Sebab Alloh tidak
memakai kata sumpah dengan ciptaannya yang tanpa ada manfaat atau pun hikmah
dibalik semua ciptaan-Nya tersebut. Dan juga didalam surat At-Tiin ini ada
beberapa tempat yang di muiayakan oleh Alloh SWT.
Dalam
kesempatan kali ini kita akan menguak lebih dalam dari kandungan surat At-Tiin
ini. Semoga ini dapat menjadi tambahan imu dan referensi bagi saya dan
teman-teman skalian. Aamiin.
- RUMUSAN MASALAH
a.
Bagaimanakah isi tafsir Al-Qur’an Surah At-Tiin?
BAB II
PEMBAHASAN
بِسْمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ
ÈûüÏnG9$#ur ÈbqçG÷¨9$#ur ÇÊÈ ÍqèÛur tûüÏZÅ ÇËÈ #x»ydur Ï$s#t7ø9$# ÂúüÏBF{$# ÇÌÈ ôs)s9 $uZø)n=y{ z`»|¡SM}$# þÎû Ç`|¡ômr& 5OÈqø)s? ÇÍÈ ¢OèO çm»tR÷yu @xÿór& tû,Î#Ïÿ»y ÇÎÈ wÎ) tûïÏ%©!$# (#qãZtB#uä (#qè=ÏHxåur ÏM»ysÎ=»¢Á9$# óOßgn=sù íô_r& çöxî 5bqãYøÿxE ÇÏÈ $yJsù y7ç/Éjs3ã ß÷èt/ ÈûïÏe$!$$Î/ ÇÐÈ }§øs9r& ª!$# È/s3ômr'Î/ tûüÉKÅ3»ptø:$# ÇÑÈ
1)
Demi (buah) Tin dan (buah) Zaitun.
2)
Dan demi Bukit Sinai.
3)
Dan demi
kota (Mekkah) ini yang aman.
4)
Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia
dalam bentuk yang sebaik-baiknya.
5)
Kemudian Kami kembalikan dia ke tempat yang
serendah-rendahnya (neraka).
6)
Kecuali orang-orang yang beriman dan
mengerjakan amal saleh, maka bagi mereka pahala yang tiada putus-putusnya.
7)
Maka apakah yang menyebabkan kamu mendustakan
(hari) pembalasan sesudah (adanya keterangan-keterangan) itu?
8)
Bukankah Allah Hakim yang seadil-adilnya?
Pada ayat
pertama surat ini, Allah Subhanahu wa Ta’ala bersumpah
dengan At Tin dan Az Zaitun[2]. Para ulama
berbeda pendapat dalam menafsirkan At Tin dan Az
Zaitun[3],
namun tidak ada satupun pendapat mereka yang berdasar pada dalil yang shahih,[4] kecuali
pendapat yang mengatakan bahwa At Tin adalah buah At
Tin yang (sudah dikenal dan) biasa dimakan, dan Az
Zaitun adalah (juga) buah Az Zaitun yang biasa
diperas darinya minyak Zaitun.[5] Hal
ini sesuai dengan sebuah riwayat yang telah dikeluarkan oleh Al Hakim
dengan sanadnya, dari Ibnu Abbas tentang firman Allah Subhanahu
wa Ta’ala :
وَالتِّينِ وَالزَّيْتُونِ
Beliau berkata:
الفَاكِهَةُ الَّتِيْ يَأْكُلُهَا النَّاسُ
Demikian pula
Al Bukhari di dalam shahihnya,[7] membawakan
perkataan Mujahid yang serupa dengan perkataan Ibnu Abbas ini.
Pada ayat
berikutnya Allah Subhanahu wa Ta’ala bersumpah dengan Thuur
Siiniin, yaitu sebuah bukit yang padanya Allah Subhanahu wa Ta’ala berbicara
kepada Musa ‘alaihissalam .[8]
Dan berikutya Allah bersumpah dengan Al
Balad Al Amin, yaitu Makkah.[9]
Lalu, mengapa
Allah Subhanahu wa Ta’ala bersumpah dengan hal-hal tersebut?
Para ulama tafsir menerangkan sebab-sebabnya yang diantaranya; karena kedua
tumbuhan tersebut (At Tin dan Az Zaitun) banyak
mengandung manfaat, baik pada pohonnya maupun buahnya, dan karena keduanya
sangat tumbuh subur dan baik di Syam, yang merupakan tempat diutusnya Nabi
Isa ‘alaihissalam menjadi seorang rasul. Kemudian Allah Subhanahu
wa Ta’ala bersumpah
dengan sebuah bukit, karena di tempat itulah Allah Subhanahu wa Ta’ala berbicara
kepada Nabi Musa dan mengutusnya menjadi seorang rasul. Adapun mengapa Allah
bersumpah dengan Al Balad Al Amin? Itu karena Mekkah adalah sebuah
negeri yang aman bagi orang yang memasukinya,
juga karena di tempat itulah Rasulullah Muhammad shallallahu ‘alaihi wa
sallam diutus menjadi seorang rasul. dari sini, jelaslah mengapa
Allah Subhanahu wa Ta’ala bersumpah dengan hal-hal tersebut?
Itu karena ketiga tempat tersebut adalah tempat-tempat yang disucikan yang Ia
pilih, dan telah diutus padanya rasul-rasul-Nya yang paling
mulia.[10]
Ayat berikutnya
adalah jawaban dari sumpah-Nya terhadap
hal-hal tadi,[11] bahwa
sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menciptakan
manusia dalam bentuk dan sifat yang sebaik-baiknya, dengan seluruh anggota
tubuh yang seimbang, sempurna, dan tidak kekurangan suatu apapun. Dan semuanya
itu menunjukkan atas kekuasaan Allah yang mutlak atas penciptaan dan
pengembalian manusia pada hari kebangkitan.[12]
Kemudian Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
ثُمَّ رَدَدْنَاهُ أَسْفَلَ سَافِلِينَ . إِلَّا
الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ فَلَهُمْ أَجْرٌ غَيْرُ مَمْنُونٍ
“Kemudian Kami
kembalikan dia ke tempat yang serendah-rendahnya. Kecuali orang-orang
yang beriman dan mengerjakan amal shalih, maka bagi mereka pahala yang tiada
putus-putusnya”
Pada ayat
pertama dari kedua ayat ini Allah Subhanahu wa Ta’ala menerangkan
tentang keadaan kebanyakan manusia yang kufur terhadap nikmat
yang telah Ia berikan kepadanya berupa bentuk fisik yang sempurna dan baik. Maka
sudah sewajibnya seorang manusia bersyukur atas nikmat ini, namun justru
kebanyakan manusia lalai dan lupa terhadap penciptanya yang telah memberikan
kenikmatan-kenikmatan yang tak terbilang, mereka sibuk dengan bermain-main dan
hal-hal yang melalaikan mereka. Mereka ridha dengan
perkara-perkara rendah dan akhlak-akhlak buruk yang merusak diri mereka
sendiri. Akhirnya Allah pun
mengembalikan mereka ke dalam neraka yang paling bawah, tempatnya ahli maksiat
yang membangkang dan menentang perintah-perintah Allah.[13] Kecuali
orang-orang yang beriman, yang telah diberikan oleh Rabb mereka
keutamaan berupa keimanan, amal yang shalih, dan akhlak yang
tinggi dan mulia. Maka bagi mereka derajat yang tinggi di sisi Allah Subhanahu
wa Ta’ala, dan pahala dari-Nya yang tiada
henti-hentinya terus mengalir kepada mereka dan tanpa terputus. Bahkan mereka
terus mendapatkan kelezatan-kelezatan yang terus-menerus, kebahagiaan yang
tiada habis-habisnya, dan kenikmatan-kenikmatan tak terhingga yang abadi dan
kekal selama-lamanya.[14]
Pada ayat berikutnya Allah Subhanahu wa
Ta’ala berfirman:
فَمَا يُكَذِّبُكَ بَعْدُ بِالدِّينِ
“Maka apakah
yang menyebabkan kamu mendustakan (hari) pembalasan sesudah (adanya
keterangan-keterangan) itu?”
Pada ayat ini
Allah Subhanahu wa Ta’ala bertanya dan menegaskan kembali
kepada manusia yang telah diciptakan dalam sebaik-baik bentuk, sempurna dan
utuh tanpa kekurangan suatu apapun, namun di antara manusia masih ada
yang kufur terhadap nikmat-nikmat Rabbnya dan
ingkar terhadap hari pembalasan, ”Apa yang
membuatmu dan menyebabkanmu wahai anak Adam mendustakan dan mengingkari hari
pembalasan terhadap seluruh amal perbuatan, padahal kamu telah mengetahui
kekuasaan Rabbmu yang mampu menciptakanmu dengan baik dan sempurna?
Bukankah Ia yang telah menciptakanmu jauh lebih mampu untuk menghidupkanmu
kembali dan membalas amal-amalmu? Apa yang membuatmu mendustakan semua ini
sedangkan kamu mengetahui kebenarannya?”[15]
Dan di akhir surat At Tiin ini Allah Subhanahu
wa Ta’ala berfirman:
أَلَيْسَ اللَّهُ بِأَحْكَمِ الْحَاكِمِينَ
“Bukankah Allah
Hakim yang seadil-adilnya?”
Allah Subhanahu
wa Ta’ala kembali bertanya dalam ayat ini yang maknanya, “Apakah adil
dan sesuai dengan hikmah-Nya jika Ia
menciptakan makhluk-Nya untuk
kemudian dibiarkan dan ditinggalkan begitu saja tanpa diperintah dan dilarang,
dan tanpa diberikan balasan baik ataupun buruk? Ataukah sesuai keadilan dan
hikmah-Nya itu, jika Ia Yang Maha Pencipta dengan
tahapan demi tahapan penciptaan, kemudian Ia memberikan seluruh nikmat-nikmat-Nya yang tiada
terbilang, lalu membimbing mereka dengan bimbingan yang baik dan bijaksana, dan
akhirnya Ia mengembalikan mereka kepada tujuan dan inti kehidupan mereka, yaitu
akhirat yang kepadanyalah orang-orang beriman menuju?”[16]
Ada sebuah
hadits yang erat kaitannya dengan ayat terakhir ini. Yang mungkin hadits ini
dijadikan hujjah oleh sebagian mereka yang beranggapan
akan sunnahnya hukum membaca lafazh (بَلَى، وَأَنَا
عَلَى ذَلِكَ مِنَ الشَّاهِدِيْنَ), atau lafazh (سُبْحَانَكَ
فَبَلَى)
tatkala seseorang membaca surat At Tiin ini sampai pada
penghujung ayatnya.
Hadits ini
dikeluarkan oleh Abu Dawud, At Tirmidzi, Ahmad, dan lain-lainnya[17] dari Abu
Hurairah radhiallahu ‘anhu , beliau berkata:
مَنْ قَرَأَ : وَالتِّيْنِ وَالزَّيْتُوْنِ
، فَقَرَأَ : أَلَيْسَ اللهُ بِأَحْكَمِ الْحَاكِمِيْنَ ، فَلْيَقُلْ :
بَلَى ، وَأَنَا عَلَى ذَلِكَ مِنَ الشَّاهِدِيْنَ .
“Barangsiapa
yang membaca ‘Wat tiini waz Zaituun’ sampai ia membaca ‘Alaisallaahu
bi Ahkamil Haakimiin’ ; maka hendaknya ia mengucapkan: ‘Balaa
Wa Ana ‘Alaa Dzaalika minasy Syaahidiin’ (Ya, dan aku atas hal itu
termasuk orang-orang yang bersaksi).”[18]
Namun hadits
ini dha’if, sebagaimana yang telah dihukumi oleh Asy Syaikh Al
Albani[19],
disebabkan pada sanadnya terdapat perawi (dan ia bukan seorang
sahabat Nabi Shallallahu
‘alaihi wa sallam -pen) yang mubham.[20]
Adapun ayat
yang disunnahkan padanya untuk dibacakan lafazh-lafazh tadi atau yang
semakna dengannya, adalah ayat terakhir pada surat Al Qiyamah, yaitu:
أَلَيْسَ ذَلِكَ بِقَادِرٍ عَلَى أَن يُحْيِيَ
الْمَوْتَى .
“Bukankah
(Allah yang berbuat) demikian berkuasa (pula) menghidupkan orang mati?” (Al Qiyamah: 40).
Hal ini
berdasarkan hadits lain yang dikeluarkan oleh Abu Dawud[21] dengan sanadnya
dari Musa bin Abi A’isyah, ia berkata:
كَانَ رَجُلٌ يُصَلِّي فَوْقَ بَيْتِهِ ، وَكَانَ
إِذَا قَرَأَ : أَلَيْسَ ذَلِكَ بِقَادِرٍ عَلَى أَنْ يُحْيِيَ الْمَوْتَى ،
قَالَ: سُبْحَانَكَ فَبَلَى، فَسَأَلُوْهُ عَنْ ذَلِكَ، فَقَالَ : سَمِعْتُهُ مِنْ
رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ.
“Ada seseorang
yang melakukan shalat di atas rumahnya, dan apabila ia membaca (Alaisa
Dzaalika bi Qaadirin ‘Alaa Ay Yuhyiyal Mawtaa), ia berkata
(setelahnya): Subhaanaka Fa Balaa (Ya dan Maha Suci Engkau).
(Lalu) mereka menanyakan tentang hal ini kepada orang tersebut, (dan) iapun
berkata: Aku telah mendengarnya dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.”
Berkenaan
dengan hadits ini, Al Hafizh Ibnu Katsir berkata: “Abu Dawud telah menyendiri
dalam periwayatan hadits ini, dan (pada sanadnya) ada perawi shahabi[22] yang
tidak disebutkan namanya, namun ini tidak bermasalah.”[23]
Asy Syaikh Al Albani berkata pula: “(Hadits ini) dikeluarkan oleh
Abu Dawud dengan sanad yang shahih, dari seseorang yang Ia adalah shahabi,[24] dan jahaalahnya[25] tidak bermasalah,
sebagaimana yang sudah diketahui (akan hal ini) oleh ulama. Oleh karena itu,
aku keluarkan hadits ini di dalam Shahih Sunan Abi Dawud (no. 827).”[26]
BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
DAFTAR PUSTAKA
- Al Quran dan terjemahnya, cet Mujamma’
Malik Fahd, Saudi Arabia.
- Shahih Al Bukhari, Abu Abdillah Muhammad
Bin Ismail bin Al Mughirah Al Bukhari (194-256 H), tahqiq Musthafa Dib Al
Bugha, Daar Ibni Katsir, Al Yamamah, Beirut, cet III, th 1407 H/1987 M.
- Sunan Abu Daud, Abu Daud Sulaiman bin Al
Asy’ats As Sijistani (202-275 H), tahqiq Muhammad Muhyiddin Abdul Hamid,
Daar Al Fikr.
- Jami At Tirmidzi, Abu Isa Muhammad bin Isa
At Tirmidzi (209-279 H), tahqiq Ahmad Muhammad Syakir dkk, Daar Ihya At
Turats, Beirut.
- Musnad Al Imam Ahmad, Abu Abdillah Ahmad
bin Muhammad bin Hambal Asy Syaibani (164-241), Mu’assasah
Qurthubah, Mesir.
- Tafsir Ath Thabari, Abu Ja’far Muhammad
bin Jarir Ath Thabari (224-310 H), tahqiq Mahmud Syakir, Daar Ihya At
Turats, Beirut, cet I th 1421 H/ 2001 M.
- Tafsir Al Qurthubi (Al Jami’ Li Ahkamil
Qur’an), Abu Abdillah Muhammad bin Ahmad Al Qurthubi, tahqiq Abdur Razzaq
Al Mahdi, Daar Al Kitab Al ‘Arabi, cet II, th 1421 H/1999 M.
- Tafsir Ibnu Katsir (Tasir Al Qur’an Al
‘Azhim), Abul Fida’ Ismail bin Umar bin Katsir (700-774 H), tahqiq Sami
bin Muhammad AS Salamah, Daar Ath Thayyibah, Riyadh, cet I, th 1422 H/2002
M.
- Ad Duur Al Mantsur, Aburrahman bin Al
Kamal Jalaluddin As Suyuthi (911H), Daar Al Fikr, Beirut, th 1993 M.
- Adhwaul Bayan, Muhammad Al Amin Asy
Syinqithi (1393H), tahqiq Maktab Ad Durus wa Ad Dirasat, Daar Al Fikr,
Beirut, th 1415 H/ 1995M.
- Taisir Karim Ar Rahman fi Tafsiri Kalami
Al Mannan, Abdurrahman bin Nashir As Sa’di, tahqiq Abdurrahman bin Mu’alla
Al Luwaihiq, Daar As Salam, cet I, th 1422 H/2001 M.
- Dha’if Sunan Abi Daud, Muhammad
Nashiruddin Al Albani (1332-1420 H).
- Shahih Sunan At Tirmidzi, Muhammad
Nashiruddin Al Albani (1332-1420 H).
- Dha’if Sunan At Tirmidzi, Muhammad
Nashiruddin Al Albani (1332-1420 H).
- Dha’if Al Jami’ Ash Shaghir,
Muhammad Nashiruddin Al Albani (1332-1420 H), Al Maktab Al Islami.
- Tamamul Minnah, Muhammad Nashiruddin Al
Albani (1332-1420 H), Daar Ar Rayah, cet V, th 1422 H/ 2001 M.
- Shifat Shalat Nabi, Muhammad Nashiruddin
Al Albani (1332-1420 H), Maktabah Al Ma’arif, Riyadh, cet II, th 1417
H/1996 M.
- Al Isti’aab Fi Bayan Al Asbaab, Salim bin
‘Id Al Hilali dan Muhammad bin Musa Alu Nashr, Daar Ibn Al Jauzi, KSA, cet
I, th 1425 H.
[1] Lihat Al Jami’ Li Ahkam Al Qur’an
(20/102), Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim (8/434), Ad Durr Al Mantsur (8/553),
Taisir Al Karim Ar Rahman (2/1180). Dan Al Imam Al Qurthubi di dalam tafsirnya
(20/102) berkata: “(Surat ini) makkiyahmenurut sebagian besar
perkataan (ulama), (namun) Ibnu Abbas dan Qatadah berkata: “Surat ini madaniyah”.”
Lihat pula Al Isti’aab fii Bayan Al Asbaab (3/530)
[2] Asy Syaikh Muhammad Al Amin Asy
Syinqithi di dalam tafsirnya Adhwa’ Al Bayan (9/3-4) membawakan khilaf ulama
tentang sesuatu yang dijadikan sumpah oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Kemudian beliau berkata : “Yang benar (dari semua perkataan ini bahwa
Allah Subhanahu wa Ta’ala bersumpah dengan) buah At
Tin yang sudah diketahui.”
[3] Asy
Syaikh Muhammad Al Amin Asy Syinqithi di dalam tafsirnya Adhwa’ Al Bayan
(9/3-4) membawakan khilaf ulama tentang sesuatu yang dijadikan
sumpah oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala. Kemudian beliau berkata :
“Yang benar (dari semua perkataan ini bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala bersumpah
dengan) buah At Tin yang sudah diketahui.”
[4] Asy Syaikh Muhammad Al Amin Asy
Syinqithi di dalam tafsirnya Adhwa’ Al Bayan (9/3) berkata: “Membawa (makna)At
Tin dan Az Zaitun kepada nama-nama tempat
yang buah-buah tersebut tumbuh padanya adalah (penafsiran) tanpa dalil, maka yang
lebih utama adalah membiarkannya tetap pada makna asalnya.”
[5] Muhaqqiq Al Jami’ Li
Ahkam Al Qur’an Abdurrazzaq Al Mahdi berkata: “Adapun yang shahih dari
Ibnu Abbas adalah riwayat yang pertama (yang mengatakan bahwa At
Tin adalah buah At Tin yang (sudah dikenal dan) biasa
dimakan, dan Az Zaitun adalah (juga) buah Az Zaitun yang
biasa diperas darinya minyak Zaitun), dan ini adalah perkataan sebagian besar
ahli tafsir (mereka adalah Ibnu Abbas, Al Hasan, Mujahid, Ikrimah, Ibrahim An
Nakha’i, Atha’ bin Abi Rabah, Jabir bin Zaid, Muqatil, dan Al Kalbi -pen), yang
telah disebutkan oleh penulis (Imam Al Qurthubi -pen).” [Lihat Al Jami’ Li
Ahkam Al Qur’an (20/102-103)].
[6] Al Mustadrak (2/576 no. 3951). Al
Hakim berkata: “Hadits shahih sesuai syarat Asy Syaikhain (Al
Bukhari dan Muslim)”.
[9] Al Hafizh Ibnu Katsir berkata di
dalam tafsirnya (8/434): “Ini dikatakan oleh Ibnu Abbas, Mujahid, Ikrimah, Al
Hasan, Ibrahim An Nakha’i, Ibnu Zaid, dan Ka’ab Al Ahbaar. Dan tidak ada khilaf padanya.”
[11] Lihat Al Jami’ Li Ahkam Al Qur’an
(20/102), Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim (8/435), Taisir Al Karim Ar Rahman
(2/1180), dan Adhwa’ Al Bayan (9/5).
[13] Lihat Taisir Al Karim Ar Rahman
(2/1181). Ada dua pendapat ulama tafsir dalam menafsirkan lafazh asfalasaafiliin (أَسْفَل سَافِلِينَ).
Yang pertama adalah bermakna ardzal
al ‘umr ( أَرْذَلُ الْعُمْرِ ), yaitu masa tua, yang pada saat itu manusia sudah sangat lemah
setelah ia kuat di masa mudanya, sehingga ia benar-benar lemah seperti seorang
bayi yang tidak berdaya. Bahkan daya pikir, ingatan, dan akalnya pun melemah
dengan drastis saat itu. Al Imam Ath Thabari di dalam tafsirnya (30/296-298)
membawakan riwayat-riwayat dengan sanad-sanadnya yang menerangkan
bahwa pendapat ini adalah riwayat dari Ibnu Abbas, Ikrimah, Ibrahim, dan
Qatadah. Pendapat inipun didukung kuat oleh beliau sendiri (Al Imam Ath
Thabari), seraya membawakan pula alasan-alasannya yang panjang lebar dengan
dalil naqli maupun ‘aqli. Demikian halnya dengan
Asy Syaikh Muhammad Al Amin Asy Syinqithi di dalam tafsirnya Adhwa’ Al Bayan
(9/7-8) yang juga mendukung kuat pendapat ini dengan membawakan
alasan-alasannya yang panjang lebar dengan dalil naqlimaupun ‘aqli.
Namun, kebanyakan riwayat-riwayat ini, terutama riwayat Ibnu Abbas yang
menerangkan hal ini adalahdha’if, telah didha’ifkan oleh Asy
Syaikh Salim Al Hilali dan Asy Syaikh Muhammad Musa Alu An Nashr dalam kitab
mereka Al Isti’aab fii Bayan Al Asbaab (3/530), dan mereka berkata: “Dha’ifun
jiddan (lemah sekali).”
Dan yang kedua adalah
bermakna an naar (النَّارُ ), yaitu neraka. Maksudnya ialah ia akan dikembalikan ke dalam
neraka setelah ia diciptakan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam
keadaan yang baik dan sempurna, disebabkan ia tidak taat, tidak patuh, dan
tidak tunduk terhadap perintah-perintah Allah dan RasulNya. [Lihat Tafsir Al
Qur’an Al ‘Azhim (8/435)]. Al Imam Ath Thabari di dalam tafsirnya (30/296-298)
membawakan pula riwayat-riwayat dengansanad-sanadnya yang menerangkan
bahwa pendapat ini adalah riwayat dari Mujahid, Abu Al ‘Aliyah, Al Hasan, dan
Ibnu Zaid. Pendapat ini didukung kuat oleh Al Hafizh Ibnu Katsir dan Asy Syaikh
Abdurrahman bin Nashir As Sa’di di dalam tafsir mereka. Adapun Al Imam Al
Qurthubi, maka beliau seolah-olah memberi isyarat akan kuatnya pendapat ini,
seraya beralasan bahwa al istitsnaa’ (pengecualian) dalam
firman Allah Subhanahu wa Ta’ala :
إِلَّا الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ فَلَهُمْ أَجْرٌ غَيْرُ مَمْنُونٍ
“kecuali orang-orang yang beriman dan
mengerjakan amal saleh, maka bagi mereka pahala yang tiada putus-putusnya.”, jika dikaitkan dengan pendapat yang
mengatakan bahwa asfala saafiliin (أَسْفَل سَافِلِينَ ) adalah bermakna an naar (النَّارُ ), yaitu neraka; maka al istitsnaa’ (pengecualian)
ini adalah muttashil (bersambung/berkaitan). Dan jika
dikaitkan dengan pendapat yang mengatakan bahwa asfala saafiliin (أَسْفَل سَافِلِينَ ) adalah bermakna ardzal al ‘umr ( أَرْذَلُ الْعُمْرِ ), yaitu masa tua; maka al istitsnaa’ (pengecualian)
ini adalah munqathi’ (terputus). [Lihat Al Jami’ Li Ahkam Al
Qur’an (20/107)]. Alasan serupa telah dikemukakan pula oleh Al Hafizh Ibnu
Katsir di dalam tafsirnya (8/435), bahkan beliau menambahkan bahwa jika memang
penafsiran asfala saafiliin (أَسْفَل سَافِلِينَ ) adalah ardzal al ‘umr ( أَرْذَلُ الْعُمْرِ ), maka pengecualian orang-orang yang beriman dari hal itu tidak
tepat dalam konteks ayat ini, karena masa-masa tua dan hal-hal yang biasa
terjadi saat itu mungkin juga menimpa sebagian mereka (orang-orang yang
beriman), sehingga (jelaslah) bahwa yang dimaksud adalah apa yang telah kami
(Al Hafizh Ibnu Katsir) sebutkan (yaitu bermakna neraka -pen).”
[15] Lihat Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim
(8/435) dan Taisir Al Karim Ar Rahman (2/1181).
Ada tiga pendapat ulama tentang khithaab (ajakan
pembicaraan) ini ditujukan. Yang pertama, khitaab ini
ditujukan kepada Rasulullah Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam,
sehingga lafazh maa (مَا ), yaitu “apa” pada ayat ini bermakna man (مَنْ), yaitu “siapa”. Jadi, makna ayatnya adalah “Siapakah yang mendustakanmu
wahai Muhammad setelah datang kepadanya hujjah-hujjah yang
telah Kami kemukakan berupa adanya hari pembalasan, wajibnya taat kepada Allah,
bukti kebenaranmu sebagai seorang Rasul, dan tentang kebenaran bahwa Allah-lah
yang membangkitkan orang-orang yang telah mati dari dalam kubur mereka?”.
Pendapat pertama inilah yang dipilih oleh Al Imam Ath Thabari sebagaimana di
dalam tafsirnya (30/302). Yang ke dua, khitaab ini
ditujukan kepada manusia (anak Adam) secara umum, dan kepada orang-orang kafir
secara khusus. Sehingga ayat ini bermakna; “Apa yang membuatmu dan
menyebabkanmu wahai anak Adam mendustakan dan mengingkari hari pembalasan
terhadap seluruh amal perbuatan, padahal kamu telah mengetahui kekuasaan Rabbmu
yang mampu menciptakanmu dengan baik dan sempurna?”. Pendapat ini diriwayatkan
dari Mujahid dan Al Kalbi, sebagaimana tertera di dalam Tafsir Ath Thabari
(30/302). Dan pendapat inilah yang dibawakan oleh Al Hafizh Ibnu Katsir dan Asy
Syaikh Abdurrahman bin Nashir As Sa’di di dalam kitab tafsir mereka. Yang
ke tiga, khitaab ini ditujukan pula kepada Rasulullah
Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, namun tidak seperti
pendapat pertama di atas, akan tetapi makna ayatnya adalah “Yakinlah wahai
Muhammad terhadap apa-apa yang telah datang dari Allah! Karena Allah adalah
Hakim yang seadil-adilnya”. Pendapat ini diriwayatkan dari Qatadah, sebagaimana
pula tertera di dalam Tafsir Ath Thabari (30/302).
Adapun lafazh ad diin (الدِّين), maka ada dua pendapat ulama dalam penafsiran lafazh
ini. Yang pertama, bermakna hari perhitungan (amal-amal hamba) atau
hari pembalasan. Ini diriwayatkan dari Ikrimah, dan hampir seluruh ulama tafsir
berkata dengan pendapat ini. [Lihat Tafsir Ath Thabari (30/303), Al Jami’ Li
Ahkam Al Qur’an (20/108), Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim (8/435), Adhwa’ Al Bayan
(9/10), dan Taisir Al Karim Ar Rahman (2/1181)]. Yang ke dua,
bermaknahukmullah (حُكْمُ اللهِ), yaitu hukum Allah. Pendapat ini diriwayatkan dari Ibnu Abbas.
[Lihat Tafsir Ath Thabari (30/303)]. Namun riwayat ini dha’ifun jiddan (lemah
sekali), sebagaimana yang telah dihukumi oleh Asy Syaikh Salim Al
Hilali dan Asy Syaikh Muhammad Musa Alu An Nashr dalam kitab mereka Al Isti’aab
fii Bayan Al Asbaab (3/530).
[17] Sunan Abi Dawud (1/234 no. 887),
Jami’ At Tirmidzi (5/443 no. 3347), Musnad Al Imam Ahmad (2/249 no. 7385), dan
lain-lainnya.
[19] Di dalam Dha’if Sunan Abi Dawud,
Dha’if Sunan At Tirmidzi, Dha’if Al Jami’ (5784), Tamaam Al Minnah (hal. 186),
dan kitab beliau yang lainnya.
[26]
Tamaam Al Minnah (hal 186). Lihat pula Shifat
Shalat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam (hal 105).
No comments:
Post a Comment
silahkan berkomentar sebagai saran dan kritik, terimakasih